Mengapa
Mereka Tega
Sebelum melakukan
perbuatan bejatnya membunuh dan memperkosa Yyn (14). 14 pemuda pelaku
pemerkosaan itu mabuk tuak. “Mereka membeli tuak setelah mengumpulkan uang Rp40
ribu dan membeli tuak di Belumai II." kata Kapolres Rejang Lebong, AKBP
Dirmanto.
Kawasan itu memang
menjadi salah satu penghasil tuak. Bahkan, minuman ini konon sudah menjadi
minuman sehari-hari di sana. Produksinya dijual ke kota dalam wadah jerigen dan
diangkut motor.
Selain mabuk tuak,
ternyata para pelaku ini sudah terbiasa menonton film porno. Mereka menonton
tontonan itu di telepon genggam.
“Saya tidak sedang
berteori, mereka (pemerkosa gadis 14 tahun) menonton video porno, minum arak
atau tuak. Kemudian melakukan tindakan ruda paksa dengan ajakan orang
dewasa," ujar Menteri Sosial Khofifah Indarparawansa saat berkunjung ke
makam Yyn beberapa waktu lalu.
Latar belakang pelaku
pemerkosaan di Surabaya pun ternyata hampir sama. Berdasarkan pengakuan mereka
di hadapan polisi, di antara tersangka mengaku sering menggunakan obat double L
atau yang sering dikenal dengan sebutan pil koplo. Bahkan, saat melakukan
pemerkosaan pada korban, tersangka menggunakan pil koplo.
“Korban berulangkali
diberi pil koplo. Setelah itu baru diperkosa berulang-kali oleh tersangka,”
jelas Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya AKP Ruth
Yeni, Kamis (12/5/2016).
Sebelum menjalankan
aksinya, tersangka AS selalu mengajak makan dan minum korban.
“Tapi, minumannya itu
diberi pil koplo tidak sedikit. Agar tidak diketahui korban, kalau ada pil
koplo. Tersangka AS ini melakukan pemerkosaan tidak terhitung,” jelas Yeni.
Mereka juga sudah
biasa menonton film porno. Tersangka paling kecil mengaku menonton film porno
ini di warung internet (warnet). “Warnetnya dekat rumah di Jalan Kali Bokor,”
ujar MI.
Buah
Sistem Liberal
Praktisi hukum
Mahendradatta menilai, kekerasan seksual ini adalah cerminan dari masyarakat
liberal yang semakin permisif. Dalam masyarakat liberal, urusan pornografi atau
masalah yang berkaitan dengan seksualitas selalu dibilang itu urusan
masing-masing, atau urusan pribadi.
"Bahkan ada
agamawan yang bukan dari Islam, bahwa urusan seksual ini masalah kamar saja,
tidak perlu dicampuri, bahkan dia membela LGBT, bahkan ada seorang profesor
keblinger yang mengatakan bahwa suka sesama jenis itu boleh saja, asal suka
sama suka. Nah, hal yang semacam inilah yang membentuk pola pikir masyarakat
mengenai masalah seksual itu menjadi biasa saja, jadi pada saat perempuan yang
sebagai pihak yang lemah mengatakan "tidak", itu dianggap pura-pura,”
kata Mahendradatta.
Juru bicara Muslimah
Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) Iffah Ainur Rochmah menilai, berbagai kasus
kekerasan seksual ini tak lepas dari sistem hidup yang diterapkan di negeri
ini, selain karena faktor ketakwaan individu yang kian luntur.
Pemerintah,
menurutnya, masih setengah hati dalam merespon pornografi, peredaran minuman
keras, maupun kekerasan seksual. Buktinya, masalah itu baru sekadar wacana dan
tak terwujud di lapangan. Pornografi dan pornoaksi pun tetap bisa berkembang
atas nama kebebasan. Demikian pula miras bisa didapatkan di mana-mana karena
aturannya membolehkan.
"Inilah negeri
kita hari ini di bawah kungkungan sistem yang sangat liberal, sangat
kapitalistik. Padahal sudah jelas dampaknya kepada masyarakat sangat buruk,
korban dan pelakunya semakin dini usia tetapi itupun saya lihat pemerintah
tidak akan melakukan perubahan yang mendasar. Tidak akan ada regulasi yang
menghapus tuntas kemaksiatan atau bisnis-bisnis yang berdampak pada kasus
seperti di Bengkulu,” jelasnya.
Hukum
Lemah
Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya telah mengatur mengenai tindak pidana perkosaan
atau verkrachting. Ketentuan yang
mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam pasal 285
KUHP. Dirumuskan dalam pasal tersebut: ”Barangsiapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.”
Selain pemberatan
kepada pelaku, pemerintah akan mempublikasikan identitas pelaku kepada
masyarakat umum. Langkah ini diharapkan pelaku mendapatkan efek jera karena
mendapatkan hukuman sosial.
Namun, fakta
menunjukkan, kekerasan seksual bukannya menurun dengan banyaknya orang yang
masuk penjara. Sebaliknya, data menunjukkan jumlah kekerasan seksual cenderung
meningkat. Ini membuktikan bahwa hukum yang ada tidak memiliki sifat
menjerakan. Orang tak takut lagi dengan ancaman hukuman yang ada.
Dampak
Buruk Sosial Media
Sebelum era sosial
media berkembang pesat seperti sekarang, dunia internet menjadi yang terdepan.
Saat itu penyebaran konten internet pun bisa dikatakan terbatas, yakni terbatas
pada komputer/laptop yang tersambung ke akses internet.
Begitu muncul smartphone/gadget,
semuanya berubah total. Semua orang bisa mengakses internet di manapun dan
kapanpun dengan bebas. Di satu sisi kondisi ini sangat menguntungkan karena
memudahkan akses ke manapun. Tapi di sisi lain, ini ada bahaya sangat besar
karena hal-hal negatif pun begitu mudah diakses dan disebarkan. Ditambah lagi
kini berkembang media sosial. Antar satu orang dengan orang lain bisa berbagi
konten apapun. tanpa bisa dikontrol.
Maka penggunaan media
sosial tanpa bijak di tangan orang yang memiliki ketakwaan yang rendah akan
memunculkan bahaya. Tak aneh, tahun 2013 lalu menurut catatan Kementerian
Komunikasi dan informatika, Indonesia menempati urutan pertama terbesar dalam
mengakses pornografi.
Dari sisi anak dan
remaja yang baru dalam proses pematangan seksual, pornografi dapat mendorong
mereka mencoba-coba sehingga memunculkan perilaku penyimpangan seksual.
Rangsangan yang terus-menerus dari media sosial bisa mendorong mereka
melampiaskan nafsu seks mereka kepada siapa saja. Salah satu wujudnya adalah
eksploitasi kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak. Kasus di
Bengkulu maupun di Surabaya menjadi bukti nyata bagaimana pengaruh pornograti
itu bagi anak-anak.
Secara proses,
kecanduan pornografi dimulai dari melihat gambar yang ringan, seperti gambar
iklan sabun, iklan parfum atau iklan apapun yang menunjukkan keindahan tubuh
wanita. Tanpa disadari orang ingin melihat kembali gambar yang sama, karena
ketika melihat pornografi orang merasa senang dan nyaman. Perasaan ini muncul
akibat keluarnya cairan kimia otak secara alamiah yang bernama Dopamin. Dalam
tahap inilah orang sudah mulai kecanduan. Ketika kecanduan dimulai orang akan
mengalami tahapan penurunan kepekaan dan peningkatan keinginan untuk melihat
pornografi dan seterusnya timbul dorongan untuk meniru apa yang pernah
dilihatnya. Waspadalah.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 174, Mei-Juni 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar