Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 27 Mei 2017

Sistem Syariah Khilafah Kewajiban Bukan Ancaman



Kewajiban Bukan Ancaman

Sebagian kalangan sangat takut dengan penerapan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Anehnya, mereka menyebut dirinya Muslim. Kalau orang kafir khawatir, itu wajar. Tapi ini Muslim! Apakah ada penganut demokrasi yang khawatir demokrasi diterapkan dengan benar?

Yang lebih ironis lagi, ada sebagian kalangan yang menyebut Islam sebagai ancaman. Padahal kata 'mengancam' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bermakna menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau mencelakakan pihak lain.

Pertanyaannya, apakah penerapan Islam secara kaffah dalam naungan kaffah akan merusak, merugikan, menyulitkan atau mencelakakan pihak lain? Bagaimana mungkin penegakan khilafah -sebagai institusi penerap syariah secara kaffah yang bisa mendatangkan kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat manusia-dikatakan merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau mencelakakan pihak lain? ”Jelas ini adalah pernyataan ngawur dan mengada-ada serta menantang perintah Allah SWT," kata Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Rakhmat S. Labib.

Menurutnya, seharusnya tak ada kaum Muslim yang merasa terancam dengan syariah Islam, bahkan non-Muslim sekalipun. Pasalnya, penerapan syariah dalam institusi khilafah adalah rahmat bagi alam semesta. ”Jadi, siapa lagi yang merasa terancam kalau bukan kaum kafir Barat, pihak-pihak yang anti Islam serta kaum oportunis yang takut terusik dan kehilangan bagian keuntungan dalam sistem kapitalisme yang rusak ini," tandasnya.

Kewajiban

Bagi kaum Muslim, perjuangan menerapkan syariah lslam secara kaffah dalam naungan khilafah adalah sebuah kewajiban. Ini merupakan konsekuensi logis dari orang-orang yang beriman untuk masuk Islam secara kaffah.

Selain ada kewajiban individu, banyak dalil dalam Al-Qur’an yang secara jelas menunjuk pada kewajiban negara. Di antaranya, kewajiban penguasa untuk berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48, 49); juga ayat-ayat hukum yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah sebagai kepala negara khilafah, seperti qishash bagi pembunuh (QS al-Baqarah [2]: 178), hukum potong tangan bagi pencuri (QS ai-Maidah [5]: 38), hukum cambuk bagi pezina bukan muhshan (QS an-Nur [24]: 2), dan sebagainya.

Ayat-ayat yang mewajibkan penguasa berhukum dengan hukum Islam, juga seluruh ayat yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah, adalah dalil atas kewajiban menegakkan khilafah. Tak mungkin ayat tersebut diturunkan tapi tidak untuk dilaksanakan, atau hanya sebagai berita. Dan tak mungkin pula negara yang menolak agama sebagai dasar negara -negara demokrasi- mau menerapkan syariah Islam secara kaffah. Maka, negara yang akan melaksanakan syariah secara sempurna hanyalah negara khilafah.

Kaidah syar'iyyah menegaskan: selama sebuah kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib hukumnya. Artinya, jika kewajiban menerapkan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan tidak terlaksana sempurna kecuali dengan tegaknya Negara Khilafah, berarti Khilafah itu wajib juga hukumnya secara syar'i.

Selain itu, banyak hadits menunjuk atas kewajiban itu. Di antaranya, sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja yang mati dan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah/Imam), matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

Juga dari Ijmak Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW) yakni kesepakatan para sahabat untuk mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang lebih mereka prioritaskan daripada menguburkan jenazah Rasulullah SAW.

Kewajiban menegakkan khilafah ini asalnya adalah fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain. Namun, karena fardhu kifayah ini kenyataannya belum terwujud, yakni berupa tegaknya khilafah, maka hukum menegakkan khilafah saat ini, telah menjadi fardhu 'ain, yakni menjadi kewajiban setiap Muslim sesuai kemampuan masing-masing. []

Qaul Ulama Tentang Khilafah

Perjuangan menegakkan khilafah bukanlah hal baru. Para ulama masyhur terdahulu telah membahasnya. Berikut sebagian dari pendapat mereka.

Al-'Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah," (Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim XII/205).

Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat.” (Imam al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 5).

Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A'sham (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 1/264-265).

Imam 'Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, “Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat, juga karena kebutuhan umat Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan dengan hukum; untuk menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim; untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam.” (Imam al-Kassani, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syarat, XIV/406).

Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikutinya.” (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsir al-Lubaba fi ‘Ulum al-Kitab, 1/204).

Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Muhammad bin 'Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, “Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia.” (Abu Ya'la al-Farra'i, al-Ahkam as-Sulthaniyah, hlm.19).

Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.” (Imam ibn Hazm, Maratib al-Ijma’, 1/124).

Di tempat Iain, Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah SAW.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal, IV/87). []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 173, Mei 2016
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam