Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 20 Mei 2017

Masyarakat Terlindas Ekonomi Neoliberalisme



Terlindas Neoliberalisme

Jika dulu rezim Susilo Bambang Yudhoyono dikatakan liberal, maka penggantinya jauh lebih liberal lagi. Rezim Jokowi ini demi mengundang investor asing langsung mengubah daftar negatif investasi (DNI) yang sebenarnya sudah mulai direvisi oleh SBY. Dengan DNI yang baru ini, asing kian longgar untuk berusaha di lndonesia.

Bahkan yang mengkhawatirkan, Jokowi mengizinkan warga negara asing (WNA) untuk memiliki properti di indonesia. Dalam waktu dekat, Jokowi bakal merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.

Syaratnya, permintaan Presiden, perusahaan-perusahaan properti anggota REI mengedepankan akses pembelian kepada warga negara Indonesia terlebih dulu. Tim Komunikasi Jokowi waktu itu Teten Masduki menjelaskan, alasan Jokowi mengizinkan para ekspatriat memiliki properti di Indonesia adalah untuk memberikan angin segar bagi pengusaha properti.

Gelombang liberalisasi ala Jokowi ini hingga kini belum menunjukkan korelasi positif terhadap perbaikan negeri ini. Yang terjadi justru sebaliknya, Indonesia kian terjajah.

Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noersy mengatakan, ia telah mengingatkan Jokowi bahwa tidak mungkin konsep neoliberal ini bisa bertopi Nawacita. ”Malah akan semakin ugal-ugalan. Padahal di Eropa ini sudah ada kesadaran baru bahwa konsep neoliberal itu gagal. Akan tetapi Indonesia ini bukannya mencermati kegagalan neoliberal itu, malah melanjutkan kegagalan tersebut,” terangnya.

Ia menilai, konsep pembangunan yang dipakai oleh Indonesia itu salah. ”Konsep apa yang dipakai Indonesia yaitu konsep neoliberal," jelasnya.

Contoh neoliberal, menurut Ichsan, seperti menerapkan konsep kebebasan tenaga kerja, kebebasan perdagangan, utang luar negeri yang luar biasa, swasta yang berperan habis-habisan dalam penyediaan hajat hidup orang banyak.

Kesalahan konsep ini menurut Hatta Taliwang, Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta, menjadikan Indonesia dikuasain asing dan aseng. Ia menggambarkan saat ini dari sektor ritel, properti seluruh kota besar di Indonesia, semua dikendalikan oleh orang-orang Cina. Perbankan oleh Cina dan Barat.

”Jadi mereka (asing) itu punya mesin penyedot di Indonesia ini, atau saya sebut vacuum cleaner. Mereka kerjanya nyedot, sampai akhirnya kita pribumi hanya dapat segelintir saja sebagai asongnya itu. Asong inilah yang membuat aturan agar asing dan aseng menjajah kita secara ekonomi,” tandas Hatta.

Aseng ini, katanya, kini menguasai bisnis-bisnis strategis. Mereka saling terikat satu dengan yang lain dalam sebuah jaringan. "Rantai-rantai itu mereka pegang, sehingga kaum pribumi kita ini tidak kebagian hanya mendapatkan remah-remah saja," jelasnya.

Dalam kondisi seperti itu, menurut Hatta, seharusnya negara hadir guna melindungi seluruh rakyat. ”Akan tetapi kan negara kita ini kan negara liberal, super liberal, sehingga terjadi kesenjangan yang makin tajam antara si kaya dan si miskin. Yang kaya makin kaya dengan mesin penyedotnya itu, dan yang miskin semakin kere,” jelasnya.

Ia memperkirakan, aseng ini tinggal sejengkal lagi dengan ambisinya untuk menguasai sektor politik, walaupun sebenarnya sebelum itu pun mereka sudah lama bermain politik. Dengan uangnya mereka dengan mudah mengontrol partai-partai politik.

Tersandera

Anehnya, dalam kondisi terpuruk seperti ini, tidak ada lagi elite politik yang berani mengkritisi kinerja pemerintah. Ini sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya di mana banyak kalangan yang muncul ke permukaan untuk mengontrol pemerintah. Sementara saat ini hampir tidak ada lagi kecuali sebagian kecil masyarakat.

Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman menjelaskan, ini bisa terjadi karena telah terjadi transaksi politik di antara elite penguasa saat ini. Mereka saling berbagi kue kekuasaan sehingga ada saling sandera antara satu dan yang lainnya.

Peran partai politik sebagai pengontrol pemerintah pun tidak berjalan sebagaimana mestinya, menurut Yahya, karena merekapun masuk dalam lingkaran bagi-bagi kekuasaan. "Ini karena sistem demokrasi mengharuskan partai politik harus mencari modal yang besar guna bertarung dalam sistem demokrasi. Nah, kekuasaan itu menjadi salah satu ajang untuk mendapatkan modal tersebut,” jelasnya.

Dan fakta menunjukkan, lanjutnya, orang-orang kritis yang sebelumnya tampak di permukaan itu ternyata ujung-ujungnya hanya mencari uang. Ini terbukti, begitu mereka diberi jabatan oleh rezim yang ada, mereka langsung hilang kekritisannya alias tumpul pikirannya. Bahkan tak jarang malah membela rezim dengan pembelaan yang konyol.

Ganti Sistem

Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto menilai, sistem kapitalisme-liberal ini sesungguhnya tinggal menunggu kehancuran. Sebagaimana sistem komunisme, menurutnya, kapitalisme juga akan hancur. ”Tidak masuk akal kalau kita kemudian mempertahankan sistem ini. Bahkan di Amerika sendiri, sistem ini sudah digugat oleh rakyatnya sendiri,” tandasnya.

Walhasil, kata ismail, tidak ada jalan lain untuk memperbaiki kondisi Indonesia sekarang kecuali pergantian sistem, sekaligus rezimnya. Sebagai alternatifnya, tidak ada lain kecuali sistem Islam.

”Inilah satu-satunya sistem yang akan membawa rahmatan Iil'alamin atau kebaikan bagi negeri ini, sekarang dan yang akan datang,” tandas Ismail.

Ia menjelaskan, dengan syariah Islam, seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan diatur dengan cara yang benar. Ekonomi akan tumbuh, stabil dan akan memberikan keadilan dan kesejahteraan serta keberkahan kepada seluruh rakyat. SDA yang melimpah itu akan dikelola oleh negara untuk rakyat. Pajak akan dipungut secara sangat terbatas, itupun hanya bila dalam keadaan yang sangat mendesak. "Dan dengan kekuatan khilafah, penjajahan baru dalam segala bentuknya, termasuk melalui pemberian utang, bisa dihentikan dengan segera," pungkasnya. []

IMF: Neoliberalisme Telah Gagal

Akhir Mei lalu, departemen penelitian dari Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan laporan yang mengakui bahwa neoliberalisme telah gagal. Laporan yang berjudul, “Neoliberalism: Oversold?" sepertinya menunjukkan tanda-tanda kematian ideologi ini. Hal itu mulai terjadi sekitar 40 tahun terakhir.

Seperti yang di-tweet oleh Naomi Klein tentang laporan itu, "Jadi semua milyarder yang diciptakan ideologi ini akan mengembalikan uang mereka, bukan?"

Banyak temuan dari laporan ini yang menyerang inti dari ideologi ini, menggaungkan apa yang telah dikatakan oleh para kritikus dan para korban neoliberalisme dalam beberapa dekade.

“Alih-alih memberikan pertumbuhan," laporan itu menjelaskan bahwa kebijakan penghematan neoliberal dan regulasi yang dipermudah untuk pergerakan modal sebenarnya telah meningkatkan ketimpangan.

Ketimpangan ini “mungkin itu memotong pertumbuhan itu sendiri..." Akibatnya, laporan itu menyatakan bahwa “para pembuat kebijakan harus lebih terbuka untuk melakukan redistribusi daripada pada saat ini."

Namun, laporan itu meninggalkan beberapa hal penting dari sejarah neoliberalisme dan dampaknya.

Meski IMF menunjukkan neoliberalisme telah gagal, tapi menurut mereka neoliberalisme telah bekerja sangat baik bagi orang kaya secara global yang berjumlah 1 persen. Ini yang selalu merupakan tujuan IMF dan Bank Dunia. Seperti yang dilaporkan oleh Oxfam pada awal tahun ini, 1 persen orang terkaya dunia kini memiliki kekayaan yang setara dengan kekayaan semua penduduk dunia di planet ini jika digabungkan.

Demikian pula, wartawan investigasi Dawn Paley telah membuktikan dalam bukunya Drug War Capitalism bahwa jauh dari kegagalan. Drug War (Perang Narkoba) telah menjadi sukses besar bagi Washington dan perusahaan-perusahaan multinasional. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 176, Juni-Juli 2016
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam