The Telegraph, 3 Maret
2015, melansir sebuah riset berkenaan dengan indeks kesengsaraan di dunia.
Indonesia termasuk dalam 15 negara paling sengsara di dunia. Negeri mayoritas
Muslim ini menempati urutan ke-15. Indeks ini dihitung berdasarkan tingkat pengangguran
dan inflasi.
Data ini bertolak
belakang dengan posisi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia. Bahkan karena. Saking demokrasinya, Indonesia pernah meraih Democrazy
Award dari Asosiasi internasional Konsultan Politik (IAPC/International
Association of Political Consultant) organisasi profesi yang memperjuangkan
demokrasi.
Berkat demokrasi,
terpilihlah sosok Joko Widodo, atau lebih dikenal sebagai Jokowi. Dengan
dukungan para kapitalis di belakangnya, Jokowi dicitrakan sedemikian rupa
sehingga bisa meraih simpati rakyat. Kesederhanaannya dieksploitasi sedemikian
rupa. Mulai dari harga sepatu, bajunya, hingga kebiasaannya blusukan ke kampung-kampung. Bombardir media
massa yang hampir semuanya mendukungnya membuat rakyat lupa mempertanyakan sisi
lain sang calon presiden.
Nah, begitu kini duduk
di kursi RI 1, belang sang Presiden mulai kelihatan. Mereka yang dulu ada di
balik layar mulai tampil ke permukaan. Misi asli mereka tak bisa disembunyikan.
Semua dukungan yang dulu diberikan tidak ada yang berlatar belakang keikhlasan.
Asing begitu
leluasanya menitip pesan kebijakan. Sementara rakyat begitu mudahnya dilupakan.
Mungkin benar kata Jokowi sekarang terhadap rakyat yang memilihnya: ”Bukan
urusan saya.”
Ini adalah situasi
yang kesekian kalinya rakyat dikibuli oleh sistem demokrasi. Di zaman Orde
Lama, rakyat ditipu dengan demokrasi terpimpin. Berikutnya, oleh Soeharto
rakyat ditindas dengan demokrasi Pancasila. Selanjutnya di Era Reformasi,
rakyat disuguhi demokrasi liberal. Hasilnya? Orang Jawa bilang: 'sami mawon' alias sama saja. Yang berkuasa,
berkuasa. Yang rakyat, tetap sengsara.
Masih
Percayakah?
Fakta menunjukkan
demokrasi diperalat oleh kelompok elit masyarakat (elit wakil rakyat, elit
parpol dan elit para pemiliki modal) untuk memperkaya diri mereka sendiri
sembari melupakan bahkan menindas rakyat. Hal tersebut wajar, karena dalam
demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan.
Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865)
mengatakan bahwa demokrasi adalah ”from the
people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat,
dan' untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln
meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan
bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah: “from company, by company, and for company”
(dari perusahaan, oleh perusahaan dan untukperusahaan).
Yang menarik, di
negeri seperti Thailand yang menerapkan sistem kerajaan, juga Malaysia yang
melaksanakan sistem pemerintahan ala kerajaan, indeks kesengsaraan mereka
rendah. Dua negara tersebut menjadi dua dari 15 negara di dunia yang rakyatnya
merasakan kebahagiaan.
Seharusnya, jika yang
menjadi ukuran adalah demokratisasinya, maka Indonesia menempati kesejahteraan
lebih baik sehingga lebih bahagia. Tapi, fakta berbicara sebaliknya.
Indonesia yang kian
demokratis malah kian tak berdaya menghadapi kekuatan asing. Freeport yang ngemplang membayar deviden kepada pemerintah
Indonesia selama tiga tahun senilai Rp4,5 trilyun dimaafkan oleh pemerintah
Indonesia. Padahal di negara asalnya, pada saat yang sama perusahaan tambang
emas itu membagi deviden Rp25 trilyun.
Jokowi yang dipiIih
oleh rakyat ternyata mengambil kebijakan yang bertolak belakang dengan rakyat.
Saat rakyat susah, ia malah menaikkan harga BBM, gas, tol, pajak, dan lainnya.
Kalau mau jujur, pasti rakyat tak menginginkan itu semua. Lalu di mana letak
kedaulatan rakyat?
Demokrasi pun
mengundang intervensi asing. Buktinya, berbagai produk perundang-undangan
tampak jelas ada kepentingan asing di dalamnya. Demokrasi menjadi legitimasi
asing untuk bercokol di Indonesia dalam rangka mengeruk kekayaan alam negeri
ini secara legal.
Dan orang menjadi tahu
di balik demokratisasi itu sendiri. Inilah yang dikatakan oleh Presiden Amerika
Serikat George W Bush, "Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka
panjang, hal terbaik yang harus dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan
demokrasi.” (6/11/2004).
Masihkah
Diam?
Anehnya, meski
berbagai fakta kebohongan demokrasi begitu kentara, sangat sedikit orang yang
mau menggaungkan perubahan. Mereka lebih memilih diam. Ada apa?
Sebagian penggerak
perubahan telah terbeli oleh Jokowi. Mereka ini tak bisa berkutik karena dulu
telah menjadi tim sukses pasangan capres-cawapres. Sebagian lagi menunggu siapa
yang mau menggerakkan mereka. “Ini dia, karena tidak ada yang menggerakkan. Jadi
rakyat juga bingung,” kata Kwik Kian Gie.
Menurut Ketua DPP HTI
Rokhmat S Labib, harus ada upaya keras untuk membuat rakyat negeri ini menjadi
mau dan menginginkan perubahan. ”Ketika keinginan itu merata, lalu berubah
menjadi tuntutan, insya Allah perubahan
tidak akan terbendung,” jelasnya.
Untuk itu, lanjutnya,
perlu dorongan dan motivasinya harus kuat. Dan itu hanya akan terjadi jika
didasarkan pada asas atau landasan kuat. Jika asasnya kepentingan, tuntutan
ekonomi, atau ambisi kekuasaan, itu amat lemah. Mudah berubah dan ditaklukkan.
[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 147, Maret-April 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar