Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 20 Mei 2017

Kezaliman Penguasa Bila Dibiarkan Terus Rakyat Semakin Menderita



Wawancara Dengan:
Muhammad Ismail Yusanto Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia

Bila Dibiarkan Terus, Rakyat Semakin Menderita

Presiden silih berganti, mulai dari yang piawai berdiplomasi, tentara, teknokrat, kyai, perempuan hingga Jokowi. Tapi justru di era presiden yang ketika kampanye dikenal sangat merakyat ini ternyata juga tidak dapat membela rakyat, justru ekonomi jadi kian tak terkendali dan semakin ngeri di era Jokowi. Lantas apa akar masalah yang sesungguhnya? Rezim atau sistem yang berlaku di negeri inikah penyebabnya? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.

Benarkah ekonomi di bawah Jokowi makin tak terkendali?

Bila menyimak data yang disajikan dari sejumlah indikator penting seperti pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, utang luar negeri, cadangan devisa dan lainnya, memang ekonomi di era ini terus mengalami penurunan dan cenderung tak terkendali.

Pertumbuhan ekonomi misalnya, yang menjadi salah satu indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi, tahun 2015 hanya tumbuh sebesar 4,8, menurun bila dibanding tahun 2014 yang 5,0, apalagi bila dibanding tahun 2013 yang 5,6. Padahal tahun 2011 kita pernah menikmati pertumbuhan ekonomi 6,2.

Pertumbuhan ekonomi mencerminkan kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Ini diukur dengan cara membandingkan, Gross National Product (GNP), tahun yang sedang berjalan dengan tahun sebelumnya. Akibat pertumbuhan yang melambat, tingkat pengangguran di tahun 2015 meningkat menjadi 6,2. Tahun sebelumnya sebesar 5,9.

Memang infiasi tahun berjalan masih bisa dikendalikan. Tapi tahun 2014, akibat kebijakan Jokowi menaikkan BBM, infiasi pernah mencapai 9,3. Tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Ini pula yang saya kira mempengaruhi rendahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran di tahun berikutnya.

Dan yang paling mengkhawatirkan adalah rasio utang luar negeri kita terhadap GDP yang meningkat tajam. Bila di masa SBY di tahun 2013 paling tinggi 29,1, naik dari tahun sebelumnya 27,4 dan 25,2, dalam setahun pemerintahan Jokowi rasio utang itu langsung naik menjadi 33.0 di tahun 2014 dan 36.0 di tahun 2015. Bank Indonesia (BI) melaporkan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I-2016 sebesar 316 miliar dolar AS, atau tumbuh 5,7 persen secara tahunan.

Jika dihitung dengan kurs Rp13.278,-/dolar, maka utang tersebut telah setara dengan Rp4.195 trilyun lebih. Rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal I-2016 sebesar 36,5 persen, meningkat dari 36 persen pada akhir kuartal IV 2015. Tidak cukup dengan utang yang sudah demikian besar, pemerintahan Jokowi-JK pada tahun 2016 kembali akan menambah utang sebesar Rp605,3 trilyun.

Apa bahayanya dari banyaknya utang tersebut?

Pemerintahan di manapun yang bergantung pada utang cenderung akan eksploitatif dalam melakukan kegiatan ekonomi. Semua akan diarahkan untuk bisa membayar cicilan dan bunga utang itu. Begitu juga SDM dan SDA serta pajak yang makin mencekik, akan dieksploitasi untuk mendapatkan utang baru dan untuk membayar utang.

Selain itu, pemerintahan yang berdiri di atas utang tak lagi bebas atau mandiri dalam memerintah dan dalam menentukan orientasi pembangunan. Mereka pasti harus memperturutkan pemberi utang, termasuk dalam menentukan orang-orang yang bakal duduk di pemerintahan. Jadi, bagi kreditur, utang adalah alat penjajahan yang sangat efektif.

Mengapa itu semua bisa terjadi?

Karena landasan pembangunan negeri ini, khususnya di bidang ekonomi, adalah sistem kapitalisme liberal. Dalam sistem ini, kita tahu, sumber pembiayaan negara yang paling utama berasal dari pajak, juga utang. Dari situ negara membiayai belanja negara, membiayai pembangunan termasuk untuk membayar cicilan utang. Jadi, hakikatnya rakyatlah yang membayar utang negara.

Tambahan lagi, akibat pendapatan pajak tahun 2015 meleset jauh dari target yang ditetapkan, anggaran mengalami defisit. Dan untuk mengatasinya selalu ditempuh dua jurus pamungkas.

Pertama, pemerintah mengurangi berbagai bentuk subsidi untuk rakyat, di antaranya subsidi BBM, dengan berbagai dalih. Pengurangan subsidi ini tentu saja bakal menambah beban rakyat. Sudahlah rakyat dipungut pajak, harus juga menanggung kenaikan harga akibat kenaikan harga BBM setelah subsidi dicabut.

Kedua, menambah utang, yang pada akhirnya rakyat juga yang akan menanggung beban cicilan dan bunganya. Tahun lalu kita mengeluarkan dana Rp403,835 trilyun untuk membayar cicilan dan bunga utang. Secara demikian, lingkaran setan alur pemerasan terhadap rakyat ini akan terus berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masif. Rakyat akan terus dihadapkan pada dua beban sekaligus, yakni peningkatan pungutan pajak dan pencabutan subsidi. Sementara, sekadar untuk memenuhi hajat asasinya sendiri, rakyat sudah terseok, tertekan kesulitan ekonomi.

Untuk mengatasi masalah ini, apakah berarti rezim Jokowi harus diturunkan?

Sistem kapitalisme liberal dan rezim yang tunduk pada sistem yang zalim ini, yang sangat destruktif ini, tentu saja harus segera dihentikan. Tidak ada jalan lain. Bila dibiarkan terus, rakyat akan makin menderita, dan negara ini akan makin terjerumus kepada jurang kebangkrutan.

Mengapa tidak cukup hanya mengganti rezim?

Kita tidak boleh lupa, rezim di manapun akan bekerja berdasar sistem yang dianut di sebuah negara. Oleh karena itu, bila menginginkan perbaikan secara mendasar dan menyeluruh, pergantian rezim saja tidak cukup.

Fakta sudah membuktikan hal itu. Berapa kali sudah negeri ini berganti rezim, bagaimana hasilnya? Bahkan dalam beberapa hal, seperti kesenjangan ekonomi, makin memburuk. Bila indeks gini 15 tahunan lalu 0,31 kini meningkat menjadi 0,43. Itu artinya yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin.

Memang seperti apa benang merahnya sistem yang berlaku di negeri ini membuat rakyat sengsara?

Sistem kapitalisme liberal adalah sistem yang berpihak pada pemilik modal. Apalagi dalam kenyataannya rezim ini naik ke tampuk pemerintahan berkat dukungan para taipan, dukungan itu tentu diberikan bukan tanpa imbalan. Oleh karena itu, dalam sistem ini penyusunan peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah akan cenderung dibuat demi kepentingan pemilik modal itu.

Lihatlah demi kepentingan siapa sebenarnya RUU Tax amnesty itu dibuat. Juga siapa-siapa yang duduk di pemerintahan, terutama di sektor ekonomi? Lihat juga siapa yang duduk di Wantimpres. Pertimbangan apa yang kira-kira akan diberikan oleh mereka yang aslinya adalah kaum pebisnis, bila bukan menyangkut kelangsungan bisnis mereka?

Lantas, sistem apa sebagai gantinya agar masalah seperti ini tidak terjadi lagi?

Dengan sistem Islam melalui penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan al khilafah. Inilah satu-satunya sistem yang akan membawa rahmatan Iil'alamin atau kebaikan bagi negeri ini, sekarang dan yang akan datang.

Bagaimana sistem tersebut bisa menjamin rakyat tidak menderita seperti sekarang?

Dengan syariah Islam, seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan diatur dengan cara yang benar. Ekonomi akan tumbuh, stabil dan akan memberikan keadilan dan kesejahteraan serta keberkahan kepada seluruh rakyat. SDA yang melimpah itu akan dikelola oleh negara untuk rakyat. Pajak akan dipungut secara sangat terbatas, itupun hanya bila dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan dengan kekuatan khilafah, penjajahan baru dalam segala bentuknya, termasuk melalui pemberian utang, bisa dihentikan dengan segera. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 176, Juni-Juli 2016
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam