Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 01 Juni 2017

Penentuan Kepala Daerah Dalam Islam Murah Dan Amanah



Pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam sistem demokrasi baik tidak langsung, langsung, maupun serentak selalu menimbulkan masalah besar. Mengapa? Lantas adakah alternatif lain? Seperti apa? Apakah lebih baik? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yahya Abdurrahman. Berikut petikannya.

Bagaimana tanggapan Anda dengan Pilkada serentak 9 Desember mendatang?

Diprediksi bakal tetap dihinggapi berbagai persoalan baik selama proses, sebelum maupun sesudahnya.

Mengapa?

Sedari awal hal itu bisa diketahui. Banyak hal yang dianggap masalah oleh publik tetapi malah dibenarkan terjadi oleh MK.

Contohnya?

Politik dinasti tetap bisa terjadi karena MK menganulir larangan yang mencegah bercokolnya dinasti politik. Tentu persoalannya bukan semata karena dinasti. Tapi masalahnya, dengan sistem yang ada, dinasti politik akan cenderung buruk.

Begitu pula, mantan napi tetapi boleh mencalonkan diri sesuai keputusan MK. Meski mereka sudah selesai menjalani hukuman, masalahnya banyak hukuman yang ada selama ini dinilai belum cukup dan tidak adil, khususnya dalam kasus korupsi. Artinya, koruptor yang sudah selesai hukumannya boleh mencalonkan diri.

Konsekuensi dari pemilihan langsung, faktor popularitas akan menentukan. Itulah kenapa para artis bermunculan direkrut oleh parpol menjadi calon kepala atau wakil kepala daerah. Sayangnya popularitas itu tidak selalu diikuti oleh kualitas, kapasitas, kapabilitas, keamanahan dan karakter-karakter yang seharusnya ada pada diri penguasa.

Masih banyak persoalan lain yang menyertai pelaksanaan pilkada serentak. Semua karut-marut itu sebenarnya wajar saja menyertai pelaksanaan pilkada serentak nanti. Sebab yang berubah drastis hanya dibuat serentak saja. Yang lain masih sama atau hanya dimodifikasi sedikit.

Artinya Pilkada serentak hanya memberikan harapan semu?

Ya, itu tidak salah. Pilkada serentak tidak bisa memenuhi harapan yang selama ini diklaim akan bisa terwujud dengan pilkada serentak.

Misalnya, dengan diadakan serentak katanya akan lebih efisien, tidak boros, akan lebih murah dan tidak menguras uang rakyat. Tapi nyatanya pilkada serentak justru lebih boros. Kemendagri merilis biaya pilkada serentak di 269 kabupaten/kota/provinsi akan menelan biaya sebesar Rp7 trilyun. Angka itu lebih besar dari pilkada sebelumnya. Lima tahun lalu, biaya pilkada di 269 daerah totalnya 5 trilyun. Jumlah itu masih bisa nambah lagi.

Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy, pilkada sebelumnya rata-rata biaya satu daerah di sekitaran angka Rp5-10 milyar. Tapi biaya pilkada serentak 9 Desember nanti jauh lebih besar. Rerata tiap daerah butuh anggaran Rp10-15 milyar.

Sebagian orang menilai meski mahal tidak apa-apa yang penting kan yang terpilih sesuai aspirasi rakyat...

Pilkada serentak nanti juga tidak mengutamakan aspirasi rakyat. Aspirasi rakyat itu hanya dalam bentuk memilih saja. Tapi yang lebih kental adalah aspirasi partai. Pasalnya sama seperti sebelumnya, calon kepala dan wakil kepala daerah tetap melalui partai. Jadi rakyat hanya memilih calon yang sudah diseleksi oleh partai. Itu artinya aspirasi partai lebih menentukan. Apalagi berikutnya partailah, melalui anggota DPRD dan pengaruh partai yang terus bersama kepala daerah terpilih menentukan kebijakan.

Pilkada serentak nanti juga masih diisi oleh muka-muka lama. Tak sedikit inkumben maju lagi. Atau keluarga, dan orang dekat penguasa. Dengan itu politik dinasti akan terus terjadi. Pilkada serentak nanti juga dibayangi potensi konflik di sejumlah daerah.

Dan satu lagi, pilkada serentak tidak akan lepas dari politik uang. Meski kampanye dibiayai oleh anggaran KPU, biaya yang dibutuhkan calon tetap jauh lebih besar dari itu.

Walhasil, Pilkada serentak pun tidak akan membawa perubahan yang berarti ke arah yang lebih baik?

Ya, sebab yang berubah hanya pelaksanaannya yang dibuat serentak. Sistem utamanya sendiri tidak berubah.

Pilkada serentak bagian upaya memperbaiki sistem demokrasi -pilkada tidak langsung, pilkada langsung, pilkada serentak- temyata gagal, karena pangkalnya sistem demokrasi itu sendiri.

Lantas seperti apa pemilihan pejabat politik dalam Islam?

Islam jelas memiliki sistem terbaik tentang pemilihan pejabat politik atau penguasa. Pada dasarnya sistemnya terbagi dua. Pertama, untuk pemilihan kepala negara atau khalifah. Kedua, penentuan penguasa dan pejabat selain kepala negara.

Untuk kepala negara atau khalifah, pada dasarnya ia dipilih dan diangkat oleh rakyat secara suka rela atas dasar pilihan mereka sendiri. Mekanismenya sendiri bisa melalui pemilihan langsung oleh rakyat, jika hal itu memungkinkan. Bisa juga melalui pemilihan oleh wakil-wakil rakyat. Tentu saja, calon kepala negara atau khalifah itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Islam.

Sementara untuk penentuan penguasa dan pejabat selain kepala negara termasuk penguasa daerah baik wali (gubernur), 'amil (penguasa setingkat bupati/walikota), maka hal itu diserahkan kepada kepala negara atau khalifah. Khalifahlah yang diberi wewenang memilih, menentukan dan mengangkat para penguasa daerah dan para pejabat. Islam menjelaskan kriteria dan syarat-syarat yang harus terpenuhi pada diri penguasa dan pejabat.

Apa keunggulan pemilihan pejabat politik dalam Islam dibanding dengan demokrasi?

Sistem pemilihan pejabat politik dalam Islam itu jelas tidak sarat modal, bahkan akan sangat-sangat murah biaya. Itu artinya, uang rakyat tidak akan banyak terbuang. Dengan tidak sarat biaya, maka peluang lahirnya penguasa dan pejabat koruptif juga jauh lebih kecil. Seperti sudah diakui banyak pihak, sistem politik sarat modal menjadi salah satu faktor utama penyebab maraknya penguasa korupsi.

Karena tak sarat modal, sistem Islam itu juga memperkecil peluang jika tidak bisa dikatakan menutup pintu bagi masuknya cukong politik. Dan dengan itu artinya, kontrol kapitalis bisa dicegah sejak awal. Dan berikutnya, korporatokrasi juga tidak akan terjadi.
Sementara dalam sistem politik demokrasi, semua itu terjadi. Padahal semua itu termasuk pangkal kesusahan bagi rakyat. Artinya dengan bisa mencegah semua itu, sistem pemilihan penjabat politik dalam Islam juga menyelamatkan rakyat dari berbagai kesusahan akibat kontrol kapitalis atas kebijakan publik, kolusi penguasa pengusaha, korporatokrasi, korupsi dan sebagainya.

Keunggulan lainnya?

Sistem pemilihan pejabat politik dalam Islam juga akan melahirkan penguasa dan pejabat yang amanah; peduli dan mengutamakan kepentingan dan memperhatkan aspirasi rakyat. Tapi hal itu juga didukung oleh sistem Islam lainnya. Meski dipilih dan diangkat oleh kepala negara atau khalifah, wali dan 'amil akan senantiasa memperhatikan rakyat. Sebab dalam Islam jika rakyat atau wakil rakyat menampakkan ketidakrelaan atas wali atau 'amil, apapun alasan dan sebab ketidakrelaan itu, maka khalifah harus memberhentikan wali atau 'amil itu meski baru sehari diangkat dan selanjutnya khalifah harus mengangkat pengganti wali atau 'amil yang diberhentikan itu. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam