Ganti rezim, ganti
kebijakan. Itulah yang biasa terjadi di Indonesia. Setiap rezim baru selalu
berusaha memberikan sesuatu yang baru. Entah itu sekadar utak-atik yang ada
atau memang betul-betul baru. Yang penting ada yang baru.
Pun demikian pula
dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sejak kemerdekaan, negeri
inipun cara pemilihan kepala daerahnya berubah-ubah. Di awal kemerdekaan,
kepala daerah dipilih oleh presiden. Cara ini terus berlangsung selama masa
Orde Baru. Kemudian, masih di era yang sama, kepala daerah kemudian dipilih
oleh anggota DPRD dengan alasan agar sesuai dengan aspirasi rakyat.
Di era Reformasi,
tampaknya cara ini dianggap masih juga belum bisa memenuhi syarat, meski yang
memilih mereka adalah wakil rakyat. Maka, kebijakan pemilihan kepala daerah pun
diubah lagi. Mereka harus dipilih langsung oleh rakyat dengan alasan agar legitimasinya
lebih kuat. Pemerintah pusat dan DPRD tak boleh ikuta-ikutan.
Ternyata, sudah kayak
begitu juga masih belum cukup. Maka di era Jokowi-JK saat ini, pilkada perlu
dilaksanakan secara serentak. Alasannya, demi etisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Kementerian Dalam Negeri menyebar opini bahwa dengan model baru ini
akan bisa menghemat uang negara dan terpilih kepala daerah yang lebih baik.
Kampanye ini berhasil.
Terbukti DPR pun setuju. Kran pilkada pun dibuka luas dibanding sebelumnya.
Siapapun sekarang boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Berbagai
peraturan negara yang menghalangi digugat di Mahkamah Konstitusi. Mantan
narapidana pun tersenyum lebar karena mereka boleh menjadi pemimpin di daerah.
Demikian pula, dinasti-dinasti di daerah bersorak gembira karena mereka
diperbolehkan maju mencalonkan diri meneruskan tahta dinasti mereka.
Karut-marut
Namun di awal
persiapan menuju pilkada serentak tersebut, karut-marut pun muncul ke
permukaan. Berbagai aturan yang dibuat sebelumnya tak mampu memberikan solusi.
Lihat saja ketika muncul pasangan calon (paslon) tunggal di daerah, semua
bingung dibuatnya. Karena belum diantisipasi apa yang akan dilakukan terhadap
daerah tersebut.
Muncullah paslon
boneka. Mereka 'terpaksa' dimunculkan demi keberlangsungan pilkada di daerah
yang bersangkutan. Kalau tidak, pilkada akan diundur dua tahun lagi. Fenomena
ini bisa jadi muncul di daerah yang paslonnya tidak tunggal.
Demikian halnya dengan
anggaran. Apa yang diinginkan yakni efisiensi, ternyata anggaran sekarang jauh
lebih besar dibandingkan lima tahun lalu ketika pilkada dilaksanakan tidak
serentak. Bahkan dari sisi keamanan, butuh pengamanan yang jauh lebih besar karena
menyangkut daerah yang banyak dan kawasan yang luas secara bersamaan.
Belum-belum kepolisian sudah meminta 'amunisi' yang cukup untuk menjaga
keamanan tersebut.
Dari pelaksanaan
pendaftaran ini pun terlihat, pilkada serentak di 269 daerah pada 9 Desember
2015 ini memunculkan paslon yang murni wakil partai. Beberapa di antara mereka
adalah bukan orang partai tapi membeli ‘perahu' partai dengan mahar milyaran
rupiah.
Ada 838 paslon kepala
daerah telah terdaftar pada hari terakhir pendaftaran dalam pencalonan kepala
daerah, Senin (3/8/2015). Sebanyak 155 paslon merupakan petahana yang
mendaftarkan diri kembali. Jumlah paslon independen ada 174 pasang.
Beberapa pihak
mengkhawatirkan, sebagian pasangan independen adalah calon boneka yang sengaja
dimunculkan oleh paslon dari partai politik/petahana. Fungsi mereka sekadar
meramaikan pesta demokrasi di daerah.
Dari proses ini
terlihat nyata, sisi aspirasi rakyat terabaikan. Muncul pertanyaan? Mengapa
rakyat hanya disodori orang yang belum tentu sesuai keinginan mereka? Di sisi
lain, calon-calon independen diberi persyaratan yang cukup berat untuk bisa
bersaing maju di pilkada serentak. Tak heran jika ini adalah akal-akalan partai
politik untuk berebut kue kekuasaan di daerah.
Rakyat hanya menjadi
instrumen politik demokrasi pada saat pemilihan umum saja. Setelah itu, kepala
daerah yang terpilih pasti membawa suara partai politik pendukung. Itu sudah
pasti. Urusan rakyat nomor
sekian, bahkan diabaikan sama sekali.
Di lain pihak, proses
demokrasi yang begitu mahal sudah terbukti menjadi ajang pembenihan korupsi di
masa mendatang. Kenapa? Para kepala daerah mau tidak mau harus mengembalikan
modal mereka yang begitu besar dan itu tidak bisa diharapkan dari gaji bulanan
yang mereka dapatkan. Ya, korupsi adalah jalannya. Sudah ratusan kepala daerah
kini menjadi terdakwa dan siap mengisi penjara-penjara bersama para penjahat
lainnya. Dan itu akan terus bertambah ke depan.
Besarnya ongkos
politik pilkada inipun berpotensi menimbulkan konflik sosial. Bagaimana tidak?
Sebagian, kalau tidak dibilang semuanya, belum siap kalah, apalagi mereka telah
mengeluarkan dana puluhan bahkan ratusan milyar. Kekalahan akan menimbulkan sakit
hati dan kemarahan. Beberapa pilkada di daerah menunjukkan hal itu. Bahkan di
Palopo, Sulawesi Selatan, pusat pemerintahan dibakar karena kalah dalam
pilkada. Yang lebih miris, bagaimana kalau kerusuhan itu terjadi dalam waktu
bersamaan sebagai buntut pilkada serentak?
Cara
Islam
Dalam sistem Islam,
kepala daerah dipilih oleh khalifah. Ada wali
untuk tingkat provinsi (daerah tingkat I) dan amil
untuk daerah tingkat II. Mereka adalah wakil khalifah di daerah dalam
menjalankan syariah Islam.
Meski dipilih oleh
khalifah, bukan berarti tidak ada aspirasi rakyat untuk mengontrol mereka.
Justru, ketika rakyat tidak suka lagi dengan kepala daerah ini, mereka bisa
meminta kepada khalifah untuk memberhentikannya. Dan permintaan ini mengikat
khalifah. Dalam arti, khalifah tak bisa menolak dan harus segera mencopotnya.
Dengan sistem ini,
pemilihan kepala daerah tak butuh ongkos mahal dan waktu pemilihannya pun cukup
singkat. Rakyat pun dengan enak melakukan kritik kepada mereka karena tidak
terbebani ‘uang kampanye', 'bantuan sosial' seperti yang diberikan para paslon kepala
daerah dalam sistem demokrasi dewasa ini.
Wali dan amil
pun tak terbebani untuk mengembalikan modal mereka seperti dalam sistem
sekarang. Mereka berkonsentrasi untuk melaksanakan syariah Allah SWT saja,
bukan yang lain. Mereka betul-betul amanah untuk menyejahterakan rakyat. Inilah
kenapa dulu wali dan amil begitu dekat dan dicintai oleh rakyat di daerahnya.
Tidakkah kita ingin
seperti itu? Ayo ubah sistem bobrok demokrasi dengan sistem khilafah! Itulah
perjuangan kaum Muslim meraih berkah! [] mujiyanto
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar