Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 31 Mei 2017

Aceh, Seuramoe Mekkah yang Terjajah



Oleh: Moni Mutia Liza, Mahasiswi FKIP Fisika Unsyiah

Sudah 70 tahun Aceh merdeka, jauh dari konflik dan pembangunan mulai dibenahi serta bertaburnya investor asing di provinsi yang kaya sumber daya alam ini, namun tak membuat masyarakat Aceh sejahtera. Melimpahnya SDA seperti pertambangan emas di provinsi ini antara lain Woyla, Seunagan, Aceh Barat, Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah, batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat, batugamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar, di Tapaktuan. Bahkan saat ini para peneliti sedang meneliti kandungan emas di Kecamatan Ketol. Penelitian itu dilakukan oleh perusahaan tambang nasional dan asing. Selain Ketol, kandungan emas itu diperkirakan juga terdapat di Kecamatan Linge.

Selain itu, Aceh juga memiliki potensi minyak hidrokarbon di timur laut Simeulue, diperkirakan mencapai 320 miliar barrel, jauh di atas cadangan minyak Arab Saudi yang hanya memiliki volume 264 miliar barrel. Terdapat pula potensi tenaga panas bumi di Jaboi, Sabang, serta emas, tembaga, timah, kromium dan marmer di Pidie. Perut bumi Aceh juga menyimpan tembaga alam seperti Native Cupper, Cu, Chalcopirit, Bornit, Chalcosit, Covellit dan biji tembaga berkadar tinggi lainnya, (The Aceh Traffic portal). Sumber Kekayaan hutan, laut, perternakan, pertanian di Aceh juga mengalahkan sumber daya alam yang melimpah di Kalimantan dan Papua.

Namun kekayaan yang melimpah ini dijarah oleh investor asing atas nama UU liberalisasi migas dan UU kepemilikan individu. Bukankah ini bentuk penjajahan?

Aceh pasca tsunami ibarat gadis cantik yang masih perawan. Pesonanya menarik perhatian perusahaan lokal dan dunia untuk segera melamar dan meminangnya.

Tsunami membuka jalan kepada investor Asia dan internasional untuk mengeruk SDA di Aceh. Bantuan dari berbagai perusahaan dunia membuat luluh hati masyarakat Aceh yang sangat kental dengan pandangan bahwa para bule adalah musuh masyarakat Aceh. Setelah kucuran dana mengalir dari kantong perusahaan asing dan janji-janji manis melalui bantuan rumah, bangunan sekolah, rumah sakit dan bantuan berupa uang pasca tsunami ternyata berlanjut pada pembangunan perusahaan asing di provinsi Aceh bahkan memperpanjang kontrak kerja mereka untuk mengeruk SDA di Aceh. Masyarakat Aceh sendiri sudah menganggap bahwa perusahaan asing tersebut tamu mulia, sehingga bagi masyarakat Aceh tak masalah bila perusahaan asing tersebut berlama-lama di Aceh menggotong kekayaan alam di bumi para ulama tersebut.

Pemerintah Indonesia dan Acehpun tak bisa berbuat banyak saat perusahaan asing mendesak agar SDA dapat dikelola oleh perusahaan swasta, bukan negara. Semua ini disebabkan diterapkannya sistem perekonomian kapitalisme di Indonesia yang mengharuskan prinsip take and give alias tidak ada makan gratis. Solidaritas atas nama kemanusiaan dijadikan modal untuk menjajah negeri yang kaya sumber daya alam. Pada akhirnya keuntungan besar berpihak pada kaum perusahaan Asia dan dunia, sedangkan masyarakat dan lingkungan semakin rusak. Hal ini dapat dibuktikan bahwa kabar gembira akan berkurangnya tingkat pengangguran di wilayah yang terdapat perusahaan swasta adalah kebohongan yang menyakitkan. Terbukti adanya perusahaan swasta misalnya PT. Arun, PT. PIM, PT. AAF, Lafarge Semen Andalas, Exxon Mobil, CALTEX tidak mampu mengurangi tingkat penggangguran di Aceh yang kian membludak. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Rabu kemarin (6/5/2015) di Banda Aceh, tercatat meningkat pada 2015 yaitu sebesar 28 ribu orang. Selain itu, tingkat buta huruf juga menanjak. Misalnya di Nagan Raya yang terdapat perusahaan listrik tenaga UAP ternyata masyarakat di Nagan Raya jauh dari pendidikan. Berdasarkan data yang dirilis BPS Nagan Raya tahun 2013, menyatakan bahwa masyarakat buta huruf di kabupaten Setempat mencapai tiga ribu lebih.

Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa perusahaan tersebut juga melakukan pembangunan, baik berupa jalan dan fasilitas lainnya dengan tujuan untuk memuluskan kepentingan mereka dalam mengekspor kekayaan alam ke negaranya dan melunakkan hati masyarakat agar mau menerima kehadiran mereka dan membentuk pemahaman masyarakat bahwa kehadiran perusahaan swasta tersebut akan membuat masyarakat hidup sejahtera. Padahal, hakikatnya pengeluaran dana ketika pembangunan fasilitas kepada masyarakat tidaklah sebanding dengan kekayaan yang mereka raih dari hasil SDA yang mereka keruk.

Hadirnya investor asing tersebut tidak lain menjajah perekonomian masyarakat Aceh atau dapat disebut penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Menghancurkan tatanan sosial dan budaya masyarakat Aceh yang kental dengan nuansa Islam. Pergaulan seks bebaspun bertambah seiring bertambahnya investor asing di tanah Aceh. Ditambah dengan sistem pemerintahan demokrasi yang diterapkan di Aceh membuat seks bebas menjadi legal atas nama HAM.

Ketidakmandirian pemerintah Indonesia termasuk Aceh dalam mengelola SDA dan distribusi kekayaan yang tidak merata menandakan Indonesia dan Aceh tidak merdeka. Pasalnya banyak kebijakan pemerintah ditalarbelakangi oleh pesanan kaum kapitalis.

Ironis, Indonesia dan Aceh yang kaya SDA namun terus dalam kategori negara berkembang. Beginilah gambaran negara yang tidak merdeka. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam