Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 05 Juni 2017

Lagi-Lagi Ditipu Demokrasi



The Telegraph, 3 Maret 2015, melansir sebuah riset berkenaan dengan indeks kesengsaraan di dunia. Indonesia termasuk dalam 15 negara paling sengsara di dunia. Negeri mayoritas Muslim ini menempati urutan ke-15. Indeks ini dihitung berdasarkan tingkat pengangguran dan inflasi.

Data ini bertolak belakang dengan posisi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Bahkan karena. Saking demokrasinya, Indonesia pernah meraih Democrazy Award dari Asosiasi internasional Konsultan Politik (IAPC/International Association of Political Consultant) organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi.

Berkat demokrasi, terpilihlah sosok Joko Widodo, atau lebih dikenal sebagai Jokowi. Dengan dukungan para kapitalis di belakangnya, Jokowi dicitrakan sedemikian rupa sehingga bisa meraih simpati rakyat. Kesederhanaannya dieksploitasi sedemikian rupa. Mulai dari harga sepatu, bajunya, hingga kebiasaannya blusukan ke kampung-kampung. Bombardir media massa yang hampir semuanya mendukungnya membuat rakyat lupa mempertanyakan sisi lain sang calon presiden.

Nah, begitu kini duduk di kursi RI 1, belang sang Presiden mulai kelihatan. Mereka yang dulu ada di balik layar mulai tampil ke permukaan. Misi asli mereka tak bisa disembunyikan. Semua dukungan yang dulu diberikan tidak ada yang berlatar belakang keikhlasan.

Asing begitu leluasanya menitip pesan kebijakan. Sementara rakyat begitu mudahnya dilupakan. Mungkin benar kata Jokowi sekarang terhadap rakyat yang memilihnya: ”Bukan urusan saya.”

Ini adalah situasi yang kesekian kalinya rakyat dikibuli oleh sistem demokrasi. Di zaman Orde Lama, rakyat ditipu dengan demokrasi terpimpin. Berikutnya, oleh Soeharto rakyat ditindas dengan demokrasi Pancasila. Selanjutnya di Era Reformasi, rakyat disuguhi demokrasi liberal. Hasilnya? Orang Jawa bilang: 'sami mawon' alias sama saja. Yang berkuasa, berkuasa. Yang rakyat, tetap sengsara.

Masih Percayakah?

Fakta menunjukkan demokrasi diperalat oleh kelompok elit masyarakat (elit wakil rakyat, elit parpol dan elit para pemiliki modal) untuk memperkaya diri mereka sendiri sembari melupakan bahkan menindas rakyat. Hal tersebut wajar, karena dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah ”from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan' untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah: “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untukperusahaan).

Yang menarik, di negeri seperti Thailand yang menerapkan sistem kerajaan, juga Malaysia yang melaksanakan sistem pemerintahan ala kerajaan, indeks kesengsaraan mereka rendah. Dua negara tersebut menjadi dua dari 15 negara di dunia yang rakyatnya merasakan kebahagiaan.

Seharusnya, jika yang menjadi ukuran adalah demokratisasinya, maka Indonesia menempati kesejahteraan lebih baik sehingga lebih bahagia. Tapi, fakta berbicara sebaliknya.

Indonesia yang kian demokratis malah kian tak berdaya menghadapi kekuatan asing. Freeport yang ngemplang membayar deviden kepada pemerintah Indonesia selama tiga tahun senilai Rp4,5 trilyun dimaafkan oleh pemerintah Indonesia. Padahal di negara asalnya, pada saat yang sama perusahaan tambang emas itu membagi deviden Rp25 trilyun.

Jokowi yang dipiIih oleh rakyat ternyata mengambil kebijakan yang bertolak belakang dengan rakyat. Saat rakyat susah, ia malah menaikkan harga BBM, gas, tol, pajak, dan lainnya. Kalau mau jujur, pasti rakyat tak menginginkan itu semua. Lalu di mana letak kedaulatan rakyat?

Demokrasi pun mengundang intervensi asing. Buktinya, berbagai produk perundang-undangan tampak jelas ada kepentingan asing di dalamnya. Demokrasi menjadi legitimasi asing untuk bercokol di Indonesia dalam rangka mengeruk kekayaan alam negeri ini secara legal.

Dan orang menjadi tahu di balik demokratisasi itu sendiri. Inilah yang dikatakan oleh Presiden Amerika Serikat George W Bush, "Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang harus dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi.” (6/11/2004).

Masihkah Diam?

Anehnya, meski berbagai fakta kebohongan demokrasi begitu kentara, sangat sedikit orang yang mau menggaungkan perubahan. Mereka lebih memilih diam. Ada apa?

Sebagian penggerak perubahan telah terbeli oleh Jokowi. Mereka ini tak bisa berkutik karena dulu telah menjadi tim sukses pasangan capres-cawapres. Sebagian lagi menunggu siapa yang mau menggerakkan mereka. “Ini dia, karena tidak ada yang menggerakkan. Jadi rakyat juga bingung,” kata Kwik Kian Gie.

Menurut Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib, harus ada upaya keras untuk membuat rakyat negeri ini menjadi mau dan menginginkan perubahan. ”Ketika keinginan itu merata, lalu berubah menjadi tuntutan, insya Allah perubahan tidak akan terbendung,” jelasnya.

Untuk itu, lanjutnya, perlu dorongan dan motivasinya harus kuat. Dan itu hanya akan terjadi jika didasarkan pada asas atau landasan kuat. Jika asasnya kepentingan, tuntutan ekonomi, atau ambisi kekuasaan, itu amat lemah. Mudah berubah dan ditaklukkan. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 147, Maret-April 2015
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam