Tak
pernah terbayangkan jika negeri Muslim terbesar di dunia ini, sekarang tak beda
dengan negeri kafir. Segala apa yang dibolehkan dan dilakukan masyarakat di
Barat, kini diimpor dan dilakukan masyarakat Indonesia.
Salah
satu yang segera diimplementasikan adalah kebolehan membunuh janin dalam
kandungan, bahkan oleh ibunya sendiri. Cukup dengan berdalih sebagai korban
perkosaan, sah mencabut nyawa darah daging dalam rahim.
Begitulah
salah satu pasal kontroversial dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.61/2014
tentang Kesehatan Reproduksi yang di dalamnya ada kebolehan aborsi bagi korban
perkosaan. Konon, legalisasi aborsi ini untuk membela dan melindungi harkat dan
martabat perempuan. Supaya perempuan, khususnya para korban perkosaan itu tidak
menanggung derita seumur hidup karena melahirkan dan mengurus anak dari
pemerkosanya, orang yang tentu dibencinya. Benarkah?
Agenda Liberalisasi
Legalisasi
aborsi bukan hal baru di masyarakat liberal. Banyak negara yang membolehkan
aborsi dengan berbagai alasan. Jepang, India, Korea Utara, Taiwan, Inggris,
Hungaria, Australia dan Zambia membolehkan aborsi dengan alasan sosial dan
kesehatan perempuan. Kuba, Puerto Riko, Mongolia, Cina, Amerika Utara, Vietnam,
sebagian negara-negara di Eropa dan Tunisia melegalkan aborsi berdasarkan
permintaan.
Hingga
kini, boleh-tidaknya aborsi terus menjadi kontroversi di berbagai belahan
dunia. Namun sangat jelas, jika negara tersebut tunduk pada ideologi liberal,
aborsi adalah sebuah keniscayaan. Sebab, dalam liberalisme, kebebasan dan hak
asasi manusia (HAM) adalah ”agamanya”.
Apapun,
selama berlindung di balik HAM akan dilegalkan. Aborsi dituntut oleh para
perempuan sebagai hak asasi mereka. Pola pikir liberal khas Barat mengajarkan
bahwa perempuan memiliki otoritas atas tubuhnya, termasuk rahimnya. Jika ia
hamil, hak dirinya sendiri untuk menentukan pilihan, akan melanjutkan kehamilan
atau menghentikannya. Makanya, kalau mau aborsi, tidak boleh dilarang. Kalau
dilarang, itu melanggar HAM.
Nah,
tampaknya paradigma itulah yang juga diusung oleh pemerintah Indonesia, yang
notabene mengaku negara beragama tetapi bebas alias liberal. Departemen
Kesehatan khususnya, menjadi salah satu pintu gerbang masuknya gelombang
agenda-agenda liberalisasi global.
Argumen Batil
Upaya
legalisasi aborsi tampaknya berangkat dari pemikiran berikut; pertama, fakta
makin banyaknya perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Kedua,
fakta bahwa para perempuan yang KTD ini, banyak yang kemudian melakukan aborsi
secara sembunyi-sembunyi. Mengapa? Pasal KUHP melarang aborsi karena pelakunya
bisa dipenjara maksimal 4 tahun. Karena sembunyi-sembunyi, banyak yang
melakukan aborsi bukan kepada tenaga medis yang aman, tapi kepada pihak yang
kurang kompeten. Makanya, sebaiknya dibolehkan aborsi, agar yang menangani
hanya dokter berpengalaman sehingga aman dan minim risiko. Dengan begitu, bisa
menekan AKI.
Ketiga,
fakta bahwa tidak sedikit ibu-ibu yang sudah menikah pun melakukan aborsi.
Alasannya, karena sudah banyak anak, merasa malu karena "kebobolan"
dan takut tidak sanggup menghidupi anaknya kelak. Jadi, aborsi itu bukan saja
kebutuhan orang yang hamil di luar nikah, juga pasangan nikah yang ingin
menekan jumlah anak. Itu argumen yang terus diulang-ulang bak lagu lawas.
Keempat,
adapun alasan tersembunyi yang tidak pernah dipropagandakan adalah, sejatinya
pemerintah sedang bertekad menekan angka kelahiran, karena penduduk Indonesia
dianggap sudah terlalu banyak. Aborsi adalah salah satu cara supaya natalitas
tercegah. Jadi, mumpung masih janin di perut, dimatikan saja. Begitu kasarnya.
Memicu Seks Bebas
Tentu
saja, semua argumen tersebut sangat mudah dipatahkan. Fakta tentang banyaknya
perempuan hamil di luar nikah alias KTD, jelas hal ini terjadi karena meluasnya
gaya hidup bebas. Pacaran dan zina merajalela. Pornografi dan pornoaksi makin
berani. Tempat hiburan terus bermunculan. Produk-produk dan media pengumbar
syahwat semakin berseliweran, tak henti membombardir nafsu manusia agar
bangkit, hingga mencari berbagai bentuk pelampiasan. Suburlah perzinaan dan
perkosaan.
Pertanyaannya,
mengapa bukan mencari solusi bagaimana mencegah supaya tidak ada KTD? Mengapa
tidak sibuk membuat aturan ketat yang mencegah perkosaan itu sendiri? Mengapa
pemerkosa dihukum ringan? Mengapa tidak mencegah perzinaan dan atau menghukum
pelakunya supaya tidak keburu KTD? Mengapa tidak memberantas sampai akarnya
faktor-faktor penyebab suburnya seks bebas yang menyebabkan meroketnya KTD?
Itulah
yang seharusnya dilakukan, bukan malah membolehkan aborsi. Orang bodoh pun
tahu, jika aborsi dilegalkan, niscaya angka aborsi akan meroket. Orang akan
semakin merasa nyaman melakukan seks bebas karena kalau hamil bisa digugurkan.
Sekarang saja, saat aborsi dianggap kriminal, angkanya terus meningkat, apalagi
jika benar-benar dilegalkan.
Lebih
dari itu, sekalipun PP tadi hanya mengatur kebolehan aborsi untuk korban
perkosaan, di mana letak perlindungan hak asasi si janin? Bukankah dia juga
memiliki hak hidup? Siapa pula yang bisa menjamin orang yang hamil di luar
nikah tidak akan mengaku sebagai korban perkosaan? Aturan tersebut sangat
rentan disalahgunakan.
Menjerumuskan
Kebolehan
aborsi konon untuk melindungi korban perkosaan. Padahal, dari sekian banyak
kasus KTD, yakinlah, lebih banyak karena perzinaan dibanding perkosaan.
Lagipula, alasan melindungi perempuan ini sangat tidak rasional. Sebaliknya,
legalisasi aborsi semakin menjerumuskan perempuan. Sebab, dalam hal ini, akan
semakin banyak perempuan-perempuan yang dijadikan sasaran pelampiasan hawa
nafsu. Di mata para lelaki hidung belang, perempuan hanyalah sebagai obyek
seksual.
Para
lelaki tidak beriman itu akan segera berpikir, sekarang mudah menodai
perempuan. Baik diperkosa atau dizinai atas nama pacaran, diselingkuhi atau
suka sama suka. Toh jika ada risiko hamil, sudah ada jalan keluarnya berupa
aborsi. Jelas ini semakin menyudutkan posisi perempuan. Perempuan benar-benar
dihinakan, bukan malah dilindungi harkat dan martabatnya.
Dalam
pandangan kaum perempuan sendiri, kebolehan aborsi akan menjadi angin segar
bagi mereka untuk meneruskan gaya hidup liarnya. Perempuan akan semakin
terjerumus dalam kubangan perilaku amoral.
Terapkan Islam
Kebolehan
aborsi semakin meneguhkan buruknya perlindungan negara
(sekuler-kapitalisme-liberal) terhadap perempuan. Produk hukum apapun yang
dikeluarkan tidak akan membawa kemaslahatan, bahkan akan menimbulkan berbagai
persoalan baru. Terlebih, nyata-nyata bertentangan dengan ideologi Islam. Dalam
Islam, aborsi boleh dilakukan jika dengan alasan medis, yakni membahayakan
nyawa sang ibu. Jadi bukan sembarangan membunuh janin sesuai hawa nafsu
manusia.
Islam
pun lebih mengedepankan pencegahan atas perilaku amoral. Ada mekanisme hukum syara' yang jika diterapkan serentak dan
komplit, akan mencegah terjadinya ekses-ekses perilaku amoral, seperti zina,
KTD dan aborsi.
- Pertama, tegakkan sistem pergaulan Islam (nizham ijtima’i). Seperti larangan khalwat (berdua-duaan, termasuk pacaran, selingkuh), larangan ikhtilat (pergaulan campur-baur laki-laki dan perempuan), perintah menutup aurat, perintah ghadul bashar, kewajiban untuk menjaga kehormatan dan memelihara kemaluan, dll.
- Kedua, tegakkan hukum Islam bagi pezina. Ahli fiqih sepakat, pezina yang belum menikah dicambuk 100 kali baik laki-laki maupun perempuan (QS. An-Nur: 2). Lalu, jika sudah pernah menikah, dirajam sampai mati.
Jika
hukuman pezina demikian tegas, adakah yang berani berbuat zina? Jika zina sudah
diberantas, tidak perlu repot-repot memikirkan hukuman bagi pelaku aborsi,
karena niscaya angka KTD pun bisa dilenyapkan.
- Mungkin satu dua ada saja yang bandel melakukan aborsi, maka Islam menegakkan sanksi keras karena nyawa -sekalipun masih dalam kandungan- sangat berharga.
Dengan
demikian, hanya Islam yang benar-benar mampu melindungi harkat dan martabat
perempuan dengan melarang aborsi, bukan malah membolehkannya. [] kholda
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 134, September 2014
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar