Kewajiban
Bukan Ancaman
Sebagian kalangan
sangat takut dengan penerapan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.
Anehnya, mereka menyebut dirinya Muslim. Kalau orang kafir khawatir, itu wajar.
Tapi ini Muslim! Apakah ada penganut demokrasi yang khawatir demokrasi
diterapkan dengan benar?
Yang lebih ironis
lagi, ada sebagian kalangan yang menyebut Islam sebagai ancaman. Padahal kata
'mengancam' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bermakna menyatakan
maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan,
menyusahkan atau mencelakakan pihak lain.
Pertanyaannya, apakah
penerapan Islam secara kaffah dalam naungan kaffah akan merusak, merugikan,
menyulitkan atau mencelakakan pihak lain? Bagaimana mungkin penegakan khilafah
-sebagai institusi penerap syariah secara kaffah yang bisa mendatangkan kemaslahatan
dan kesejahteraan seluruh umat manusia-dikatakan merugikan, menyulitkan,
menyusahkan atau mencelakakan pihak lain? ”Jelas ini adalah pernyataan ngawur
dan mengada-ada serta menantang perintah Allah SWT," kata Ketua DPP Hizbut
Tahrir Indonesia Rakhmat S. Labib.
Menurutnya, seharusnya
tak ada kaum Muslim yang merasa terancam dengan syariah Islam, bahkan
non-Muslim sekalipun. Pasalnya, penerapan syariah dalam institusi khilafah
adalah rahmat bagi alam semesta. ”Jadi, siapa lagi yang merasa terancam kalau
bukan kaum kafir Barat, pihak-pihak yang anti Islam serta kaum oportunis yang
takut terusik dan kehilangan bagian keuntungan dalam sistem kapitalisme yang
rusak ini," tandasnya.
Kewajiban
Bagi kaum Muslim,
perjuangan menerapkan syariah lslam secara kaffah dalam naungan khilafah adalah
sebuah kewajiban. Ini merupakan konsekuensi logis dari orang-orang yang beriman
untuk masuk Islam secara kaffah.
Selain ada kewajiban
individu, banyak dalil dalam Al-Qur’an yang secara jelas menunjuk pada
kewajiban negara. Di antaranya, kewajiban penguasa untuk berhukum dengan apa
saja yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48, 49); juga ayat-ayat hukum
yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah sebagai kepala negara khilafah,
seperti qishash bagi pembunuh (QS
al-Baqarah [2]: 178), hukum potong tangan bagi pencuri (QS ai-Maidah [5]: 38),
hukum cambuk bagi pezina bukan muhshan
(QS an-Nur [24]: 2), dan sebagainya.
Ayat-ayat yang
mewajibkan penguasa berhukum dengan hukum Islam, juga seluruh ayat yang
pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah, adalah dalil atas kewajiban
menegakkan khilafah. Tak mungkin ayat tersebut diturunkan tapi tidak untuk
dilaksanakan, atau hanya sebagai berita. Dan tak mungkin pula negara yang
menolak agama sebagai dasar negara -negara demokrasi- mau menerapkan syariah
Islam secara kaffah. Maka, negara yang akan melaksanakan syariah secara
sempurna hanyalah negara khilafah.
Kaidah syar'iyyah
menegaskan: selama sebuah kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali
dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib hukumnya. Artinya, jika kewajiban
menerapkan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan tidak terlaksana sempurna
kecuali dengan tegaknya Negara Khilafah, berarti Khilafah itu wajib juga
hukumnya secara syar'i.
Selain itu, banyak
hadits menunjuk atas kewajiban itu. Di antaranya, sabda Rasulullah SAW: “Siapa
saja yang mati dan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah/Imam), matinya
adalah mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Juga dari Ijmak
Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW) yakni kesepakatan para sahabat
untuk mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. sebagai khalifah setelah wafatnya
Rasulullah SAW, yang lebih mereka prioritaskan daripada menguburkan jenazah
Rasulullah SAW.
Kewajiban menegakkan
khilafah ini asalnya adalah fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain. Namun, karena
fardhu kifayah ini kenyataannya belum terwujud, yakni berupa tegaknya khilafah,
maka hukum menegakkan khilafah saat ini, telah menjadi fardhu 'ain, yakni menjadi
kewajiban setiap Muslim sesuai kemampuan masing-masing. []
Qaul
Ulama Tentang Khilafah
Perjuangan menegakkan
khilafah bukanlah hal baru. Para ulama masyhur terdahulu telah membahasnya.
Berikut sebagian dari pendapat mereka.
Al-'Allamah Abu
Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam
mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang
khalifah," (Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim XII/205).
Ulama lain dari mazhab
Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di
tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat.”
(Imam al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 5).
Imam al-Qurthubi,
seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah
al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai
kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati,
untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada
perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun
di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A'sham (Imam
al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 1/264-265).
Imam 'Alauddin
al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, “Sesungguhnya
mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di
antara ahlul haq mengenai masalah ini.
Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali
tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat,
juga karena kebutuhan umat Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan
dengan hukum; untuk menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim;
untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan
kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya
imam.” (Imam al-Kassani, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syarat, XIV/406).
Imam Umar bin Ali bin
Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, “Ayat ini (QS
al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang
wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan
hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di
kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang
mengikutinya.” (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsir al-Lubaba fi ‘Ulum al-Kitab,
1/204).
Imam Ahmad bin Hanbal
dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Muhammad bin 'Auf bin Sufyan
al-Hamashi, menyatakan, “Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang
mengatur urusan manusia.” (Abu Ya'la al-Farra'i, al-Ahkam as-Sulthaniyah,
hlm.19).
Imam Abu Muhammad Ali
bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para ulama
sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu
merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah
menyalahi ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya.
Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim
pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka
berada di satu tempat atau di dua tempat.” (Imam ibn Hazm, Maratib al-Ijma’,
1/124).
Di tempat Iain, Imam
Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij
bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga
bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang
menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan
hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah SAW.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fi
al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal, IV/87). []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 173, Mei 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar