Wawancara wartawan
Media Umat Joko Prasetyo dengan Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara, Bantul, DIY
Shiddiq al-Jawi. Berikut petikannya.
Bagaimana
dalam pandangan Islam hukuman mati terhadap pengedar narkoba?
Dalam Islam, boleh
hukumnya pengedar narkoba dijatuhi sanksi hukuman mati. Jenis sanksinya disebut
ta'zir, yaitu sanksi syariah yang untuk kejahatan (jarimah) yang tidak ada dalilnya secara khusus. Kalau ada
dalilnya, tidak termasuk ta'zir.
Misalnya, hukuman
cambuk 100 kali untuk orang yang berzina yang ghairu
muhshan (belum nikah), ini ada dalilnya, yaitu QS. An-Nuur: 2. Ini
termasuk huduud. Atau hukuman qishash (hukuman mati) untuk pelaku
pembunuhan, ini ada dalilnya, yaitu QS Al-Baqarah: 178. Ini termasuk jinayat.
Nah, kalau ta'zir,
adalah sanksi untuk kejahatan yang tidak ada dalilnya secara khusus, tapi yang
jelas kejahatan itu berupa kemaksiatan, baik berupa tindakan meninggalkan yang
wajib, seperti tak berpuasa Ramadhan, atau melakukan yang haram, misalnya korupsi.
Nah, mengedarkan narkoba termasuk ta'zir ini. Jenis sanksinya berdasarkan berat
ringannya kejahatannya, atau bahaya yang ditimbulkannya.
Namun
ada yang berpendapat hukuman mati itu melanggar HAM. Tanggapan Anda?
Begini, hukuman mati
itu memang tergantung cara pandangnya. Kalau kacamata HAM ala Barat yang
dipakai, boleh jadi hukuman mati dianggap melanggar nilai kemanusiaan. Tapi
kalau bagi umat Islam, tentu kacamatanya harus Islam yang bersumber Al-Qur’an
dan As-Sunnah, bukan kacamata yang lain, seperti HAM, demokrasi, kebebasan,
dsb.
Dalam Islam, membunuh
jiwa orang lain (termasuk hukuman mati) hukum asalnya memang haram, kecuali ada
alasan yang haq (dibenarkan syariah Islam) (QS Al-An'aam: 151). Jadi, hukuman
mati itu tidak boleh, kecuali yang dibolehkan menurut syariah Islam. Misalnya,
hukuman mati berupa qishash, atau rajam bagi pelaku zina yang muhshan (sudah nikah), termasuk hukuman mati
yang termasuk ta'zir, seperti hukuman mati untuk pengedar narkoba.
Ada
juga yang menyatakan, meski sudah banyak yang dihukum mati tetap saja banyak
yang melakukan tindak kejahatan. Tanggapan Anda?
Lho, apakah kalau
begitu berarti hukuman mati dihapuskan saja? Justru cara berpikirnya harusnya
dibalik menjadi begini, "wong ada hukuman mati saja masih banyak
kejahatan, apalagi kalau hukuman mati dihapuskan. Betul tidak?"
Jadi begini, hukuman
mati memang bisa saja tidak efektif memberikan efek jera. Penyebabnya banyak
faktor. Itu harus dikaji dulu secara mendalam, bukan lantas buru-buru hukuman
matinya yang dihapuskan. Dangkal sekali itu cara berpikir seperti itu.
Lantas,
apakah pelaksanaan hukuman mati (baik narkoba ataupun kasus lain) di Indonesia
sudah benar sesuai syariah Islam?
Tidak sesuai syariah
Islam. Baik untuk kasus narkoba atau kasus lainnya, seperti terorisme. Semua
hukuman mati yang ada di Indonesia tidak sah menurut syariah Islam, dan masih
termasuk dalam pembunuhan yang diharamkan dalam ajaran Islam.
Mengapa?
Karena hukuman mati
dan juga seluruh sanksi pidana lainnya ('uqubat),
baru sah menurut Islam jika terpenuhi dua syarat. Pertama,
hukuman mati itu wajib berdasarkan syariah Islam saja, bukan berdasarkan hukum
lainnya, seperti KUHP, atau berbagai perundang-undangan lainnya, misalnya UU
Penanggulangan Terorisme, UU Narkoba, dsb. Semuanya adalah hukum kufur, bukan
hukum syariah Islam.
Mengapa
wajib berdasar syariah saja?
Karena dalilnya jelas,
yakni membunuh itu dilarang, kecuali dengan alasan yang benar (QS Al-An'aam:
151), maksudnya dengan alasan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Jadi kalau
dibenarkan KUHP, tidak cukup. Harus dibenarkan syariah Islam.
Kedua, hukuman mati itu dilaksanakan hanya
oleh khalifah (imam/kepala negara Islam) atau wakilnya. Tidak boleh hukuman
mati dilakukan oleh perorangan atau kelompok atau pemerintah, yang bukan
pemerintahan khilafah yang dipimpin oleh khalifah (imam/kepala negara Islam).
Hal ini sudah
disepakati oleh seluruh fuqaha tanpa kecuali. Dalam kitab Al-Mausu'ah
Al-Fiqhiyyah disebutkan, "Ittifaqal
fuqahaa‘ 'ala annahu laa yuqiimul hadda illal imaamu au naa’iubuhu.”
Artinya, seluruh ahli fiqih telah sepakat bahwa tidak boleh menegakkan huduud, kecuali imam (khalifah) atau wakilnya.
(Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, 17/144).
Nah, faktanya
pemerintahan di Indonesia bukan sistem khilafah, tapi sistem republik. Jadi,
hukuman mati yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, tidak sah menurut
syariah Islam. Maka menurut saya, hukuman mati di Indonesia perlu disyariahkan,
dengan memenuhi dua syarat tersebut.
Kenapa
hanya Khalifah dan wakilnya yang berhak menjalankan hukuman mati?
Karena itulah yang
dicontohkan Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam dan juga yang
dilanjutkan oleh para khalifah sesudah Beliau sebagai kepala negara khilafah.
Bolehkan
menunda eksekusi hukuman mati? Mengingat di negeri ini banyak terpidana mati
yang sudah bertahun-tahun bahkan belasan tahun belum juga dieksekusi.
Menunda eksekusi
hukuman mati tidak boleh menurut syara'.
Ada kaidah fiqih yang bunyinya: al ashlu annal
jaani yuhaddu fauran ba'da tsubuut al hukm duuna ta‘khiir. Artinya,
hukum asal yang ada ialah terpidana harus dijatuhi had dengan segera setelah
tetapnya keputusan hukum (vonis) tanpa penundaan. (Al-Mausu'ah Al-Jina'iyyah
Al-Islamiyyah 1/196). Bahkan Imam Ibnu Qudamah mengatakan, ”Menunda pelaksanan
had bagi terpidana yang sakit, tidak boleh.” (wa amma ta‘khiirul had lil
mariidh fa-fiihi man'un). (Al-Mughni, 12/443).
Mohon jelaskan fungsi
sanksi dalam Islam beserta dalilnya? Fungsi sanksi dalam Islam ada dua; pertama, sebagai zawajir,
artinya pemberi efek jera atau mencegah masyarakat melakukan kejahatan serupa.
Artinya, jika suatu sanksi dijatuhkan, misalnya qishash
untuk kasus pembunuhan diharapkan akan membuat masyarakat umum tidak berani
membunuh. Karena masyarakat tahu bahwa sanksi membunuh adalah dihukum mati.
Dalilnya QS Al-Baqarah
ayat 179 yang bunyinya wa fil qishashi hayaatun,
artinya, dan di dalam qishash itu ada
jaminan kehidupan. Maksudnya, walau orang yang diqishash
pasti mati, tapi masyarakat akan mengambil pelajaran sehingga tidak berani
membunuh. Dengan demikian terpeliharalah kehidupan di tengah masyarakat.
Kedua, sebagai jawabir,
artinya sanksi dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa dari orang yang
dihukum. Orang yang berzina, misalnya, jika dihukum rajam di dunia, tidak akan
disiksa lagi di akhirat, karena dosanya sudah dihapuskan dengan hukuman rajam
itu di dunia.
Dalilnya hadits shahih
bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Barangsiapa yang dihukum karena
melakukan [maksiat], maka hukuman itu adalah penebus dosa baginya.” (fa-man 'uuqiba bihi fa-huwa kaffaratun lahu).
(HR. Bukhari).
Apakah
sanksi pidana yang diterapkan di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini dapat
mewujudkan dua fungsi tersebut?
Tidak. Karena dua
fungsi sanksi tersebut hanya terwujud jika sanksi pidana yang diterapkan
berdasarkan syariah Islam. Sayangnya, sanksi pidana yang diterapkan di negeri
ini bukan hukum syariah Islam, melainkan hukum kafir penjajah, yaitu KUHP. Na'uzhubillah min dzaiik. []
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 146, Maret 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar