Aceh yang dulu
terbelakang karena menjadi daerah konflik bersenjata, mulai berubah.
Infrastruktur dibangun di semua arah. Aceh yang dulu luluh lantak terkena
bencana, kini berdiri gedung-gedung megah dan mewah.
Namun muncul kerisauan
atas perubahan tersebut. Inilah yang dirasakan oleh Ketua DPD HTI Aceh
Ferdiansyah Sofyan. Ada upaya untuk mengubah kultur masyarakat Aceh yang agamis
ke arah sekuler. Inilah yang disebut Aceh Baru. “Pertanyaannya, Aceh baru
seperti apa?” tanya Ferdi, demikian ia biasa dipanggil.
Tanda ke arah itu
sudah mulai tampak. Slogan Kota Banda Aceh pun berubah dari Banda Aceh Daerah
Wisata Islami menjadi Model Kota Madani. Padahal, madani ini tidak ada dalam
istilah Islam. Justru madani yang dimaksud adalah civil
society. Itu tidak lain adalah masyarakat sekuler ala Barat.
”Ada sebuah strategi
mengubah arah Aceh ke depan. Mereka mencoba menjauhkan dari unsur-unsur syariat
itu sendiri,” papar Ferdi.
Itu dimulai dengan
mengganti syariat Islam dengan dienul Islam. Istilah syariat dianggap memiliki
kesan kejam karena yang terbayang adalah hukum potong tangan, rajam.
Dalam sebuah seminar
terungkap, pembicaranya mengungkap alasan menggunakan istilah dienul Islam.
Yakni, semata-mata untuk menjaga citra Aceh di mata wisatawan asing. Karena
wisatawan asing takut dengan istilah syariat.
Ferdi menceritakan,
gagasan ini idenya muncul dari akademisi UIN Aceh. ”Ini membuktikan kuatnya
asing mengarahkan, janganlah ada istilah syariat," jelasnya.
Peran
Asing
Perubahan ke arah Aceh
Baru ini tidak lepas dari peran Aceh Institute. LSM ini memiliki hubungan
dengan TIFA dan USAID, keduanya adalah penyandang dana dari asing. Mereka
melakukan kajian-kajian. Lembaga yang ada sebelum tsunami 2004 itu pun berubah
haluan dari keilmuan (saintis) ke kajian seperti gender HAM Aceh Baru dan
sejenisnya. Lembaga inilah yang menyiapkan blueprint
Aceh mau di mana. Dan salah satu ilmuwan Aceh institute itu adalah kepala dinas
syariah Islam sekarang, Syahrizal Abbas.
Selain Aceh institute
ada LSM lainnya, Tikar Pandan. Tikar Pandan melakukan kajian-kajian di level
mahasiswa. Bentuknya itu berupa pelatihan jurnalistik. Sedangkan isu-isu yang
diangkat adalah: syariat Islam itu yang penting substansinya, tidak penting penerapannya.
Salah satu buku kontroversialnya adalah Merajam Dalil Syariat karya Affan Ramli
(anggota Tikar Pandan sendiri).
Bersamaan dengan itu,
ada upaya mengadu-domba umat Islam di Aceh untuk memecah persatuan mereka
dengan isu Wahabi. Salah satunya ketika Jumat -sepekan sebelum Wapres Jusuf
Kalla berkunjung ke Masjid Baiturrahman- ada pembubaran pengajian yang
dilakukan oleh salah satu pesantren di Aceh.
Maka tersebarlah isu
Gubernur yang sekarang lebih pro kepada Wahabi daripada Ahlus Sunnah. Yang
dimaksud Ahlus Sunnah oleh warga adalah semua dayah (pesantren) di Aceh yang
memang semuanya bermazhab Syafi'i. Padahal gubernur basic-nya Muhammadiyah, bukan Wahabi.
“Jadi ini saya lihat
merupakan isu yang paling mudah diangkat di Aceh untuk memecah kesatuan kaum
Muslimin,” kata Ferdi.
Upaya liberalisasi
Aceh juga tampak dari kasus Rosnida Sari, dosen IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda
Aceh yang mengaku senang telah berhasil mengajak mahasiswa-mahasiswinya ke
gereja. Dosen jebolan Universitas Flinders Australia ini memboyong mahasiswa
mata kuliah Studi Gender dalam Islam untuk mendengarkan ceramah pendeta tentang
bagaimana Kristen memandang relasi pria dan wanita.
Ferdiansyah
Sofyan, Ketua DPD HTI Aceh:
Sikapi
Musibah Dengan Beramal Shalih
Musibah tsunami yang
dahsyat seharusnya disikapi dengan benar oleh warga Aceh dengan betul-betul
memanfaatkan hidupnya ini untuk beramal shalih. Faktanya, musibah itu ternyata
tak memberi dampak perubahan sikap mereka.
“Kita sayangkan,
tsunami itu hanya menjadi seremonial mengenang saja tanpa mengambil hikmahnya.
Kalau sebagian orang berpendapat Aceh semakin rusak pasca tsunami itu benar, ”
jelas Ferdi.
Menurutnya,
kemaksiatan yang terjadi sekarang lebih parah dari apa yang terjadi dahulu.
Maksiat meningkat pasca tsunami di antaranya: perzinaan, adanya fasilitas
diskotik di hotel-hotel berbintang yang legal, banyak lahir aliran-aliran sesat
seperti Milata Abraham dan Islam Suci yang didanai misionaris, maraknya
kristenisasi modus bantuan bencana terakhir 2013 gempa bumi di Aceh Tengah dan
Bener Meriah, konser musik, dan perayaan tahun baru Masehi. “Semua perkara itu
tidak pernah terjadi sebelum tsunami kalau ada pun sedikit sekali,” ungkap
Ferdi.
Sampai-sampai kondisi
ini membuat kalangan orang tua sampai mengatakan, “Tunggu saja tsunami baru!”
ini, kata Ferdi, adalah bahasa yang pesimis yang menunjukkan tidak adanya
kesadaran, tidak adanya pelajaran yang diambil masyarakat atas musibah yang
Allah berikan kepada mereka.
Maka dari itu,
lanjutnya, inilah relevansinya mengapa syariat Islam mesti diterapkan bukan
hanya secara substansi tetapi secara sempurna. Namun mustahil menerapkan
syariat secara sempurna tanpa sistem yang mendukung itu. Sistem itu adalah
sistem khilafah.
Jadi, kata Ferdi,
mengharapkan Aceh menerapkan syariat Islam secara sempurna saat ini adalah
mustahil. Sebab, Aceh bukan bagian dari sistem yang mendukung penerapan Islam
secara sempurna.
Lagi pula, Aceh tidak
mungkin berbeda sendiri dalam penerapan hukum karena masih terikat dengan
keputusan yang ada di Jakarta. Jakarta adalah Ibukota dari negara yang
menerapkan demokrasi.
“Maka tidak
ditandatanganinya draf Qanun Jinayah itu sampai sekarang harusnya membuka mata
masyarakat, bahwa mustahil kita mengharapkan syariat Islam kaffah terjadi di
Aceh dalam sistem demokrasi yang jelas bertentangan dengan Islam,” tuturnya.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 143, Januari-Pebruari 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar