Kalau boleh jujur,
situasi Indonesia kian merana dalam genggaman Jokowi-JK. Betapa tidak, dampak
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) begitu terasa dan memengaruhi harga
komoditas lain.
Belum habis masalah
itu, kini berbagai kenaikan harga kembali menghantui rakyat negeri ini. Ini
merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah menaikkan pajak. Walhasil,
nantinya bisa-bisa tidak ada aktivitas yang tidak kena pajak.
Para pemilik kos-kosan
juga harus menyisihkan uangnya untuk negara. Belanja pun dalam batas tertentu
harus menggunakan materai dalam struk belanjaannya.
Itu baru di level
nasional. Di daerah kemungkinan juga sama. Mereka akan berusaha meningkatkan
pendapatan daerah dengan memungut retribusi lebih banyak. Pikirannya, kalau
pemerintah pusat bisa, kenapa daerah tidak bisa?
Di tengah kenaikan
harga-harga yang tak menentu, rakyat menghadapi berbagai situasi sulit. Begal
ada di mana-mana. Keamanan di beberapa tempat mencekam. Bisa dibayangkan jika
nantinya kenaikan itu bersamaan, bisa jadi angka kriminalitas akan melesat. Bagaimanapun
daya beli masyarakat sebenarnya tak meningkat alias tetap. Maka yang meningkat
adalah beban hidup.
Kalau kemudian pakar
dari dari Universitas Columbia menyebut Indonesia sebagai salah satu negara
paling sengsara rakyatnya, itu cukup beralasan. Kenaikan harga selalu diikuti
dengan inflasi. Dampaknya muncul pengangguran baru dan kemiskinan. Mereka yang terkena
dampak itulah yang sangat merasakan kesengsaraan tersebut.
Belum lagi bagaimana
kepastian hukum tidak ada. Keadilan juga jauh panggang dari api. Nenek tua
renta harus dibui karena dituduh mencuri pohon jati. Padahal ia tak pernah
mengakui. Sementara para koruptor gentayangan dengan santai menikmati hasil
korupsinya karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan pemerintah
sendiri.
Buah
Demokrasi
Fakta ini terjadi
dalam sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi. Bukan hanya kali ini saja
rakyat tertipu, tapi sudah berulang kali sejak kemerdekaan dikumandangkan.
Setiap pergantian kekuasaan, rakyat selalu diberi janji-janji “surga”.
Terakhir, Jokowi
digambarkan sebagai sosok sederhana yang akan membawa kebaikan rakyat. Dengan
kepribadiannya dan kegemarannya blusukan,
diharapkan kepemimpinannya akan mampu dekat dan melayani rakyat.
Ternyata, Jokowi
tetaplah produk demokrasi seperti sebelumnya. Semuanya pencitraan saja. Mereka
yang berada di belakangnyalah yang menikmati hasilnya.
Sepak terjangnya jauh
dari janji-janji manisnya. Tak butuh waktu lama, rakyat bisa membuktikan bahwa
sang presiden tukang gombal, obral janji. Harga BBM dinaikkan dalam waktu
sekejap, mengikuti kemauan para kapitalis global yang ingin menguasai sektor hilir
migas di Indonesia.
Rezim ini pun tak
berdaya dengan goncangan kurs mata uang dolar yang menggila. Padahal dulunya
gembar-gembor Jokowi effect akan bisa
mengatasi masalah seperti ini. Ternyata tidak ngeffect.
Jargon demokrasi dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, lagi-lagi hanya tipuan. Terbukti lagi,
demokrasi adalah dari perusahaan, oleh perusahaan, untuk perusahaan. Mereka
yang menguasai modal yang memenanginya.
Demokrasi pula
menempatkan pemilik asli sistem demokrasi yakni penjajah sebagai penguasanya.
Inilah mengapa ada buku yang berjudul ‘Demokrasi, Ekspor Amerika Paling
Mematikan’ yang isinya bahwa demokrasi itu adalah jeratan yang diciptakan oleh
Amerika untuk mencengkeram negara lain dan kemudian mengeruk kekayaan alamnya.
Dari sini bisa
dimaklumi mengapa Amerika begitu gencarnya menanamkan ide-ide demokrasi di
negeri ini. Bahkan Amerika memuja-muji demokrasi Indonesia dengan memberikan
penghargaan segala.
Demokrasi menjadi
pintu masuk imperialisme gaya baru atau dikenal sebagai neoimperialisme.
Melalui imperialisme gaya baru ini penjajah tak perlu susah-susah mengirimkan
tentaranya untuk menguasai teritorial sebuah negara. Para penjajah cukup
membuat sebuah kondisi yang memungkinkan negara tersebut menyerahkan dengan
sukarela kekayaan alamnya secara legal.
Intervensi dimulai
dengan membangun kerangka pemikiran bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang
baik. Pemikiran ini ditanamkan kepada seluruh rakyat. Begitu proses demokrasi
berjalan, kekuatan modal dan asing inilah yang mengendalikan. Bagaimana tidak, demokrasi
adalah sistem yang mahal. Tak mungkin individu mampu menghabiskan kekayaannya
untuk itu. Nah, di situlah kekuatan modal bermain sebagai cukong politik. Tentu
semuanya tidak gratis. Begitu seseorang terpilih -orang tersebut sebenarnya
juga sudah dipersiapkan oleh pemilik modal dan asing- ia harus memberikan
kompensasi kepada para pendukungnya itu.
Kalau cuma uang
mungkin tak seberapa, tapi para penjajah dan cukong-cukong ini menginginkan
kebijakan yang pro mereka. Jadilah para penguasa demokrasi ini melayani mereka.
Sementara rakyat dianggap sudah selesai.
Demokrasi pula yang
menjamin proses liberalisasi berjalan. Semakin demokratis, semuanya tambah
liberal. Negara bahkan menjadi bagian dari kekuatan asing menguasai negeri ini.
Inilah kenapa banyak orang menyebut inilah neoliberalisme alias liberalisme gaya
baru.
Sistem ini bukan saja
membuat negara kian jauh dari cita-cita, lebih dari itu menjadikan kerusakan di
mana-mana. Sampai-sampai, Kwik Kian Gie berani menyebut bahwa demokrasi tidak
cocok diterapkan di negeri ini.
Ganti
Rezim, Ganti Sistem
Perubahan demi
perubahan semestinya menjadi pelajaran. Pergantian rezim saja tak membuahkan
perubahan kecuali hanya berganti penguasa saja. Justru yang menjadi masalah
adalah sistemnya itu sendiri. Selama sistem itu rusak, dikendalikan oleh
siapapun tetaplah rusak.
Walhasil, perlu ada
pemimpin yang amanah -bukan sekadar pencitraan- dan didukung oleh penerapan
sistem yang benar. Jika sosialisme komunisme telah runtuh,
kapitalisme-liberalisme terseok-seok, kini saatnya sistem Islam tampil ke
permukaan menggantikan sistem yang ada.
Di sinilah, rakyat
negeri ini perlu disadarkan, betapa perubahan perlu totalitas. Tak cukup hanya
ganti orang/rezim saja, tapi harus pula ganti sistem. Ganti rezim, ganti
sistem!
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 147, Maret-April 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar