Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 25 Mei 2017

Siapa Ustadz/Ustadzah Abal-Abal?


HTI untuk menuju kejayaan Islam

Jagad maya gonjang-ganjing. Oki Setiana Dewi (OSD) yang sudah terlanjur disapa ustadzah, diminta mencabut gelar tersebut oleh petisi di charge.org. OSD dituding ustadzah abal-abal. Ada delapan alasannya. Salah satunya, dianggap melakukan pembohongan publik terkait klaim bahwa ia pernah short course (kuliah) di Universitas Ummul Quro, Mekah (Jawa Pos.com, 27/4/16).

Tulisan berikut bukan untuk mengorek dan mengklarifikasi isu tersebut. Sekadar bahan kontemplasi diri. Apakah kita pengemban dakwah? Pejuang syariah dan khilafah? Apakah kita pembela Islam? Apakah semua lulusan pesantren pasti berIslam dengan lurus?

Gelar Guru

Dalam Bahasa Indonesia, kata ustadz bermakna pendidik atau guru. Lebih lanjut, kata ini merujuk kepada guru, pengajar atau orang yang dihormati dalam bidang Islam. Jadi, ustadz/ustadzah adalah orang yang mendidikkan atau menasihatkan Islam.

Gelar yang memang bukan permintaan si pelaku. Masyarakat yang menyematkan. Dikarenakan brand image dia sebagai pembawa pesan-pesan Islam. Jadi, agak aneh kalau yang bersangkutan yang diminta mencabut gelar itu. Bagaimana pula cara mencabutnya?

Kewajiban Dakwah

Alhamdulillah, saat ini kehadiran para ustadz/ustadzah kian marak. Muncul dari berbagai latar belakang status dan profesi. Bahkan dari kalangan selebritas, hal yang tak pernah terbayangkan. Ada artis yang “resmi" lahir dari jalur keartisan, kini jadi pengemban dakwah. Maksudnya, dulu pernah main film, sinetron atau penyanyi, lalu berubah menjadi pendakwah.

Ada yang banting stir, berubahnya total, yakni meninggalkan dunia keartisan 100 persen. Ada yang cuma belok dikit; masih aktif di dunia keartisan, hanya beda penampilan. Lantas berkali-kali diundang dalam kapasitas sebagai ”ustadz/ustadzah.” Menginspirasi dengan Islam. Terutama lika-liku hijrahnya.

Ada juga ”seleb” yang dilahirkan dari jalur media sosial. Misalnya selebgram. Ada model yang merangkap pengusaha hijab, tapi statusnya full tausiyah Islami. Akhirnya laris diundang sana-sini untuk berbagi. Bicara Islam. Salahkah?

Tentu saja tidak ada aturan yang melarang artis, mantan artis atau selebgram bicara Islam. Karena dakwah adalah kewajiban semua Muslim. Tak boleh dimonopoli orang-orang yang mengaku paham Islam karena lulusan sekolah Islam. Bahkan Nabi menganjurkan, sampaikanlah walaupun satu ayat.

Artinya, menasihati orang dengan Islam, tak harus menunggu turunnya sertifikat resmi pemberi gelar ”ustadz/ustadzah". Lagipula, siapa yang berhak memberikannya? Dakwah, sebagaimana kewajiban lainnya, langsung laksanakan semampunya.

Nah, dakwah tak perlu menunggu sematan gelar, ijazah atau apalah istilahnya. Jadi, lebih elok (mantan) artis menyerukan Islam daripada alumni pesantren atau pemilik ijazah universitas Islam terkenal dan bergelar ”ustadz/ustadzah" atau ”cendekiawan Muslim/Muslimah"; tapi mempromosikan paham-paham bukan-Islam semacam sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang justru menikam Islam. Mereka inilah yang layak disebut ustadz/ustadzah abal-abal. Merekalah yang Iayak dilengserkan dari aktivitas ”dakwahnya" dan dicabut gelarnya.

Periwayat Kebenaran

Kehadiran para ustadz/ustadzah dengan berbagai latar belakang status dan profesi patut disyukuri. Termasuk tanda-tanda bangkitnya umat menuju terwujudnya peradaban Islam. Saat setiap individu berani menyuarakan Islam. Mencintai dunia dakwah. Memetik nikmatnya menyampaikan kebenaran.

Kita juga syukuri, karena saat ini, setiap pesan adalah nasihat Islami. Lihat saja, chatroom di berbagai grup, wara-wiri berupa tausiyah Islami. Ada namanya, tapi kita tidak pernah kepo, itu ustadz/ustadzah lulusan pesantren mana, sudah mengkhatamkan kitab apa saja, bagaimana kepribadian sehari-harinya, bacaan Al-Qur’annya, dll.

Sebagai pembaca, pasrah menyerap ilmu dan nasihat yang disampaikan. Toh, menjadi produsen nasihat belum mampu. Cuma jadi penikmat. Lagipula, bukankah ungkapan mengatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan, tapi apa yang disampaikan?

Benar. Tapi, harus dicatat, nama penyampai pesan juga salah satu indikator yang penting. Artinya, tidak benar juga jika kita menyerap mentah-mentah konten jika belum mengetahui dasar pembahasannya yang lengkap.

Di tengah banjirnya informasi, hujan hoax dan badai fitnah, nama menjadi satu bentuk jaminan kepercayaan. Bahwa informasi itu benar dan sahih, dilihat antara lain, siapa penyampainya. Apakah orang yang kapabel atau bukan. Sebab, ilmu terbaik adalah yang disampaikan orang yang memang ahli dalam apa yang disampaikan.

Ilmu harus disampaikan oleh penyampai pesan yang diduga kuat mengetahui benar apa yang dia sampaikan. Sementara, ucapan tanpa dasar ilmu atau tanpa kecocokan dengan semua dalil yang relevan tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Lantas, kalau yang ceramah adalah (mantan) artis, apakah menjadi diragukan kebenarannya? Kembali kepada poin sebelumnya. Tergantung konten yang disampaikan.

Fitnah Pembenci

Munculnya petisi pencabutan gelar ustadzah sejatinya adalah bagian dari rongrongan terhadap para pengemban dakwah. Melemahkan semangat para daiyah. Ini bagian dari fitnah, agar orang baik-baik merasa tidak berhak menyampaikan kebaikan, hanya karena tidak mengantongi ijazah pesantren atau perguruan Islam ternama. Hanya karena memiliki latar belakang pendidikan atau profesi yang tidak ada hubungannya dengan ilmu keIslaman.

Mahasiswa ilmu sains kok ngisi pengajian? Guru matematika kok siaran radio keIslaman. Lulusan Fakultas Perikanan kok ceramah di majelis taklim. Alumni sekolah umum kok nulis buku-buku Islam. Dan seterusnya.

Itulah yang dikehendaki para pembenci. Hendak memadamkan cahaya dakwah. Ingin membatasi kiprah para daiyah, seolah hanya berhak dilakukan oleh mereka yang resmi menempuh jalur pendidikan ilmu-ilmu Islam.

Memang benar, bukan sembarang orang bisa berdakwah. Harus berilmu. Ilmu yang benar. Tidak menyesatkan. Tapi, ilmu ini tak harus di bangku pendidikan formal. Misalnya, bisa didapat dalam perhalaqahan. Di sanalah terjadi penggemblengan para aktivisnya agar pantas menjadi ustadz/ustadzah. Ustadz/ustadzah sebenarnya, bukan abal-abal.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 173, Mei 2016
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam