Stigmatisasi
Negatif Islam
Serial King Suleiman
diklaim sebagai kisah fiksi sejarah. Namun, yang terjadi justru pemutarbalikan
sejarah. Sangat jauh dari sejarah, kecuali hanya sosok utamanya saja yang
namanya dilekatkan pada sejarah Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Pembina Asosiasi
Penulis Ideologis (API) Islam, Salman Iskandar menjelaskan, menulis Fiksi
sejarah memerlukan kejujuran pada kebenaran fakta sejarah. ”Kalau kita tidak
jujur maka cerita yang dituliskan itu cenderung mengada-ada, bahkan -meminjam
istilah sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara- akan terjebak pada dongengan
sejarah,” jelasnya.
Ia meyakini, penulis
serial King Suleiman (Abad Kejayaan) bukanlah seorang idealis, apalagi seorang
ideologis. Ini bisa dilihat dari dominasi fakta mental -mengaduk-aduk emosi-
dibandingkan fakta sejarah itu sendiri. ”Besar kemungkinan, dia adalah seorang
pragmatis yang hanya mengejar keuntungan materi dari rating televisi yang menayangkan serial tersebut dengan
mengorbankan kebenaran fakta sejarahnya,” jelasnya.
Dai muda Felix Y Siauw
menegaskan, penulisan novel fiksi pun punya kode etika. Tidak boleh menyesatkan
lalu bersembunyi di balik fiksi. Ia memisalkan, bagaimana bila ada seseorang
menggambarkan Muhammad Rasulullah dengan salah, lalu berlindung di balik “ini
hanya fiksi”. Ini, menurutnya, menyebarkan kedustaan dan kebohongan.
Stigma
Negatif
Serial ini, menurut
Felix, memunculkan pikiran negatif terhadap sistem Islam. ”Mereka akan
mengatakan, “Begitulah bila lslam diterapkan, begitulah orang yang menganut
Islam, gila wanita, mabuk-mabukan, bunuh-bunuhan,” kata Felix. Ujung dari semua
itu, menurut penulis buku Muhammad Al Fatih 1453 ini dimaksudkan untuk mencabut
kegemilangan peradaban Islam dari kaum Muslim, dan membuat dada umat Islam
kosong dari kebanggaan mereka terhadap sejarah Islam.
Lebih dari itu,
lanjutnya, mereka ingin membuat generasi muda menjauh dari tokoh-tokoh Islam,
dan menganggap tokoh-tokoh Barat sekuler lebih modern dan keren. ”Semua ini
bagian dari perang pemikiran, stigmatisasi negatif terhadap Islam,"
tandasnya.
Juru bicara Hizbut
Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto menilai, ada kepentingan sekuler Kemalis
-pengikut/pemuja Mustafa Kemal Pasha (Bapak sekulerisme Turki) di balik
pembuatan serial ini.
Ini bisa dilihat dari
istilah-istilah yang digunakan seperti raja, atau kaisar. Istilah tersebut
tidak ada dalam istilah Islam. ”Serial ini sepenuhnya mengikuti alur ideologi
Kemal Pasha, yang ingin menghapus jejak-jejak Kekhilafahan Utsmani hingga ke akar-akarnya
sehingga hingga sekarang istilah khilafah, terlebih dalam dokumen-dokumen
resmi, tidak lagi dipakai dalam penyebutan Kekhilafahan Utsmani," kata
Ismail menjelaskan.
Kentalnya nilai-nilai
sekuler ini pun bisa dilihat dari penyebutan Khilafah Utsmani menjadi Ottoman
Empire. Juga dari visualisasi para perempuan-perempuannya yang tidak berjilbab
dan mengenakan khimar (kerudung).
Perempuan digambarkan secara vulgar. ”Apakah benar begini perempuan di sekitar
sosok khalifah yang dikabarkan separuh hidupnya dihabiskan di pelana kuda dalam
jihadnya memperluas area dakwah Islam?” papar Ismail.
Dendam
Barat
Tidak dapat dipisahkan
antara Turki modern dan Barat. Lahirnya Turki sekuler yang diproklamirkan oleh
Mustafa Kemal pada 1924 tidak lepas dari tangan Barat-khususnya Inggris.
Kemerdekaan Turki
secara resmi diakui dengan penandatanganan Traktat Lausanne. Inggris dan
sekutu-sekutunya menarik semua pasukannya dari Turki yang ditempatkan sejak
akhir PD I.
Protes pun
bermunculan, khususnya ditujukan kepada Inggris karena mengakui kemerdekaan
Turki. Menlu Inggris Lord Curzon di House of Common menjawabnya:
"Situasinya sekarang adalah Turki telah mati dan tidak akan pernah bangkit
lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, khilafah dan Islam.”
Felix menegaskan, kaum
sekuler Barat sangat memahami dan menyadari bahwa khilafah adalah ancaman nyata
bagi mereka. ”Maka makar-makar ini dilakukan,” jelasnya.
Terlebih lagi, menurut
Ismail, di tangan Khalifah Sulaiman inilah Barat mengalami kekalahan telak yang
amat memalukan. Barat yang menganggap diri sebagai bangsa berperadaban tinggi,
tidak terima begitu saja. ”Ada semacam dendam sejarah, sehingga apa saja yang
bisa merendahkan martabat Khalifah Sulaimanmereka akan lakukan,” jelasnya.
Kepentingan
Bisnis
Selain itu, penayangan
Serial King Suleiman ini tak lepas dari kepentingan bisnis. Serial 400 episode
ini harga belinya termasuk murah. Kendati begitu, tayangan ini sukses meraih
perhatian pemirsa televisi di 60 negara.
Saat diputar perdana
di Indonesia, serial ini berhasil menjadi juara di slotnya dengan perolehan rating 5,6 dan share
sebesar 25,9 berdasarkan data AC Nielsen, dari all
target audience. Artinya, kalau pemirsa TV pada jam itu 100 juta, serial
King Suleiman ditonton oleh 25,9 juta pemirsa. Ini dinilai sebagai pencapaian
luar biasa secara komersial.
Tak heran, meski
banyak penentangan terhadap tayangan ini, pihak ANTV tak peduli. Bahkan,
menurut sumber Media Umat, stasiun televisi milik Bakrie ini berusaha mencari
tokoh/ulama yang bisa melegitimasi diputarnya serial tersebut.
”Inilah bukti bahwa
perusahaaan media dalam sistem sekuler hanya berorientasi profit. Televisi
mendudukkan rating dan share di atas nilai kepatutan apalagi nilai
kebenaran sesuai agama,” kata juru bicara Muslimah HTI Iffah Ainur Rochmah. []
Kesumat
Barat
Sekularisasi menjadi
senjata Barat untuk melemahkan Islam. Didukung oleh para pengikutnya, yang
notabene Muslim, Barat ingin mencegah kekuatan Islam bangkit kembali. Ini tidak
lepas dari dendam kesumat Barat berabad-abad yang lalu sebagai akibat Perang Salib.
Ilmuwan Prancis Comte
Henri Descrates (1896 M) mengatakan: “Saya tidak tahu, apa yang akan dikatakan
kaum Muslim seandainya mereka mengetahui kisah-kisah Abad Pertengahan, dan
memahami apa yang terdapat dalam nyanyian-nyanyian orang Kristen? Sesungguhnya
Seluruh nyanyian kami hingga yang tampak sebelum abad ke-12 Masehi bersumber
dari pikiran yang satu. Pikiran itulah yang menjadi sebab timbulnya Perang
Salib. Seluruh nyanyian dibalut dengan kebusukan dendam terhadap kaum Muslim
dan membodohkan agama mereka…”
Di abad 21 ini, dendam
itu pun terwujud dengan program Global War on Terrorism (GWOT) yang menjadikan
Islam sebagai sasaran Barat menuding orang-orang Islam yang beriuang menegakkan
Islam dan mengembalikan institusi khilafah sebagai kelompok radikal dan tak
jarang dikategorikan sebagai teroris. Bersamaan dengan itu Barat menanamkan
Islam ala Barat di negeri-negeri Islam. Ajarannya mengarah kepada liberalisasi
agama Islam. Melalui cara ini Barat berharap muncul Islam yang bisa menerima
ide-ide dan nilai-nilai Barat bukan Islam yang berseberangan/memusuhi kezaliman
Barat. Upaya Barat ini didukung sepenuhnya oleh media massa mainstream yang berkiblat ke Barat.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 143, Januari-Pebruari 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar