Ingin tahu corak
kebijakan rezim Jokowi-JK? Lihatlah kebijakannya di awal pemerintahannya.
Kenapa? Dari situlah mereka membangun pondasi selama memerintah negeri ini.
Baru sekitar satu
setengah bulan memerintah, rezim Jokowi membuat berbagai kehebohan. Harga bahan
bakar minyak (BBM) dinaikkan di hari ke-28 pemerintahannya. Lho, kok cepat
amat?
Usut punya usut, rezim
Jokowi telah lama memendam syahwat liberalisasi di sektor minyak dan gas. Meneer-meneer asing telah lama kebelet agar subsidi BBM dicabut agar mereka
bisa segera meraih untung dari berjualan bensin dan solar eceran di Indonesia.
Sudah lima tahun lebih, pom-pom bensin mereka merugi karena pengendara lebih
memilih pom bensin Pertamina karena harga bensin dan solarnya lebih murah.
Tak mengherankan,
meski tak masuk di akal karena harga minyak dunia sedang anjlok, rezim Jokowi
dengan entengnya mencabut subsidi BBM. Pom bensin asing pun menyambut gembira.
Benar, kini banyak pengendara kendaraan mampir ke pom bensin merek asing tersebut.
Ini adalah
implementasi paket liberalisasi ekonomi yang didesakkan oleh dunia
internasional (baca: Barat) melalui lembaga-lembaga internasional. Dan itu,
bukan tanpa biaya. Lembaga seperti IMF, Bank Dunia, ADB, dan USAID sudah
menggelontorkan beberapa milyar dolar dalam bentuk utang untuk menyukseskan
liberalisasi ini sejak masa reformasi.
Memang, perjalanan
liberalisasi ini tak seperti diharapkan pada masa sebelumnya. Maka, begitu
Jokowi berkuasa, semua proses liberalisasi mendapat angin. Semua dibuka. Bahkan
tak hanya itu, kini pun Indonesia bergabung bersama negara-negara ASEAN dalam
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
"Apa yang
dilakukan rezim Jokowi ini sejalan dengan ideologi (kapitalisme) neoliberal di
bawah pimpinan AS yang saat ini mendominasi dunia. Liberalisasi perdagangan
sudah berjalan dan akan makin sempurna dengan implementasi perdagangan bebas
baik di tingkat ASEAN, Asia Pasifik maupun dunia," kata Yahya Abdurrahman,
Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI.
Menurutnya,
liberalisasi pengelolaan SDA khususnya migas di sektor hulu dan hilir bisa
dikatakan mendekati sempurna. ”Ini menunjukkan liberalisasi migas makin total.
Berarti liberalisasi ekonomi juga makin total,” jelasnya.
Sekulerisasi
dan Pluralisme
Tak hanya di bidang
ekonomi, kran liberalisasi pun dibuka lebar-lebar di bidang pendidikan, budaya,
bahkan perilaku dan pemikiran.
Menteri Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo melontarkan gagasan penghapusan kolom agama di KTP. Pencantuman
agama di KTP dianggap bentuk diskriminasi dan pemaksaan. Namun setelah publik
bereaksi keras, lantas dikoreksi bahwa maksudnya bahwa pencantuman agama di KTP
tidak harus. Ketika publik masih bereaksi keras, lantas diubah lagi bahwa
maksudnya selain pemeluk enam agama yang diakui boleh mengosongkan kolom agama.
Tak lama berselang,
ada lagi lontaran agar UU Perkawinan direvisi, khususnya ketentuan bahwa
perkawinan dianggap sah jika dilakukan sesuai dengan ketentuan agama. Targetnya
agar perkawinan dianggap sah jika sesuai dengan ketentuan negara, yakni
ketentuan administrasi. Jadi yang diinginkan bahwa sah tidaknya sebuah
perkawinan tidak ada kaitannya lagi dengan agama.
Kemudian ada lagi
lontaran ngawur untuk mengesahkan dan
mengakui Baha'i sebagai agama. Padahal jelas-jelas Baha'i telah menistakan
agama, khususnya Islam. Bisa jadi kalau itu terjadi, Ahmadiyah pun akan minta
diakui. Beragam aliran kepercayaan bahkan aliran sesat juga akan ramai-ramai minta
diakui. Setelah publik Muslim bereaksi keras, lontaran itu pun padam.
Muncul pula gagasan
mengatur penyiaran agama di ruang publik. Lontaran itu mencuat sebagai bagian
dari RUU PUB (Perlindungan Umat Beragama). Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
membenarkan jika saat ini Kementerian Agama sedang mempersiapkan RUU PUB. RUU
akan mengatur perIindungan warga setidaknya dalam dua hal, yaitu memeluk agama
dan menjalankan ajaran agama.
RUU tersebut akan
mengatur sejumlah hal penting, termasuk konsep penyiaran agama. RUU yang
diharapkan selesai April 2015, isi dan bentuknya masih belum jelas. Namun
sebagian pihak sudah mengingatkan agar isinya bukan memberangus dakwah dan
kontrol terhadap penguasa dengan alasan pengaturan penyiaran agama di ruang
publik, misalnya. Jika itu yang terjadi nanti, sama saja mengontrol ceramah,
khutbah, tabligh akbar, dsb. Ketika ada reaksi negatif dari publik atas ide
mengontrol siaran agama (ceramah), buru-buru dinafikan. Katanya, maksudnya
tidak seperti itu.
Terakhir, baru-baru
ini Dirjen Bimas Islam Kemenag, Machasin, mengatakan umat Muslim boleh saja
mengenakan atribut Natal. Bahkan untuk kepentingan bisnis sekalipun. Katanya
hanya untuk menghargai agama lain saja.
Reaksi keras pun
bermunculan dari publik. Sekjen Kemenag Nur Syam akhirnya angkat bicara, tidak
mendukung pemakaian atribut Natal bagi karyawan Muslim. Menurutnya, para
karyawan harusnya hanya diwajibkan memakai seragam kantornya.
Sementara itu, Menteri
Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan mengatakan,
kementeriannya sedang mengevaluasi proses belajar mengajar di sekolah-sekolah
negeri. Salah satunya terkait tata cara membuka dan menutup proses belajar.
"Saat ini kita sedang menyusun, tatib soal aktivitas ini, bagaimana
memulai dan menutup sekolah, termasuk soal doa yang memang menimbulkan masalah.
Ini sedang direview dengan biro hukum,”
katanya.
Menurut Anies, sekolah
negeri bukanlah tempat untuk mempromosikan keyakinan agama tertentu. Sesuai
dengan asas pemerintah menjamin kemerdekaan beragama di Indonesia, sekolah
seharusnya memberikan kesetaraan bagi penganut agama lainnya. ”Sekolah negeri
menjadi sekolah yang mempromosikan sikap berketuhanan yang Maha Esa, bukan satu
agama," katanya. (detiknews, 1/12/2014)
Terang saja, niat
Anies itu diprotes banyak pihak. Akhirnya, mantan Rektor Universitas
Paramadina itupun mengelak dengan mengatakan bahwa tidak berencana melanjutkan
penyusunan tata tertib (tatib) terkait tata cara membuka dan menutup proses
belajar mengajar di sekolah dengan berdoa. "Tidak tahu tatib itu akan
dibikin apa tidak. Itu baru wacana," kata Anies.
Entah, gagasan apa
lagi yang akan muncul dari rezim Jokowi-JK. Yang jelas, kini liberalisasi dan
sekulerisasi sudah terang-benderang terjadi di depan mata!
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 141 Desember 2014 – Januari 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar