Rezim
Islamophobia?
Terhitung sejak Ahad
(29/3/2015) sebanyak 22 situs berita Islam diblokir oleh rezim Joko
Widodo-Jusuf Kalla. Pemblokiran itu dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi
dan Informasi atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pemblokiran itu tanpa
ba- bi-bu terlebih dahulu. Artinya tanpa pemberitahuan, klarifikasi,
peringatan, dan proses lainnya. Tiba-tiba saja langsung ditutup.
Sontak tindakan
pemerintah mengundang reaksi. Tidak hanya bagi para pengelola situs dan
pembacanya, tapi juga masyarakat pada umumnya. Tokoh-tokoh politik bahkan
bersuara keras menentang tindakan sewenang-wenang itu.
”Pemblokiran sepihak
itu bisa saya sebut sebagai langkah paling bodoh yang diambil pemerintah
terhadap situs Islam sejak reformasi dijadikan semboyan pemerintahan usai
Soeharto jatuh,” kata Mustofa Nahrawardaya, Koordinator Indonesian Crime
Analyst Forum (ICAF).
Dengan berbagai jurus,
pemerintah mencoba membenarkan tindakannya. Tapi opini masyarakat berpihak
kepada situs media Islam. Ujung-ujungnya, ketika jurus tangkisan sudah habis,
instansi pemerintah saling lempar tanggung jawab. Kementerian Komunikasi dan Informasi
berdalih mereka hanya memenuhi permintaan BNPT. Sebaliknya, BNPT berdalih
mereka hanya menyodorkan rekomendasi kepada Kementerian Kominfo dan tindak
lanjut diserahkan kepada Kementerian Kominfo.
'Test the water' pemerintah itu berakhir
dengan dibukanya kembali 12 situs media Islam, 1O hari setelah diblokir. Itupun
pemerintah tak memberi pengumuman resmi. Sementara 10 situs Iainnya masih
diblokir dengan alasan, pengelolanya belum mengirimkan surat permintaan agar
blokirnya dicabut.
Usut punya usut,
ternyata pemerintah tidak hanya mengincar 22 situs itu saja. Ada 198 situs yang
dibidik oleh pemerintah. Dan ternyata, semuanya adalah situs-situs Muslim,
termasuk situs www.hizbut-tahrir.or.id
Anggota Komisi
Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat Fahmi Salim Zubair menilai, rezim Jokowi-JK
dan orang-orang di sekitarnya terindikasi kuat mengalami islamophobia.
”Pemblokiran ini merupakan indikasi yang sangat vulgar,” tandasnya kepada
MediaUmat.
Menurutnya,
pemblokiran ini hanyalah salah satu indikasi islamophobia di tubuh rezim
Jokowi-JK. Banyak indikasi lainnya. Hal senada disampaikan Ketua DPP HTI
Rokhmat S Labib. "Bukan sekali ini saja rezim Jokowi menunjukkan sikap
islamophobia," tandasnya.
Mulai
dari Terorisme
Sudah menjadi rahasia
umum, betapa mudahnya Densus 88 mencabut nyawa orang di luar pengadilan.
Ratusan orang, semuanya Muslim, tewas di bawah moncong senjata Densus 88 tanpa
harus bisa membela diri. Kepada para korban ini, Densus menyematkan julukan
teroris.
Tidak berhenti di
situ, saking sikapnya yang anti lslam, sampai-sampai Al-Qur'an -kitab suci umat
Islam- dijadikan sebagai barang bukti tindak terorisme. Sebelumnya, orang-orang
berjenggot dan mengenakan celana ngatung dicurigai sebagai teroris. Bahkan perampok
bank pun dituduh sebagai kelompok teroris.
Belakangan, isu ISIS
dikembangkan sedemikian rupa di tengah masyarakat sehingga orang-orang yang
mengaji atau memperdalam Islam pun menjadi takut, karena aparat keamanan ada
yang mengidentikkan dengan ISIS.
Di awal masa
pemerintahannya, rezim Jokowi pun menggulirkan rencana menghapus kolom agama di
kartu tanda penduduk. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo beralasan, jangan
sampai masyarakat di luar enam agama yang diakui negara tidak mendapatkan
e-KTP.
Di akhir tahun lalu,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan kementeriannya
sedang mengevaluasi proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah-sekolah
negeri. Salah satu yang sedang dievaluasi terkait dengan tata cara membuka dan
menutup proses belajar, dalam hal ini soal doa. Menurutnya, sekolah negeri
bukanlah tempat untuk nempromosikan keyakinan agama tertentu.
Tak berselang lama,
Ketua Persatuan Guru Seluruh lndonesia (PGRI) Sulistyo meminta sekolah
mewaspadai masuknya paham radikalisme melalui kegiatan ekstrakurikuler di
sekolah. Menurutnya, kegiatan ekstrakurikuler rawan disusupi ideologi maupun
aliran yang melenceng. Sayangnya, ia tidak menjelaskan yang dimaksudnya kecuali
bahwa saat itu sedang ramai isu ISIS.
Entah inisiatif
sendiri atau diperintahkan bosnya, Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif
Dhakiri membuat kebijakan untuk melarang tenaga kerja asing yang berprofesi
sebagai guru agama dan teologia bekerja di Indonesia. ia berdalih, tidak ingin
lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia menjadi tempat munculnya benih-benih
radikalisme berlatar belakang agama yang diduga berasal dari luar negeri.
Tidak itu saja, di
Bandara Soekarno-Hatta, sebuah peralatan canggih autogate imigrasi. Anehnya,
alat itu distel sedemikian rupa agar mereka yang namanya 'Muhammad', 'Muhamad',
atau 'Ali' tak bisa melewatinya. Seperti diberitakan detikcom, seorang bernama
Muhammad Edo pun tak bisa lewat autogate. Petugas imigrasi yang bertugas
mengatakan memang nama itu tidak bisa. Humas Kementerian Hukum dan HAM
buru-buru mengklarifikasinya. []
Situs
Dakwah Dihantam, Situs Lain Dibiarkan!
Situs-situs Organisasi
Papua Merdeka (OPM), juga Republik Maluku Selatan (RMS) bertebaran. Juga ada
situs komunis di sana. Lebih banyak lagi situs-situs porno. Tapi anehnya,
pemerintah membiarkan saja.
Selain itu, banyak
pula situs yang menyerang Islam, bahkan dengan bahasa yang tak layak.
Pemerintah seperti menutup mata terhadap situs tersebut. Ada apa ini? []
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 149, April 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar