Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 06 Juni 2017

Aceh Baru Dalam Ancaman Liberalisme



Aceh yang dulu terbelakang karena menjadi daerah konflik bersenjata, mulai berubah. Infrastruktur dibangun di semua arah. Aceh yang dulu luluh lantak terkena bencana, kini berdiri gedung-gedung megah dan mewah.

Namun muncul kerisauan atas perubahan tersebut. Inilah yang dirasakan oleh Ketua DPD HTI Aceh Ferdiansyah Sofyan. Ada upaya untuk mengubah kultur masyarakat Aceh yang agamis ke arah sekuler. Inilah yang disebut Aceh Baru. “Pertanyaannya, Aceh baru seperti apa?” tanya Ferdi, demikian ia biasa dipanggil.

Tanda ke arah itu sudah mulai tampak. Slogan Kota Banda Aceh pun berubah dari Banda Aceh Daerah Wisata Islami menjadi Model Kota Madani. Padahal, madani ini tidak ada dalam istilah Islam. Justru madani yang dimaksud adalah civil society. Itu tidak lain adalah masyarakat sekuler ala Barat.

”Ada sebuah strategi mengubah arah Aceh ke depan. Mereka mencoba menjauhkan dari unsur-unsur syariat itu sendiri,” papar Ferdi.

Itu dimulai dengan mengganti syariat Islam dengan dienul Islam. Istilah syariat dianggap memiliki kesan kejam karena yang terbayang adalah hukum potong tangan, rajam.

Dalam sebuah seminar terungkap, pembicaranya mengungkap alasan menggunakan istilah dienul Islam. Yakni, semata-mata untuk menjaga citra Aceh di mata wisatawan asing. Karena wisatawan asing takut dengan istilah syariat.

Ferdi menceritakan, gagasan ini idenya muncul dari akademisi UIN Aceh. ”Ini membuktikan kuatnya asing mengarahkan, janganlah ada istilah syariat," jelasnya.

Peran Asing

Perubahan ke arah Aceh Baru ini tidak lepas dari peran Aceh Institute. LSM ini memiliki hubungan dengan TIFA dan USAID, keduanya adalah penyandang dana dari asing. Mereka melakukan kajian-kajian. Lembaga yang ada sebelum tsunami 2004 itu pun berubah haluan dari keilmuan (saintis) ke kajian seperti gender HAM Aceh Baru dan sejenisnya. Lembaga inilah yang menyiapkan blueprint Aceh mau di mana. Dan salah satu ilmuwan Aceh institute itu adalah kepala dinas syariah Islam sekarang, Syahrizal Abbas.

Selain Aceh institute ada LSM lainnya, Tikar Pandan. Tikar Pandan melakukan kajian-kajian di level mahasiswa. Bentuknya itu berupa pelatihan jurnalistik. Sedangkan isu-isu yang diangkat adalah: syariat Islam itu yang penting substansinya, tidak penting penerapannya. Salah satu buku kontroversialnya adalah Merajam Dalil Syariat karya Affan Ramli (anggota Tikar Pandan sendiri).

Bersamaan dengan itu, ada upaya mengadu-domba umat Islam di Aceh untuk memecah persatuan mereka dengan isu Wahabi. Salah satunya ketika Jumat -sepekan sebelum Wapres Jusuf Kalla berkunjung ke Masjid Baiturrahman- ada pembubaran pengajian yang dilakukan oleh salah satu pesantren di Aceh.

Maka tersebarlah isu Gubernur yang sekarang lebih pro kepada Wahabi daripada Ahlus Sunnah. Yang dimaksud Ahlus Sunnah oleh warga adalah semua dayah (pesantren) di Aceh yang memang semuanya bermazhab Syafi'i. Padahal gubernur basic-nya Muhammadiyah, bukan Wahabi.

“Jadi ini saya lihat merupakan isu yang paling mudah diangkat di Aceh untuk memecah kesatuan kaum Muslimin,” kata Ferdi.

Upaya liberalisasi Aceh juga tampak dari kasus Rosnida Sari, dosen IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh yang mengaku senang telah berhasil mengajak mahasiswa-mahasiswinya ke gereja. Dosen jebolan Universitas Flinders Australia ini memboyong mahasiswa mata kuliah Studi Gender dalam Islam untuk mendengarkan ceramah pendeta tentang bagaimana Kristen memandang relasi pria dan wanita.

Ferdiansyah Sofyan, Ketua DPD HTI Aceh:
Sikapi Musibah Dengan Beramal Shalih

Musibah tsunami yang dahsyat seharusnya disikapi dengan benar oleh warga Aceh dengan betul-betul memanfaatkan hidupnya ini untuk beramal shalih. Faktanya, musibah itu ternyata tak memberi dampak perubahan sikap mereka.

“Kita sayangkan, tsunami itu hanya menjadi seremonial mengenang saja tanpa mengambil hikmahnya. Kalau sebagian orang berpendapat Aceh semakin rusak pasca tsunami itu benar, ” jelas Ferdi.

Menurutnya, kemaksiatan yang terjadi sekarang lebih parah dari apa yang terjadi dahulu. Maksiat meningkat pasca tsunami di antaranya: perzinaan, adanya fasilitas diskotik di hotel-hotel berbintang yang legal, banyak lahir aliran-aliran sesat seperti Milata Abraham dan Islam Suci yang didanai misionaris, maraknya kristenisasi modus bantuan bencana terakhir 2013 gempa bumi di Aceh Tengah dan Bener Meriah, konser musik, dan perayaan tahun baru Masehi. “Semua perkara itu tidak pernah terjadi sebelum tsunami kalau ada pun sedikit sekali,” ungkap Ferdi.

Sampai-sampai kondisi ini membuat kalangan orang tua sampai mengatakan, “Tunggu saja tsunami baru!” ini, kata Ferdi, adalah bahasa yang pesimis yang menunjukkan tidak adanya kesadaran, tidak adanya pelajaran yang diambil masyarakat atas musibah yang Allah berikan kepada mereka.

Maka dari itu, lanjutnya, inilah relevansinya mengapa syariat Islam mesti diterapkan bukan hanya secara substansi tetapi secara sempurna. Namun mustahil menerapkan syariat secara sempurna tanpa sistem yang mendukung itu. Sistem itu adalah sistem khilafah.

Jadi, kata Ferdi, mengharapkan Aceh menerapkan syariat Islam secara sempurna saat ini adalah mustahil. Sebab, Aceh bukan bagian dari sistem yang mendukung penerapan Islam secara sempurna.

Lagi pula, Aceh tidak mungkin berbeda sendiri dalam penerapan hukum karena masih terikat dengan keputusan yang ada di Jakarta. Jakarta adalah Ibukota dari negara yang menerapkan demokrasi.

“Maka tidak ditandatanganinya draf Qanun Jinayah itu sampai sekarang harusnya membuka mata masyarakat, bahwa mustahil kita mengharapkan syariat Islam kaffah terjadi di Aceh dalam sistem demokrasi yang jelas bertentangan dengan Islam,” tuturnya.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 143, Januari-Pebruari 2015
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam