Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 11 Mei 2017

Dalil Wajib Menutup Aurat Syarat Sah Shalat

Menutup Aurat

Menutup aurat merupakan syarat sah dan diterimanya shalat. Allah ‘azza wa jalla tidak menerima shalat seorang Muslim yang dilakukan dalam keadaan membuka auratnya, baik ia laki-laki ataupun perempuan, baik kondisinya shalat di depan manusia ataupun menyendiri. Dengan demikian, maka si mushalli harus menutup auratnya dalam shalat. Allah Swt. berfirman:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (TQS. al-A'raf [7]: 31)

Ibnu Abbas ra. menyebutkan sebab turunnya ayat ini. Ia berkata:

“Adalah wanita jika bertawaf mengelilingi Baitullah, ia mengeluarkan dadanya dan aurat yang ada padanya, lalu Allah ta'ala menurunkan ayat: Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid…” (HR. Baihaqi)

Zinah (pakaian yang indah) yang diperintahkan dalam ayat ini adalah pakaian dan (sesuatu yang digunakan) untuk menutup aurat. Ibnu Umar ra. dari Nabi Saw., Beliau Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat maka hendaklah ia memakai izar (kain penutup setengah bagian tubuhnya dari bawah), dan memakai baju.” (HR. Ibnu Hibban, Ahmad, al-Baihaqi, dan at-Thahawi)

Dari Aisyah ra. dari Nabi Saw., Beliau Saw. bersabda:

“Allah tidak menerima shalat seseorang yang telah haid kecuali dengan memakai khimar (kain penutup kepala).” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Muhammad bin Sirin meriwayatkan:

“Bahwa Aisyah ra. berkunjung ke Shafiyah, ibunda salah seorang (bernama) Thalhah dari beberapa Thalhah, lalu beliau melihat anak-anak Ummu Shafiyah sedang shalat tanpa menggunakan penutup kepala padahal mereka telah haid. Lalu Aisyah berkata: “Pembantu wanita di antara mereka tidak boleh shalat kecuali dengan (menggunakan) khimar. Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah berkunjung ke rumahku dan pada saat itu di rumahku ada seorang pembantu wanita, lalu beliau melemparkan sarungnya kepadaku seraya bersabda: Pisahkanlah antara pembantu wanita ini dengan remaja wanita yang ada di ruangan Ummi Salamah, karena aku tidak melihat pembantu wanita ini kecuali ia telah haid, atau aku tidak melihat keduanya melainkan keduanya itu telah mengalami haid.” (HR. Ahmad)

Ucapan Aisyah: mereka sedang shalat tanpa menggunakan khimar, yakni sedang shalat tanpa menggunakan tutup kepala. Al-Haqwa: yakni sarung. Dan dari Abu Qatadah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Allah tidak menerima shalat seorang wanita hingga ia menyembunyikan perhiasannya dan (tidak menerima) shalat seorang jariyah yang telah baligh hingga ia memakai tutup kepala.” (HR. Thabrani)

Dari Ummu Salamah ra.:

“Sesungguhnya Ummu Salamah telah bertanya kepada Nabi Saw.: ‘Apakah seorang wanita boleh shalat hanya dengan mengenakan blus dan penutup kepala tanpa memakai kain sarung (penutup setengah bagian tubuhnya ke bawah)?' Beliau Saw. bersabda: “(Boleh) jika blusnya menjulur sehingga bisa menutupi punggung kedua kakinya.” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim)

Nash-nash ini menjelaskan bahwa ketika melaksanakan shalat, seorang wanita harus menutupi seluruh tubuhnya, mulai dari kepala hingga dua kakinya dengan adanya ungkapan al-khimar (kain penutup kepala) dalam hadits Ibnu Majah dan hadits Ahmad, hatta takhtamira (hingga ia memakai tutup kepala) dalam hadits at-Thabrani, dan ungkapan dhuhuru qadamaiha (punggung kedua kakinya) dalam hadits Abu Dawud dan al-Hakim. Tidak ada bagian yang dikecualikan dari menutup aurat, kecuali muka dan dua telapak tangan saja, berdasarkan pada firman Allah Swt.:

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (TQS. an-Nur [24]: 31)

Maka firman Allah Swt.: “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” menjadi satu pengecualian, yang telah ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, Aisyah, dan Abdullah bin Umar ra. sebagai wajah dan dua telapak tangan.

Dalam menutup aurat disyaratkan agar memakai pakaian yang tebal, yang menutupi warna kulit yang ada di balik kain tersebut, sehingga tidak dibolehkan memakai pakaian yang tipis dan transparan. Dari Usamah bin Zaid ra. ia berkata:

“…Rasulullah Saw. bertanya kepadaku: “Mengapa engkau tidak memakai kain tipis yang biasa dipakai oleh bangsa Qibthi?” Aku berkata: ‘Aku gunakan untuk menutupi tubuh isteriku.’ Beliau Saw. bersabda: “Suruhlah isterimu agar di baliknya dia memakai pakaian dalam, karena aku khawatir dia akan menceritakan bentuk tubuhnya.” (HR. Ahmad)

Adapun aurat laki-laki adalah bagian tubuh (yang terletak) antara pusar hingga dua lutut. Pusar dan dua lutut itu sendiri bukan termasuk aurat, akan tetapi sikap yang lebih hati-hati adalah menutup pusar. Ini karena sedemikian kecilnya pusar ketika seseorang melihatnya, sehingga bisa saja mengalihkan pandangannya pada sesuatu yang ada di bawahnya yang bisa menyebabkannya jatuh pada sesuatu yang diharamkan. Dari Abu Ayub ra. ia berkata:

“Aku mendengar Nabi Saw. bersabda: “Apa yang ada di atas dua lutut adalah termasuk aurat, dan apa yang ada di bawah pusar adalah termasuk aurat.” (HR. ad-Daruquthni)

Dan dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian menikahkan hamba laki-lakinya kepada hamba perempuannya atau buruhnya maka janganlah si hamba perempuan ini melihat sesuatu yang termasuk aurat laki-laki itu, karena apa yang ada di bawah pusar hingga lututnya (hamba laki-laki) termasuk aurat.” (HR. ad-Daruquthni)

Mengenai dua paha, maka keduanya termasuk aurat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muhammad bin Jahsy, ia berkata:

“Nabi Saw. dan aku melewati Ma'mar, sedangkan kedua paha Ma’mar terbuka. Maka Beliau Saw. bersabda: “Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu, karena kedua paha itu adalah aurat.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)

Dari Jarhad:

“Bahwasanya Nabi Saw. melihatnya, sedangkan pahanya terbuka di masjid dan dia sedang memakai selendang. Lalu Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya paha itu termasuk aurat.” (HR. al-Hakim dan beliau menshahihkannya)

Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan meng-hasan-kannya. Dan Ahmad meriwayatkan hadits ini pula dengan redaksi yang hampir sama. Dari Ibnu Abbas ra. bahwsanya Nabi Saw. bersabda: “Paha itu adalah aurat.” (HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi). Imam Bukhari menyebutkan hadits ini secara mu’allaq, yakni tanpa sanad.

Adapun dalil yang digunakan sebagai argumentasi oleh sebagian mereka yang mengatakan bahwa paha bukanlah aurat, dan aurat menurut mereka hanyalah kemaluan dan lubang dubur saja, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari jalur Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. pernah duduk dan pahanya dalam keadaan terbuka. Kemudian Abu Bakar meminta idzin, Nabi mengizinkan sedang ia tetap dalam keadaan (seperti) itu. Kemudian Umar meminta izin, Nabi mengizinkan, dan ia tetap dalam keadaannya itu. Kemudian Utsman meminta izin, lalu Nabi menurunkan pakaiannya. Maka tatkala mereka telah pergi, aku bertanya: ‘Ya Rasulullah, Abu Bakar dan Umar minta izin, lalu keduanya engkau izinkan, sedangkan engkau tetap dalam keadaanmu, tetapi tatkala Utsman meminta izin, engkau malah menurunkan pakaianmu.' Nabi menjawab: “Ya Aisyah, apakah aku tidak malu terhadap seorang laki-laki yang demi Allah sesungguhnya malaikat pun malu kepadanya.” (HR. Ahmad)

Untuk membantahnya kami katakan bahwa ini adalah perbuatan Nabi Saw., sedangkan hadits-hadits sebelumnya adalah perkataan dan perintah Nabi Saw., di mana perkataan dan perintah itu lebih kuat daripada beristidlal pada perbuatan. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dengan redaksi:

“Adalah Rasulullah Saw. sedang berbaring di rumahku dalam keadaan membuka kedua pahanya atau kedua betisnya, lalu Abu Bakar meminta izin...”

Dalam redaksi ini ada keraguan antara dua paha dan dua betis, dan dua betis itu bukanlah termasuk aurat. Dengan mencermati kondisi tersebut menjadikan hadits ini menjadi hadits muhtamal, sehingga dengan adanya ihtimal (probabilitas) maka gugurlah istidlal (penarikan kesimpulan). Hadits yang senada dengan ini berjumlah sedikit, terutama apa yang diriwayatkan oleh Anas ra. bahwa Rasulullah Saw. berangkat ke medan Perang Khaibar, hingga dia berkata:

“…Lalu jatuhlah kain dari dua paha Nabi Saw., hingga sungguh aku melihat putihnya dua paha Nabiyullah Saw.” (HR. Ahmad)

Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan ungkapkan: “husira al-izar”, dan hadits ini menceritakan perbuatan Nabi Saw., bukan perkataan dan perintah, sehingga hadits-hadits sebelumnya menjadi dalil yang lebih kuat untuk dijadikan sandaran.

Dari aspek kedua bisa ditarik kesimpulan bahwa jika perintah Rasulullah Saw. bertolak belakang dengan perbuatannya, maka perbuatan Rasulullah Saw. ini dipahami sebagai suatu kekhususan untuk Beliau Saw., dan ucapan beliau tetap diberlakukan dan wajib diikuti sebagaimana terjadi dalam kasus ini. Sehingga kesimpulannya adalah menjadi suatu kewajiban atas mushalli (orang yang shalat) untuk menutup (aurat) yang ada di antara pusar hingga dua lututnya ketika dia melaksanakan shalat, jika dia laki-laki, dan menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan, jika dia perempuan.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah
(artikel blog ini tanpa tulisan arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam