Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 01 Juni 2017

Pilkada Serentak, Apa Maunya?


tidak pada demokrasi

Ganti rezim, ganti kebijakan. Itulah yang biasa terjadi di Indonesia. Setiap rezim baru selalu berusaha memberikan sesuatu yang baru. Entah itu sekadar utak-atik yang ada atau memang betul-betul baru. Yang penting ada yang baru.

Pun demikian pula dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sejak kemerdekaan, negeri inipun cara pemilihan kepala daerahnya berubah-ubah. Di awal kemerdekaan, kepala daerah dipilih oleh presiden. Cara ini terus berlangsung selama masa Orde Baru. Kemudian, masih di era yang sama, kepala daerah kemudian dipilih oleh anggota DPRD dengan alasan agar sesuai dengan aspirasi rakyat.

Di era Reformasi, tampaknya cara ini dianggap masih juga belum bisa memenuhi syarat, meski yang memilih mereka adalah wakil rakyat. Maka, kebijakan pemilihan kepala daerah pun diubah lagi. Mereka harus dipilih langsung oleh rakyat dengan alasan agar legitimasinya lebih kuat. Pemerintah pusat dan DPRD tak boleh ikuta-ikutan.

Ternyata, sudah kayak begitu juga masih belum cukup. Maka di era Jokowi-JK saat ini, pilkada perlu dilaksanakan secara serentak. Alasannya, demi etisiensi dan efektivitas penyelenggaraan. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri menyebar opini bahwa dengan model baru ini akan bisa menghemat uang negara dan terpilih kepala daerah yang lebih baik.

Kampanye ini berhasil. Terbukti DPR pun setuju. Kran pilkada pun dibuka luas dibanding sebelumnya. Siapapun sekarang boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Berbagai peraturan negara yang menghalangi digugat di Mahkamah Konstitusi. Mantan narapidana pun tersenyum lebar karena mereka boleh menjadi pemimpin di daerah. Demikian pula, dinasti-dinasti di daerah bersorak gembira karena mereka diperbolehkan maju mencalonkan diri meneruskan tahta dinasti mereka.

Karut-marut

Namun di awal persiapan menuju pilkada serentak tersebut, karut-marut pun muncul ke permukaan. Berbagai aturan yang dibuat sebelumnya tak mampu memberikan solusi. Lihat saja ketika muncul pasangan calon (paslon) tunggal di daerah, semua bingung dibuatnya. Karena belum diantisipasi apa yang akan dilakukan terhadap daerah tersebut.

Muncullah paslon boneka. Mereka 'terpaksa' dimunculkan demi keberlangsungan pilkada di daerah yang bersangkutan. Kalau tidak, pilkada akan diundur dua tahun lagi. Fenomena ini bisa jadi muncul di daerah yang paslonnya tidak tunggal.

Demikian halnya dengan anggaran. Apa yang diinginkan yakni efisiensi, ternyata anggaran sekarang jauh lebih besar dibandingkan lima tahun lalu ketika pilkada dilaksanakan tidak serentak. Bahkan dari sisi keamanan, butuh pengamanan yang jauh lebih besar karena menyangkut daerah yang banyak dan kawasan yang luas secara bersamaan. Belum-belum kepolisian sudah meminta 'amunisi' yang cukup untuk menjaga keamanan tersebut.

Dari pelaksanaan pendaftaran ini pun terlihat, pilkada serentak di 269 daerah pada 9 Desember 2015 ini memunculkan paslon yang murni wakil partai. Beberapa di antara mereka adalah bukan orang partai tapi membeli ‘perahu' partai dengan mahar milyaran rupiah.
Ada 838 paslon kepala daerah telah terdaftar pada hari terakhir pendaftaran dalam pencalonan kepala daerah, Senin (3/8/2015). Sebanyak 155 paslon merupakan petahana yang mendaftarkan diri kembali. Jumlah paslon independen ada 174 pasang.

Beberapa pihak mengkhawatirkan, sebagian pasangan independen adalah calon boneka yang sengaja dimunculkan oleh paslon dari partai politik/petahana. Fungsi mereka sekadar meramaikan pesta demokrasi di daerah.

Dari proses ini terlihat nyata, sisi aspirasi rakyat terabaikan. Muncul pertanyaan? Mengapa rakyat hanya disodori orang yang belum tentu sesuai keinginan mereka? Di sisi lain, calon-calon independen diberi persyaratan yang cukup berat untuk bisa bersaing maju di pilkada serentak. Tak heran jika ini adalah akal-akalan partai politik untuk berebut kue kekuasaan di daerah.

Rakyat hanya menjadi instrumen politik demokrasi pada saat pemilihan umum saja. Setelah itu, kepala daerah yang terpilih pasti membawa suara partai politik pendukung. Itu sudah pasti. Urusan rakyat nomor sekian, bahkan diabaikan sama sekali.

Di lain pihak, proses demokrasi yang begitu mahal sudah terbukti menjadi ajang pembenihan korupsi di masa mendatang. Kenapa? Para kepala daerah mau tidak mau harus mengembalikan modal mereka yang begitu besar dan itu tidak bisa diharapkan dari gaji bulanan yang mereka dapatkan. Ya, korupsi adalah jalannya. Sudah ratusan kepala daerah kini menjadi terdakwa dan siap mengisi penjara-penjara bersama para penjahat lainnya. Dan itu akan terus bertambah ke depan.

Besarnya ongkos politik pilkada inipun berpotensi menimbulkan konflik sosial. Bagaimana tidak? Sebagian, kalau tidak dibilang semuanya, belum siap kalah, apalagi mereka telah mengeluarkan dana puluhan bahkan ratusan milyar. Kekalahan akan menimbulkan sakit hati dan kemarahan. Beberapa pilkada di daerah menunjukkan hal itu. Bahkan di Palopo, Sulawesi Selatan, pusat pemerintahan dibakar karena kalah dalam pilkada. Yang lebih miris, bagaimana kalau kerusuhan itu terjadi dalam waktu bersamaan sebagai buntut pilkada serentak?

Cara Islam

Dalam sistem Islam, kepala daerah dipilih oleh khalifah. Ada wali untuk tingkat provinsi (daerah tingkat I) dan amil untuk daerah tingkat II. Mereka adalah wakil khalifah di daerah dalam menjalankan syariah Islam.

Meski dipilih oleh khalifah, bukan berarti tidak ada aspirasi rakyat untuk mengontrol mereka. Justru, ketika rakyat tidak suka lagi dengan kepala daerah ini, mereka bisa meminta kepada khalifah untuk memberhentikannya. Dan permintaan ini mengikat khalifah. Dalam arti, khalifah tak bisa menolak dan harus segera mencopotnya.

Dengan sistem ini, pemilihan kepala daerah tak butuh ongkos mahal dan waktu pemilihannya pun cukup singkat. Rakyat pun dengan enak melakukan kritik kepada mereka karena tidak terbebani ‘uang kampanye', 'bantuan sosial' seperti yang diberikan para paslon kepala daerah dalam sistem demokrasi dewasa ini.

Wali dan amil pun tak terbebani untuk mengembalikan modal mereka seperti dalam sistem sekarang. Mereka berkonsentrasi untuk melaksanakan syariah Allah SWT saja, bukan yang lain. Mereka betul-betul amanah untuk menyejahterakan rakyat. Inilah kenapa dulu wali dan amil begitu dekat dan dicintai oleh rakyat di daerahnya.

Tidakkah kita ingin seperti itu? Ayo ubah sistem bobrok demokrasi dengan sistem khilafah! Itulah perjuangan kaum Muslim meraih berkah! [] mujiyanto

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam