Jagad maya
gonjang-ganjing. Oki Setiana Dewi (OSD) yang sudah terlanjur disapa ustadzah,
diminta mencabut gelar tersebut oleh petisi di charge.org. OSD dituding
ustadzah abal-abal. Ada delapan alasannya. Salah satunya, dianggap melakukan
pembohongan publik terkait klaim bahwa ia pernah short
course (kuliah) di Universitas Ummul Quro, Mekah (Jawa Pos.com,
27/4/16).
Tulisan berikut bukan
untuk mengorek dan mengklarifikasi isu tersebut. Sekadar bahan kontemplasi
diri. Apakah kita pengemban dakwah? Pejuang syariah dan khilafah? Apakah kita
pembela Islam? Apakah semua lulusan pesantren pasti berIslam dengan lurus?
Gelar
Guru
Dalam Bahasa
Indonesia, kata ustadz bermakna pendidik atau guru. Lebih lanjut, kata ini
merujuk kepada guru, pengajar atau orang yang dihormati dalam bidang Islam.
Jadi, ustadz/ustadzah adalah orang yang mendidikkan atau menasihatkan Islam.
Gelar yang memang
bukan permintaan si pelaku. Masyarakat yang menyematkan. Dikarenakan brand image dia sebagai pembawa pesan-pesan
Islam. Jadi, agak aneh kalau yang bersangkutan yang diminta mencabut gelar itu.
Bagaimana pula cara mencabutnya?
Kewajiban
Dakwah
Alhamdulillah, saat ini kehadiran para
ustadz/ustadzah kian marak. Muncul dari berbagai latar belakang status dan
profesi. Bahkan dari kalangan selebritas, hal yang tak pernah terbayangkan. Ada
artis yang “resmi" lahir dari jalur keartisan, kini jadi pengemban dakwah.
Maksudnya, dulu pernah main film, sinetron atau penyanyi, lalu berubah menjadi
pendakwah.
Ada yang banting stir,
berubahnya total, yakni meninggalkan dunia keartisan 100 persen. Ada yang cuma
belok dikit; masih aktif di dunia keartisan, hanya beda penampilan. Lantas
berkali-kali diundang dalam kapasitas sebagai ”ustadz/ustadzah.” Menginspirasi
dengan Islam. Terutama lika-liku hijrahnya.
Ada juga ”seleb” yang
dilahirkan dari jalur media sosial. Misalnya selebgram. Ada model yang
merangkap pengusaha hijab, tapi statusnya full
tausiyah Islami. Akhirnya laris diundang sana-sini untuk berbagi. Bicara Islam.
Salahkah?
Tentu saja tidak ada
aturan yang melarang artis, mantan artis atau selebgram bicara Islam. Karena
dakwah adalah kewajiban semua Muslim. Tak boleh dimonopoli orang-orang yang
mengaku paham Islam karena lulusan sekolah Islam. Bahkan Nabi menganjurkan,
sampaikanlah walaupun satu ayat.
Artinya, menasihati
orang dengan Islam, tak harus menunggu turunnya sertifikat resmi pemberi gelar
”ustadz/ustadzah". Lagipula, siapa yang berhak memberikannya? Dakwah,
sebagaimana kewajiban lainnya, langsung laksanakan semampunya.
Nah, dakwah tak perlu
menunggu sematan gelar, ijazah atau apalah istilahnya. Jadi, lebih elok
(mantan) artis menyerukan Islam daripada alumni pesantren atau pemilik ijazah
universitas Islam terkenal dan bergelar ”ustadz/ustadzah" atau
”cendekiawan Muslim/Muslimah"; tapi mempromosikan paham-paham bukan-Islam
semacam sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang justru menikam Islam.
Mereka inilah yang layak disebut ustadz/ustadzah abal-abal. Merekalah yang
Iayak dilengserkan dari aktivitas ”dakwahnya" dan dicabut gelarnya.
Periwayat
Kebenaran
Kehadiran para
ustadz/ustadzah dengan berbagai latar belakang status dan profesi patut
disyukuri. Termasuk tanda-tanda bangkitnya umat menuju terwujudnya peradaban
Islam. Saat setiap individu berani menyuarakan Islam. Mencintai dunia dakwah.
Memetik nikmatnya menyampaikan kebenaran.
Kita juga syukuri,
karena saat ini, setiap pesan adalah nasihat Islami. Lihat saja, chatroom di berbagai grup, wara-wiri berupa tausiyah Islami. Ada namanya,
tapi kita tidak pernah kepo, itu ustadz/ustadzah lulusan pesantren mana, sudah
mengkhatamkan kitab apa saja, bagaimana kepribadian sehari-harinya, bacaan
Al-Qur’annya, dll.
Sebagai pembaca,
pasrah menyerap ilmu dan nasihat yang disampaikan. Toh, menjadi produsen
nasihat belum mampu. Cuma jadi penikmat. Lagipula, bukankah ungkapan
mengatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan, tapi apa yang disampaikan?
Benar. Tapi, harus
dicatat, nama penyampai pesan juga salah satu indikator yang penting. Artinya,
tidak benar juga jika kita menyerap mentah-mentah konten jika belum mengetahui
dasar pembahasannya yang lengkap.
Di tengah banjirnya
informasi, hujan hoax dan badai fitnah, nama menjadi satu bentuk jaminan
kepercayaan. Bahwa informasi itu benar dan sahih, dilihat antara lain, siapa
penyampainya. Apakah orang yang kapabel atau bukan. Sebab, ilmu terbaik adalah
yang disampaikan orang yang memang ahli dalam apa yang disampaikan.
Ilmu harus disampaikan
oleh penyampai pesan yang diduga kuat mengetahui benar apa yang dia sampaikan.
Sementara, ucapan tanpa dasar ilmu atau tanpa kecocokan dengan semua dalil yang
relevan tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Lantas, kalau yang
ceramah adalah (mantan) artis, apakah menjadi diragukan kebenarannya? Kembali
kepada poin sebelumnya. Tergantung konten yang disampaikan.
Fitnah
Pembenci
Munculnya petisi
pencabutan gelar ustadzah sejatinya adalah bagian dari rongrongan terhadap para
pengemban dakwah. Melemahkan semangat para daiyah. Ini bagian dari fitnah, agar
orang baik-baik merasa tidak berhak menyampaikan kebaikan, hanya karena tidak
mengantongi ijazah pesantren atau perguruan Islam ternama. Hanya karena
memiliki latar belakang pendidikan atau profesi yang tidak ada hubungannya
dengan ilmu keIslaman.
Mahasiswa ilmu sains
kok ngisi pengajian? Guru matematika kok siaran radio keIslaman. Lulusan
Fakultas Perikanan kok ceramah di majelis taklim. Alumni sekolah umum kok nulis
buku-buku Islam. Dan seterusnya.
Itulah yang
dikehendaki para pembenci. Hendak memadamkan cahaya dakwah. Ingin membatasi
kiprah para daiyah, seolah hanya berhak dilakukan oleh mereka yang resmi
menempuh jalur pendidikan ilmu-ilmu Islam.
Memang benar, bukan
sembarang orang bisa berdakwah. Harus berilmu. Ilmu yang benar. Tidak
menyesatkan. Tapi, ilmu ini tak harus di bangku pendidikan formal. Misalnya,
bisa didapat dalam perhalaqahan. Di
sanalah terjadi penggemblengan para aktivisnya agar pantas menjadi
ustadz/ustadzah. Ustadz/ustadzah sebenarnya, bukan abal-abal.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 173, Mei 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar