Wartawan Media Umat
Joko Prasetyo Mewawancarai Sekjen Laskar Anti Korupsi (LAKI) Pejuang 45 HM Hasbi
Ibrohim. Berikut petikannya.
KPK
baru akankah jadi pemberantas atau penyelamat koruptor?
Dari aspek uji
kelayakan dan kepatutan (fit and proper test)
di Komisi III DPR sebenarnya ada tiga calon komisioner KPK yang pernyataannya
sangat disesalkan, yang akhirnya dipilih dan dilantik oleh Presiden Jokowi itu.
Terlihat bahwa pertama, mereka tidak ingin mengusut skandal
BLBI dan Century. Kedua, mereka
seolah-olah ingin mengampuni para obligor kelas kakap. Ketiga, memberikan indikasi setuju untuk merevisi UU KPK.
Namun, kami sebagai
aktivis anti korupsi masih tetap berharap kepada mereka untuk benar-benar
memberantas korupsi. Siapa tahu, pernyataan mereka di depan Komisi III DPR
hanyalah strategi agar mereka dipilih oleh anggota DPR. Karena mereka tahu
kalau mereka melawan arus DPR, maka tidak akan terpilih seperti Pak Johan Budi
dan Pak Busyro Muqoddas. Makanya, kami akan mengawal dengan tegas KPK.
Apakah
Anda tidak melihat KPK baru ini terpilih untuk mengamankan kasus yang diduga
melibatkan Megawati, SBY dan para petinggi lainnya?
Sebenarnya semakin
kental kita melihat. Makanya, kita akan semakin mendorong, akan melakukan aksi
damai agar KPK mengusut BLBI dan Century. Tetapi kalau memang ternyata mereka
tidak melakukan apa-apa, berarti memang benar mereka dipasang untuk mengamankan
siapapun mantan pejabat tinggi negeri ini.
Kita tidak mungkin
membiarkan itu. Yang jelas, kita harus mengawal karena sudah terpilih. Kita
harus memberikan masukan-masukan kepada mereka dan harus selalu mengingatkan
kepada mereka bahwa mereka bekerja untuk negeri ini bukan bekerja untuk partai
politik, bukan bekerja untuk pesanan. Walaupun sebenarnya mereka terpilih itu
karena pesanan.
Saya tahu betul,
sebenarnya ketika Panitia Seleksi (Pansel) KPK memproses yang delapan calon
komisioner itu saya yakin semua sudah dikavling-kavling.
Kavling
siapa saja?
Ada kavlingnya Pak
Luhut, ada kavlingnya Pak Jokowi, ada kavlingnya lbu Megawati, bahkan ada
kavlingnya DPR sendiri. Itu semua terjadi karena memang ada politisasi ketika
pemilihan mulai dari Pansel Srikandi (perempuan semua, red.) sembilan, putusan
Pansel, kemudian uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR. Kita melihat
ada desain besari (grand design) untuk
mengamankan seseorang atau bahkan untuk mengamankan kebijakannya ke depan.
Tapi kita jangan
pesimis, apapun suara publik itu bisa melawan keinginan, hasrat, animo dari
politisi yang ada di Senayan dan istana. Suara publik ini tidak akan terbendung
bila penyiar radio, sosial media, semua televisi juga menyiarkan suara publik
maka para politisi Senayan dan istana tidak akan sanggup untuk menghadapi
derasnya harapan dan perlawanan rakyat. Sekaliber Jokowi pun tidak akan
sanggup.
Mengapa
ada pihak-pihak yang ingin memperlemah KPK?
Para mafia, para
bandar, para koruptor mana sih yang
ingin tertangkap KPK? Jaringannya saja tertangkap, mereka itu tidak akan bisa
tidur siang dan malam. Jadi, mereka itu berupaya dengan segala kegiatan; para
mafia, para koruptor dengan segala antek aseng dan asing itu tidak akan bisa
tidur, mereka mempunyai infrastruktur yang kuat, mereka punya sumber daya
manusia yang solid, mereka punya uang yang begitu melimpah di negeri ini.
Bahkan republik ini bisa dia rontokkan.
Maka mereka bisa
berbuat apa saja. Sekaliber presiden pun yang tadinya A bisa menjadi B, bisa
menjadi Z. Bisa saja mereka mengubah seperti itu. Mereka tidak ingin dipenjara
seharipun, apalagi sampai dihukum mati. Mereka tidak ingin berbaju oranye KPK.
Makanya, mereka membuat revisi UU KPK yang membolehkan ada Surat Perintah
Penghentian Perkara (SP3) dan melarang penyadapan.
Coba bayangkan, bila
pejabat dan anggota Dewan disadap semua dan penyidik KPK ada lima ribu orang,
mungkin setiap hari KPK bisa menangkap sepuluh orang.
Coba lihat seluruh
peristiwa budgeting di DPRD kabupaten,
kota dan provinsi itu terendus semua, "kalau ingin memenangkan proyek,
harus bayar 20 persen, kalau tidak ada 20 persen tidak akan menang proyek.”
Tetapi kalau ditanya, benar ngomong begitu, mereka tidak akan mengaku. Tetapi
kalau mereka sakit hati karena kalah, pasti akan buka-bukaan. Ini kan tidak bisa membuktikan apa-apa, seperti
buang angin, wujudnya tidak terlihat tetapi kita mencium bau yang menyengat,
tetapi tidak bisa disentuh, tidak bisa diraba karena begitu cantik mereka
melakukan permainan. Walaupun sudah diatur sedemikian rupa prosedurnya,
administrasinya. Tapi itu semua hanyalah kamuflase.
Mereka bisa bermain,
karena mereka bermain dengan operatornya. Karena sistem komputernya juga
sekarang pakai sistem mafia. Itu yang tidak banyak dipikirkan rakyat pada
umumnya saat ini.
Apa
yang membuat para koruptor dan jaringan mafianya semakin kuat?
Karena mereka sudah
mengeluarkan triliyunan rupiah untuk biaya politik. Baik ketika pemilihan
presiden, ketika pemilihan anggota legislatif. Otomatis mereka punya harapan
uangnya kembali.
Misalnya, Anda sendiri
berani mengeluarkan 100 milyar untuk kampanye seorang calon bupati. Bila dia
sudah terpilih, saya yakin Anda akan memenangi proyek infrastruktur di
kabupaten tersebut. Jadi, biaya politik yang begitu besar, akan menyandera.
Bahkan leher dan kakinya itu sudah dicekik. Kalau ada bupati atau gubernur
terpilih dalam pilkada, saya yakin mereka hanyalah nama. Yang mengendalikan
mereka itu ya para mafia. Karena mereka dibiayai. Siapa sih di republik ini tidak menggunakan biaya dari mafia orang
asing dan atau aseng? Siapa? Saya bertanya.
Siapa sekarang ini
yang benar-benar terpilih tanpa uang dari mafia? Karena sekarang sistem partai
politiknya korup, jadi tidak bisa.
Sistem kita sudah
hancur, hukum sudah berpihak pada pemodal, pemilik korporasi, pemilik senjata,
bahkan hukum sekarang berpihak kepada premanisme dan people power, bukan berpihak kepada kebenaran dan keadilan.
Dengan
kata lain, sistem yang berlaku sekarang mendorong orang untuk korup?
Saya berani bilang,
bukan mendahului Yang Mahakuasa. Sekalipun (manusia berhati seperti) malaikat
sekarang diturunkan jadi gubernur, jadi bupati, jadi presiden, kalau sistem
partai politiknya, sistem hukumnya, sistem ekonomi dan budayanya, sistem
pengelolaan sumber daya alamnya itu tidak diluruskan, maka siapapun akan
menjadi korup.
Sekarang, marilah
seluruh media, penyiar, media cetak, elektronik, sosial media mari kita
bersatu. Kita semua suarakan kebenaran. Jangan terpengaruh dengan pimpinan
redaksi. Karena, mohon maaf, wartawan di lapangan meliput perkara, begitu mau
dipublikasikan tiba-tiba diedit pimpinan redaksi karena kepentingan. Coba
berani tidak media-media di bawah pimpinan Surya Paloh memberitakan bahwa
Megawati melakukan pelanggaran serius karena telah melakukan pemutihan,
melindungi dan memberi jaminan hukum untuk membebaskan sejumlah pencuri dana
BLBI? []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 165, Januari 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar