Mengeraskan
Suara (Jahr) Dalam Shalat al-Jahriyah
Mengeraskan suara (jahr) dalam shalat dilakukan dalam shalat
Maghrib, shalat Isya dan shalat Shubuh. Dan bisa juga dilakukan dalam shalat tathawwu’ di malam hari. Jahr juga dilakukan dalam shalat Jum’at,
shalat dua hari raya (al-'idain), shalat
istisqa, dan shalat kusuf. Adapun selain shalat-shalat di atas,
maka disyariatkan untuk mensirrkannya
(membaca dengan suara yang pelan).
Jahr itu dilakukan ketika membaca al-fatihah
dan ayat/surat al-Qur’an setelahnya dalam dua rakaat pertama saja, dilakukan
juga ketika bertakbiratul ihram dan
takbir-takbir yang lain. Juga dilakukan ketika mengucapkan sami'allahu liman hamidah ketika bangkit dari
ruku’, dan ketika mengucap salam ke kanan dan ke kiri. Semua itu telah
diketahui dan dimaklumi.
Ukuran jahr dalam shalat jahriyah itu disebutkan dalam dua hadits berikut:
a. Dari Abdullah bin
Abbas ra., ia berkata:
“Adalah bacaan
Rasulullah Saw. kira-kira bisa didengar oleh orang yang berada di al-hujrah, dan Beliau Saw. berada di al-bait.” (HR. Abu Dawud)
Al-Bait di sini artinya tempat tidur atau
ruang tidur, sedangkan al-hujrah di sini
adalah ruang tengah atau halaman rumah.
b. Dari Abu Qatadah:
“Bahwasanya Nabi Saw.
keluar di suatu malam, kemudian Beliau Saw. melewati Abu Bakar yang sedang
shalat dengan merendahkan suaranya. Dia berkata: Beliau melewati Umar bin
Khaththab yang sedang shalat dengan mengeraskan suaranya. Dia berkata: Ketika
keduanya berkumpul di sisi Nabi Saw., Beliau Saw. berkata: “Wahai Abu Bakar,
aku lewat di sampingmu dan engkau sedang shalat dengan merendahkan suaramu.”
Dia berkata: ‘Sungguh aku telah memperdengarkan pihak yang menjadi tempatku
bermunajat (Allah-pen), wahai Rasulullah.’ Dia berkata: Dan Beliau berkata
kepada Umar: “Aku lewat di sampingmu dan engkau sedang shalat dengan
mengeraskan suaramu.” Dia berkata: Umar berkata: 'Wahai Rasulullah, aku
membangunkan orang yang mengantuk dan mengusir setan.’ Al-Hasan menambahkan
dalam haditsnya: Maka Nabi Saw. berkata: “Wahai Abu Bakar, keraskan suaramu
sedikit.” Dan Beliau berkata kepada Umar: “Rendahkan suaramu sedikit.” (HR. Abu
Dawud, Tirmidzi, al-Hakim dan dia menshahihkannya)
Dua hadits ini
menerangkan bahwa jahr yang disyariatkan
itu adalah pertengahan antara sangat keras dan pelan dalam bersuara, sehingga jahr tidak sama dengan dikeraskan dan tidak
juga dipelankan atau dibisikkan. Kalimat dalam hadits ini: “dengan merendahkan
suaranya”, dan “dengan mengeraskan suaranya”, kemudian memberi jalan keluar
dari dua keadaan tersebut dengan ucapannya: “keraskan suaramu sedikit” dan
dengan ucapannya: “rendahkan suaramu sedikit”, menjadi dilalah yang jelas disyariatkannya pertengahan, dan ditolaknya
suara sangat keras dan suara sangat rendah. Hadits yang pertama menetapkan
ukuran jahr dalam bentuk yang sangat
lembut, yakni suara yang jika keluar dari dalam kamar tidur bisa didengar oleh
orang yang berada di ruang tengah. Inilah jahr
yang disyariatkan dalam shalat.
Adapun hadits yang
diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Hurairah ia berkata:
“Adalah bacaan Nabi
Saw. di waktu malam: Beliau Saw. mengeraskan sekali-kali dan kadang merendahkan
sekali-kali.”
Hadits yang
diriwayatkan Ahmad dari Yahma bin Yaimur dari Aisyah ra. ia berkata:
“Aku bertanya: Apakah
Rasulullah mengeraskan suaranya ketika membaca? Aisyah berkata: “Kadangkala
Beliau Saw. mengeraskan, dan kadangkala merendahkan,”
adalah salah jika
kedua hadits ini digunakan sebagai dalil ukuran jahr
dalam shalat. Alasannya karena kedua hadits ini membahas masalah bolehnya jahr dalam shalat, dan tidak membahas kadar jahr tersebut. Maka kalimat dalam hadits
pertama: “Beliau Saw. mengeraskan sekali-kali, dan merendahkan sekali-kali”,
dan kalimat dalam hadits kedua: “kadangkala Beliau Saw. mengeraskan dan
kadangkala merendahkan”, keduanya datang untuk menjelaskan hukum jahr dalam shalat, yakni boleh dilakukan,
dengan dilalah perbuatan Rasulullah Saw.
dalam shalat, di mana Beliau Saw. sekali-kali menjahrkan
dan sekali-kali mensirrkan. Seandainya jahr itu diwajibkan, tentu Rasulullah Saw.
tidak akan meninggalkannya sekali-kali dalam shalat jahriyah-nya. Pembahasan hukum jahr
dalam shalat adalah berbeda dengan pembahasan ukuran jahr dalam shalat.
Yang menguatkan
pemahaman ini adalah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abi Qais, ia
berkata:
”Aku bertanya kepada
Aisyah… bagaimanakah bacaan Rasululah Saw. di waktu malam, apakah beliau menjahrkan ataukah mensirrkan?’ Dia berkata: “Beliau Saw. kadangkala melakukan setiap
dari keduanya itu, kadangkala Beliau menjahrkan,
dan kadang pula mensirrkan.” (HR. Ahmad,
an-Nasai, Tirmidzi dan dia menshahihkannya)
Ucapan Aisyah:
“kadangkala beliau menjahrkan, dan
kadang pula mensirrkan”, ini menjadi dilalah yang jelas atas pernyataan kami ini.
Ditemukan pula dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, dari Ghudhaif bin
al-Harits ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah… apakah engkau pernah melihat Rasulullah Saw. menjahrkan bacaan al-Qur'an ataukah membisikkannya?’ Dia berkata:
“Kadangkala Beliau menjahrkannya dan
kadangkala membisikkannya… Maka Aisyah menjawab: “Kadangkala Beliau menjahrkannya dan kadangkala merendahkannya”
Menjadi dilalah yang jelas atas pernyataan kami.
Aisyah ra. telah membedakan bisikan dari jahr
dan memasukkannya dalam kategori sirr.
Dengan demikian, maka kalimat dalam dua hadits sebelumnya “merendahkan
sekali-kali” dan “kadangkala merendahkan” berarti meninggalkan jahr dan membacanya dengan sirr. Dan sungguh ini merupakan penjelasan
hukum jahr, bukan penjelasan tentang
ukuran atau kadar jahr.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar