Haramnya Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid
Kami telah menyatakan
dalam pembahasan “tempat-tempat yang tidak boleh dijadikan tempat shalat”,
bahwa shalat di atas kuburan adalah sesuatu yang dilarang. Di sini kami ingin
lebih merinci pernyataan tersebut, karena banyak kaum Muslim telah melanggar batasan
ini. Mereka membangun masjid-masjid di atas kuburan, lalu bertawasul kepada Allah dengan nama penghuni
kuburan tersebut dalam doa-doa mereka, dan melakukan berbagai ritual paganisme
(syirik) di sekitarnya. Perlu kami nyatakan:
Ada perbedaan antara
orang yang shalat di atas kuburan dengan orang yang shalat di suatu tempat yang
di atasnya ada kuburan atau beberapa kuburan, di mana hal itu dilakukan demi
atau untuk satu atau beberapa kuburan ini dengan anggapan bahwa shalat di sana
itu lebih utama dan lebih besar barakahnya, serta doanya bisa lebih cepat
diterima dan diijabah.
Shalat di atas kuburan
itu haram. Yang kami maksud dengan kuburan adalah lahan khusus untuk mengubur
orang mati. Adapun tanah yang di dalamnya dikubur satu atau dua mayat,
sementara peruntukan tanah tersebut tetap untuk selain pemakaman, misalnya
pertanian dan membuat bangunan, maka ini bukanlah kuburan, sehingga shalat di
atasnya tetap sah dan tidak haram. Berbeda dengan tempat yang dikhususkan
untuk mengubur orang mati, dan di dalamnya telah dikubur beberapa orang yang
mati, maka secara langsung ini telah menjadi kuburan tanpa mempedulikan lagi
banyak atau sedikitnya orang yang dikubur di dalamnya. Jadi, shalat di atas
kuburan itu haram, dengan tidak mempedulikan lagi apakah orang yang shalat
tersebut melakukan shalat di atas kuburan langsung atau di satu lahan dari
pekuburan tersebut, selama hal itu masih menjadi bagian yang disebut sebagai
lahan pekuburan.
Shalat di atas kuburan
karena kuburan tersebut, dengan mengharap memperoleh barakah, dan menjadikannya
sebagai masjid, maka keharamannya dan dosanya lebih besar lagi. Dari Jundub
ra., ia berkata: aku mendengar Nabi Saw. berkata lima hari sebelum wafat:
“…Sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka dan
orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan
kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari hal itu.” (HR.
Muslim)
Dari Aisyah ra. dan
Abdullah bin Abbas ra., keduanya berkata:
“Tatkala aku bermalam
bersama Rasulullah Saw., Beliau Saw. kemudian melemparkan kain menutupi
wajahnya, seraya berkata: “Laknat Allah ditimpakan atas orang Yahudi dan
Nashrani, karena mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.”
Beliau memperingatkan untuk menjauhi perbuatan seperti mereka.” (HR. Muslim)
Ahmad meriwayatkan
hadits yang semakna. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Allah memerangi orang
Yahudi, karena mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.” (HR.
Muslim dan Bukhari)
Dalam riwayat Muslim
dan Bukhari yang lain melalui jalur Abu Hurairah:
“Allah melaknat
orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi
mereka sebagai masjid-masjid.”
Dari Aisyah ra., bahwa
Rasulullah Saw. bersabda:
“Allah melaknat suatu
kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Ibnu
Hibban, Ahmad dan Nasai)
Dari Atha bin Yasar,
bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Ya Allah, janganlah
engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah, kemarahan Allah sangat
besar terhadap satu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai
masjid.” (HR. Malik)
Di dalam sanadnya satu nama sahabat gugur, dan gugurnya
nama sahabat dalam sebuah sanad itu tidak bermasalah, karena seluruh sahabat
itu adil.
Dari Abdullah bin
Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya manusia
yang terburuk adalah orang yang mendapati Hari Kiamat sedangkan mereka dalam
keadaan hidup, dan orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.” (HR. Ibnu
Khuzaimah, Ahmad dan Ibnu Hibban)
Hadits ini telah
disebutkan sebelumnya dalam pembahasan “tempat-tempat yang tidak boleh menjadi
tempat shalat” pasal “masjid dan tempat-tempat shalat”.
Rasulullah Saw. telah
melarang menjadikan kuburan sebagai masjid, yakni tempat shalat, dan Beliau
Saw. mengecam keras orang yang melakukan hal itu. Beliau Saw. mengatakan:
“laknat Allah”, “Allah memerangi”, “Allah melaknat”, “Kemarahan Allah sangat
besar”, “Sesungguhnya manusia yang paling buruk”, ini menjadi redaksi kalimat
yang paling jelas dan tegas yang menunjukkan larangan dan kecaman serta
haramnya melakukan hal itu. Berbagai bentuk kecaman yang keras dan ancaman
serta pengharaman menjadikan kuburan sebagai masjid ini tidak sekeras larangan
shalat di atas kuburan, sehingga ada perbedaan di antara keduanya. Maka seluruh
masjid yang dibangun di atas kuburan Nabi atau kuburan orang shalih, baik
sahabat dan para imam karena atau demi kuburan tersebut, maka tidak boleh
dijadikan tempat shalat. Masjid seperti itu wajib dihancurkan sebagaimana
masjid dhirar. Perhatikan ucapan Nabi Saw.: “Ya
Allah, janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.”
Di dalamnya ada isyarat atas adanya pemberhalaan kuburan yang dijadikan sebagai
masjid, dengan melakukan thawaf di sekitarnya, memberikan harta di atasnya,
mengusap-usapnya, bertawasul kepadanya
dan pada penghuni kuburnya, serta berbagai hal lain yang termasuk ritual
paganisme.
Sebagai contoh kuburan
yang dibangun masjid di atasnya: masjid al-Ibrahimi di kota al-Khalil
(Palestina), sahabat (Nabi Saw.) di pedalaman Yordania dan di Mu’tah,
masjid-masjid di Kairo, banyak masjid di Irak dan Iran, maka tidak halal shalat
di dalam masjid-masjid tersebut. Menghancurkannya menjadi satu keharusan, atau
minimal dengan menutupnya, dan membersihkan kaum Muslim dari fitnah yang
ditimbulkannya.
Seperti yang sudah
kami katakan secara khusus, bahwa masjid dhirar, kuburan, kamar mandi, dan
tempat-tempat najis serta tempat-tempat yang di dalamnya ada patung, maka kami
katakan pula secara khusus bahwa masjid-masjid (yang dibangun) di atas kuburan,
meski tempat-tempat ini seluruhnya jika digunakan shalat di atasnya merupakan
tindakan yang diharamkan, akan tetapi orang yang shalat di atasnya tetap sah
shalatnya dengan membawa dosa, dan tidak wajib atasnya untuk melakukan i’adah (mengulang shalat).
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar