Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 15 Mei 2017

Kejahatan Perancis Untuk Neokolonialisme Barat Di Suriah



Serangan Paris, Muluskan Solusi Suriah ala Barat

Serangan angkatan udara Prancis minggu malam (15/11/2015), dua hari setelah “serangan” Paris, makin menguatkan dugaan ada kemungkinan skenario yang mirip dengan “serangan” terhadap WTC di New York. Saat itu, Amerika Serikat menjadikan serangan WTC untuk memperkuat kebijakan luar negerinya, atas nama perang melawan terorisme menduduki Afghanistan dan mengintervensi negara lain.

Serangan Paris inipun digunakan negara-negara Barat termasuk Prancis untuk memperkuat legitimasi membombardir Suriah dengan alasan perang melawan ISIS. Serangan terhadap Suriah dianggap serangan balasan terhadap lSIS yang (katanya) menewaskan 132 orang di Paris. Seperti yang disampaikan Menlu Prancis di sela-sela pertemuan G20 di Turki, serangan ke Kota Raqqa yang diklaim sebagai basis ISIS adalah sesuatu yang lumrah.

”Mengingat Prancis tidak hanya diancam, tapi juga diserang Daesh (akronim untuk ISIS), lumrah baginya (Prancis) untuk melangkah maju. Dalam konteks pertahanan diri, perlu bagi Prancis untuk mengambil aksi. Kami telah melakukannya pada masa lalu, dan kami melakukannya hari ini lantaran Raqqa adalah pusat komando Daesh. Kami tidak bisa berdiam diri saat diserang, seperti yang Anda lihat dalam tragedi di Paris,” ujar Fabius kepada BBC London (16/11/2015).

Dalam serangan ini, angkatan udara Prancis mengerahkan 12 pesawat termasuk 10 pesawat tempur. Dilaporkan pihak Perancis, serangan ini menyasar sejumlah target seperti pusat komando, depot amunisi, dan kamp pelatihan milisi. Gempuran ini seperti yang disebut Kementerian Pertahanan Prancis merupakan yang terbesar sejak Prancis memperpanjang masa pengeboman dengan alasan memerangi kelompok eksterimis pada September yang lalu.

Tentu bukanlah suatu kebetulan, kalau serangan Paris yang terjadi pada Jum’at malam (13/11/2015), bersamaan dengan dua hajatan besar Barat, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Antalya Turki dan pertemuan menlu dari 12 negara di Wina untuk menyelesaikan konflik di Suriah. Perang melawan terorisme pun menjadi menguat dalam dua pertemuanini.

“Serangan mematikan” di Paris digunakan kembali untuk menyerukan agar dunia bersatu melawan terorisme. Dalam KTT G-2O Presiden Amerika Obama, Presiden Rusia Vladimir Putin, pemimpin dunia lainnya mendeklarasikan kecaman bersama terhadap aksi terorisme.

Obama mengutuk semua aksi kejahatan, termasuk bom bunuh diri ganda yang terjadi bulan lalu di Ankara, Turki, dan bersumpah melipatgandakan seluruh upaya untuk menghancurkan jaringan ISIS. "Bersama Prancis, kami berdiri dalam solidaritas untuk memburu para pelaku kejahatan ini dan membawa mereka ke pengadilan," ujar Obama seusai bertemu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Presiden Turki yang menjadi tuan rumah juga menyatakan pernyataan yang sama. "Semua pemimpin mengutuk serangan di Paris. Saya yakin sikap kita terhadap terorisme internasional akan terjawab di KTT G-20 ini,” ujar Erdogan. ”Karena semuanya bersatu, dan aksi teror ini bukan hanya ditujukan kepada Prancis, melainkan juga seluruh umat manusia,” tambahnya.

Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin yang sejak akhir September telah memulai operasi militer membombardir Suriah mengatakan dunia hanya memiliki satu cara mengatasi teror global yang terjadi saat ini. "Semua komunitas internasional harus bersatu,” tegasPutin.

Serangan Paris juga membayangi pertemuan 19 negara di Wina. Pertemuan untuk mengakhiri perang di Suriah ini dirancang mencari jalan menuju genjatan senjata dan transisi politik. Seperti yang dilansir VOA (17/11), dalam pertemuan ini Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius mengatakan serangan di Paris membuat semakin perlu bagi masyarakat internasional untuk menemukan pendekatan bersama di Suriah dan terorisme. Para Menteri Luar Negeri Jerman, Yordania dan Arab Saudi mengemukakan perasaan yang sama dengan Fabius.

Muluskan Jalan

Serangan Paris, sepertinya, akan digunakan Barat untuk memuluskan jalan mereka untuk perang di Suriah. Dalam pertemuan di Wina, ibukota Austria, yang dihadiri belasan negara di bawah pimpinan Amerika mendorong agar pihak oposisi dan rezim Suriah bicara bersama di meja perundingan. Kemudian dirancang sebuah proses politik yang diklaim melibatkan semua pihak, membuat konstitusi baru dan mengadakan pemilu untuk membentuk pemerintahan baru Suriah.

Barat sendiri telah membatasi pemerintahan baru di Suriah adalah pemerintahan yang sekuler, demokratik, dan mengusung pluralisme. Untuk itu Barat menekankan keharusan melawan faksi-faksi yang menolak solusi Barat ini, dengan tudingan faksi teroris dan menolak solusi damai. Tujuan ini seperti yang diungkap oleh Menlu AS John Kerry pada Kamis (22/10/2015) yang menyatakan negara-negara Quartet Internasional sepakat Suriah yang bersatu akan di bawah sistem pluralistik demokrasi sekuler.

Senada dengan itu, dalam proposal yang disetujui 19 negara dalam pertemuan di Wina, Sabtu (14/11/2015), dengan tegas disebutkan bahwa dalam waktu enam bulan perundingan di Suriah harus menghasilkan pemerintahan transisi yang ”kredibel, inklusif, dan non-sektarian.” Pemerintahan ini akan menetapkan jadwal pembentukan konstitusi baru dan pelaksanaan pemilu yang dipantau oleh PBB. Belasan negara itu juga menyepakati mekanisme pelaksanaan gencatan senjata yang dikendalikan PBB.

Untuk itu adalah penting bagi Barat untuk melumpuhkan kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan jalan Barat ini. Yaitu kelompok yang sadar bahwa solusi ala Amerika haruslah ditolak, karena hanya akan sekadar mengganti rezim Suriah dengan boneka baru Barat yang tidak membawa perubahan yang berarti. Tuntutan kelompok Islam selama ini adalah jelas, bukan demokrasi, tapi Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam.

Untuk itu Barat seperti biasa menggunakan isu terorisme guna memuluskan jalannya. Menuding pihak yang tidak sejalan dengannya sebagai teroris. Dalam konteks Suriah, Barat menggunakan genderang perang melawan ISIS. Dan dengan alasan memerangi terorisme ISIS ini mereka membombardir wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok mujahidin anti Assad yang menentang Barat, meskipun diketahui daerah itu bukankah wilayah yang dikuasai ISIS.

Walhasil, apa yang dimaksud oleh Barat sebagai perang melawan terorisme tidak lain adalah upaya memuluskan langkah-langkah politik mereka di Suriah untuk mengaborsi perjuangan Islam di bumi Syam itu. []

Membongkar Kemunafikan Barat

Reaksi Barat terhadap “serangan” Paris, di sisi lain, semakin membongkar kemunafikan Barat. Barat yang diikuti oleh pemimpin-pemimpin bonekanya di berbagai kawasan dunia, beramai-ramai mengecam serangan Paris yang (katanya) menewaskan 132 orang. Sementara, mereka diam saat Bashar Assad yang diperkuat koalisi Iblis yang dipimpin Amerika membombardir penduduk Suriah yang membunuh ratusan ribu orang. Merekapun tidak bereaksi saat penjajah Yahudi membunuhi rakyat Palestina hingga saat ini.

Bila dibandingkan, jumlah korban di Paris tidaklah sebanding dengan nyawa kaum Muslim yang tewas di Suriah, Irak, Palestina, dan negeri Muslim lainnya karena senjata Barat. Setiap hari ada nyawa melayang, termasuk anak-anak, perempuan, dan lansia di negeri Islam karena kebiadaban tentara Salib ini.

Mereka diam seribu bahasa. Media Barat seakan buta. Inilah standar ganda dan kelicikan Barat. []

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 162, Nopember-Desember 2015
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam