Memandang
Dalam Shalat
Disyariatkan bagi mushalli untuk memandang ketika dia berdiri
pada tempat sujudnya, dan memandang ketika dia duduk pada dua lututnya dan
sesuatu di antara keduanya. Jika dia memusatkan pandangan pada ibu jarinya yang
ada di atas lututnya yang sebelah kanan maka itu lebih baik lagi. Inilah cara
ideal melemparkan pandangan dalam shalat. Dari Anas ra. ia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda: “Wahai Anas lemparkan pandanganmu ke arah engkau bersujud.” (HR.
Baihaqi). Dari Abdullah bin Zubair ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika duduk dalam tasyahud, Beliau Saw. meletakkan tangannya yang sebelah
kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, dan tangannya yang sebelah kiri di
atas pahanya yang sebelah kiri. Dan Beliau memberi isyarat dengan jari
telunjuknya, dan pandangannya tidak melampaui isyaratnya itu.” (HR. Ahmad,
Muslim, an-Nasai dan al-Baihaqi)
Akan halnya
memalingkan muka dalam shalat, maka beberapa nash telah melarang perbuatan
seperti itu. Dari Aisyah ra. ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Rasulullah Saw. tentang memalingkan muka dalam shalat, maka Beliau Saw.
berkata: “Ini adalah sambaran (renggutan) sangat cepat yang dilakukan oleh
syetan dari shalat seorang hamba.” (HR. Bukhari)
Terdapat pula
nash-nash yang meringankan larangan dari memalingkan wajah ini dalam shalat tathawwu, walaupun larangan ini tetap keras
dalam shalat fardhu. Dari Abu Darda ra. dan bersifat marfu’:
“Wahai manusia,
hati-hatilah kalian dari berpaling, karena sesungguhnya tidak ada shalat bagi
orang yang berpaling. Jika kalian dikalahkan dalam tathawwu, maka jangan sampai kalian dikalahkan dalam shalat
fardhu.” (HR. Ahmad)
Berpaling yang
dilarang itu adalah si mushalli memutar
dan membengkokkan lehernya ke kiri dan ke kanan, sehingga pandangannya
menghadap ke arah selain kiblat; seperti melihat ke arah Barat atau ke arah
Timur. Inilah tindakan berpaling yang dicakup oleh larangan keras tersebut.
Dari Abu Dzar ra., ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Allah senantiasa
menghadap ke arah hamba selama dia tidak berpaling. Jika dia memalingkan
wajahnya maka Allah pergi darinya.” (HR. al-Hakim)
Ahmad meriwayatkan
dengan lafadz:
“Allah azza wa jalla terus-menerus menghadap ke arah
hamba-Nya dalam shalatnya selama dia tidak berpaling. Jika dia memalingkan
wajahnya maka Allah pergi darinya.”
Berpaling yang
mengeluarkannya dari menghadapkan wajah ke arah Ka’bah, inilah yang sangat
dilarang, dan tidak ragu lagi bahwa perbuatan semacam ini diharamkan. Memandang
dengan dua mata saja ke kiri dan kanan, dengan tetapnya posisi leher adalah
tidak menjadi masalah.
Meski demikian, ada
juga berpaling jenis lain yang dilakukan dengan cara menggerakkan wajah atau
dengan melirikkan dua mata saja, tetapi keduanya ini tetap diharamkan, yakni
mengangkat pandangan ke arah langit dalam shalat. Mengangkat pandangan seperti
ini sangat dilarang. Sebab, si mushalli
harus menundukkan kepala dan pandangannya, dan lebih bagus lagi dengan
meluruskan pandangannya ke arah tempat sujudnya ketika dia berdiri, seraya
melihat jari telunjuknya atau dua lututnya dan antara kedua lututnya itu ketika
dia duduk. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw.:
"(Apabila) Beliau
shalat, maka Beliau mengangkat pandangannya ke langit. Lalu turunlah ayat:
“(Yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” (TQS. al-Mu'minun:2).
Kemudian Beliau Saw. menundukkan kepalanya.” (HR. al-Hakim)
Dari Jabir bin
Samurrah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Hendaknya orang-orang
itu menghentikan tindakan mengangkat pandangan mereka ketika berdoa dalam
shalatnya ke arah langit, atau pandangan mata itu tidak akan kembali pada
mereka.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah ra.
bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
"Hendaknya
orang-orang itu berhenti dari mengangkat pandangan mereka ketika berdoa dalam
shalat ke arah langit, atau pandangan mata mereka niscaya akan dirampas.” (HR.
Muslim)
Dari Anas bin Malik ia
berkata: Rasulullah Saw. bertanya:
“Apakah orang-orang
itu terus saja mengangkat pandangan mereka ke langit dalam shalat mereka?”
Ucapan beliau semakin keras ketika itu hingga beliau berkata: “Sungguh mereka
sangat dilarang dari tindakan itu, atau pandangan mereka niscaya akan
dirampas.” (HR. Bukhari, Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Hibban)
Larangan ini
disebutkan dalam bentuk yang keras, maka kalimat Beliau: “sungguh sangat
dilarang” dengan menggunakan lam dan nun taukid (lam
dan nun yang berfaidah menegaskan), dan ucapan “atau tidak kembali pada
mereka”, dan ucapan “atau pandangan mereka niscaya akan dirampas”, semuanya
merupakan indikasi (qarinah) yang
menjadikan larangan ini sebagai satu pengharaman (at-tahrim)
atau larangan yang bersifat pasti (an-nahyu
al-jazim).
Jadi, barangsiapa yang
berpaling ke arah selain arah kiblat, baik ke kiri atau ke kanan, atau
berpaling dengan mengarahkan pandangan naik ke langit, maka dengan hal itu
telah meninggalkan kewajiban menghadap kiblat. Dia telah jatuh dalam dosa.
Walaupun begitu dia tidak wajib mengulang shalatnya. Shalatnya tetap diterima,
dan tentu saja dalam kondisi yang kurang, dengan melihat dilalah ucapan Beliau Saw.: “sambaran atau
renggutan cepat yang dilakukan oleh setan dari shalat seorang hamba”, yang
disebutkan sebelumnya dalam hadits di atas.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar