Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 09 Mei 2017

Tempat yang Makruh Digunakan Untuk Shalat


Tempat-tempat yang Makruh Sebagai Tempat Shalat

Tempat-tempat tersebut adalah:

a. Tempat yang di dalamnya ada sesuatu yang melalaikan dan menyibukkan orang yang shalat. Misalnya tempat-tempat yang berisi dengan permainan, rumah-rumah yang banyak berhiaskan gambar dan berbagai lukisan, jalan-jalan yang ramai oleh manusia, pasar-pasar yang padat pengunjung, dan lain-lain.
b. Tempat pembaringan unta
c. Tempat di antara tiang-tiang dan pilar-pilar masjid
d. Tempat tertentu yang ditetapi oleh seseorang

Keempat jenis tempat ini dimakruhkan untuk shalat di atasnya, meskipun tidak sampai pada batas keharaman.

Dimakruhkannya shalat di tempat yang di dalamnya ada sesuatu yang melalaikan atau menyibukkan seseorang dari shalatnya adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim dan Bukhari dari Aisyah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berdiri melaksanakan shalat mengenakan pakaian yang bergambar, sehingga beliau Saw. sempat melihat gambar tersebut. Tatkala beliau selesai shalatnya, beliau Saw. berkata: “Kembalikanlah pakaian ini pada Abu Jahm bin Hudzaifah, dan bawakanlah untukku pakaian bulu yang kasar, karena sesungguhnya pakaian ini telah melalaikan aku dalam shalatku.”

Anbijaniyah adalah pakaian bulu yang kasar yang tidak bergaris.

Dimakruhkannya shalat di tempat pembaringan unta, karena ada ‘ilat khawatir unta tersebut akan menyakiti dan menimbulkan madharat pada orang yang shalat, karena orang yang shalat di antara unta-unta berarti telah menempatkan dirinya ke dalam sikap was-was dan takut, sehingga bisa berpengaruh pada kekhusyu-an dan thuma'ninah dalam shalatnya. Dari Ibnu Mughaffal ra. ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Janganlah kalian shalat di tempat penderuman unta, karena ia diciptakan berasal dari jin. Tidakkah kalian melihat matanya dan kegesitannya jika dia berlari? Sholatlah di kandang kambing, karena ia menjadi tempat yang lebih dekat kepada rahmat.” (HR. Ahmad dan Thabrani)

Sabda beliau: hibahaha: yakni kegesitan dan banyaknya gerak. Maka 'ilat-nya adalah kekhawatiran apabila unta itu lari, serta berbagai hal yang diakibatkannya, yang bisa jadi mencelakai manusia.

Adapun makruhnya shalat di antara tiang-tiang masjid adalah berdasarkan riwayat dari Abdul Hamid bin Mahmud, bahwa ia berkata:

“Aku shalat bersama Anas bin Malik pada hari Jum'at, lalu kami didorong ke dekat tiang-tiang. Kami pun maju sedikit ataupun mundur. Lalu Anas berkata: “Kami memelihara diri kami dari hal ini di masa Rasulullah Saw.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Kami shalat di belakang salah seorang penguasa, lalu orang-orang mendorong kami, sehingga kami shalat di antara dua tiang. Tatkala kami selesai shalat, Anas bin Malik berkata: “Kami berusaha memelihara diri kami dari hal ini…”

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Muawiyah bin Qurrah dari ayahnya, bahwa ia berkata:

“Kami dilarang melakukan shalat di antara tiang-tiang, bahkan kami diusir dari situ dengan keras.” (HR. Ibnu Khuzaimah, lbnu Majah dan Ibnu Hibban)

Hukum shalat di antara tiang-tiang ini khusus terkait dengan shalat jamaah. Adapun dalam shalat munfarid (sendirian) maka hukumnya boleh dilakukan di antara tiang-tiang dan tidak dimakruhkan. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata:

“Nabi Saw. memasuki baitullah, kemudian (diikuti oleh) Usamah bin Zaid, Utsman bin Thalhah dan Bilal. Beliau Saw. agak lama (berada) di dalam, lalu keluar. Aku adalah orang yang pertama mengikuti jejaknya, lalu aku bertanya kepada Bilal: 'Di manakah beliau shalat?' Bilal menjawab: “Di antara dua tiang yang paling depan.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Mengenai (kebiasaan) mengambil satu tempat khusus di masjid tanpa (menempati tempat lain) selainnya untuk shalat, maka hukumnya makruh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Syibl bahwa dia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang seseorang menjadikan satu tempat tertentu untuk shalat sebagaimana seekor unta menempati sesuatu untuk pembaringannya." (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan redaksi,

“Rasulullah Saw. melarang shalat dari tiga hal: patukan burung gagak, duduknya binatang buas, seseorang mengambil satu tempat seperti unta menempati tempat pembaringannya.”

Sabda beliau patukan burung gagak (naqrul ghurab), ini merupakan kiasan orang yang meringankan dan terlalu cepat dalam bersujud. Sedangkan arti dari ucapan Beliau Saw. duduknya binatang buas (fursyatus sabu' dalam riwayat Ibnu Majah dan iftirasyus sabu' dalam riwayat Ahmad) adalah orang yang shalat dengan menempelkan kedua sikunya di atas tanah ketika bersujud dan tidak mengangkatnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh anjing atau serigala. Dan arti dari seseorang menempati suatu tempat: yakni seseorang menjadikan dan menetapkan satu tempat tertentu di dalam masjid sebagai tempat ia melakukan shalat tanpa selainnya, sebagaimana biasa dilakukan oleh unta, di mana ia tidak menderum atau berbaring kecuali di satu penderuman, dan tidak pernah berpindah dari tempat itu.

Larangan dalam hadits-hadits di atas menunjukkan makruhnya perbuatan tersebut, namun tidak sampai pada batas keharaman. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Salmah bin al-Akwa':

“Bahwasaya ia datang ke masjid untuk melakukan sunat dhuha. Kemudian dia menuju satu tiang di depan mushaf, dan shalat di dekatnya. Maka aku katakan kepadanya: Tidakkah engkau shalat di sana saja, dan aku tunjukkan sebagian tempat lain di masjid tersebut.” Ia menjawab, “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah Saw. menetapi tempat ini.” (HR. Ibnu Majah)

Adanya keterangan bahwa Rasulullah Saw. kadangkala menetapi suatu tempat sebagai tempat shalatnya memalingkan larangan menempati suatu tempat tertentu ini menjadi makruh hukumnya.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah
(artikel blog ini tanpa tulisan arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam