Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 12 Mei 2017

Dalil Menghadap Kiblat Dalam Shalat


BAB KELIMA KIBLAT DAN SUTRAH

Menghadap Kiblat dalam Shalat

Termasuk perkara agama yang pasti diketahui bahwa kaum Muslim harus menghadap ke kiblat dalam shalat mereka. Kiblat pertama kaum Muslim adalah Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis, selama kurang lebih satu setengah tahun. Kemudian kiblat mereka menjadi Ka’bah di kota Makkah, dan akan terus menjadi kiblat kaum Muslim hingga akhir zaman. Dari al-Barra, ia berkata:

“Aku shalat bersama Rasulullah Saw. ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan, kemudian kami disuruh mengubah arah ke Ka'bah.” (HR. Muslim)

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah, dengan redaksi kalimat yang sedikit berbeda. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. dan para sahabatnya melaksanakan shalat ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan, kemudian arah kiblat pun dirubah.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, al-Bazzar dan at-Thabrani)

Rasulullah Saw. ketika shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis seringkali menampakkan keinginan untuk menghadap ke arah negerinya, Makkah, dan sangat mengharap dirinya berpindah arah dalam shalat ke sana. Setelah itu turunlah firman Allah Swt. sebagai jawaban atas keinginannya itu:

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (TQS. al-Baqarah [2]: 144)

Dari al-Barra bin ‘Azib, ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. melaksanakan shalat ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan, atau tujuh belas bulan, dan Rasulullah Saw. berhasrat menghadapkan wajahnya ke Ka'bah. Lalu Allah menurunkan: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.” Kemudian beliau menghadapkan wajah ke arah Ka'bah.” (HR. Bukhari)

Menghadapkan wajah ke arah kiblat merupakan sebuah kewajiban yang tidak diragukan lagi, sehingga tidak boleh ditinggalkan atau diabaikan. Meski demikian, tidak terdapat nash atau dalil yang menetapkan menghadap ke kiblat sebagai syarat. Dengan kata lain, menghadap kiblat bukanlah syarat sah atau diterimanya shalat. Menghadap kiblat semata-mata sebuah kewajiban saja, sehingga, barangsiapa yang shalat pada selain kiblat secara sengaja tanpa adanya udzur, maka ia berdosa, akan tetapi shalatnya tetap diterima. Sebab, seluruh dalil yang ada dan terkait khusus dengan masalah menghadap kiblat, tidak lebih dari sekedar perintah dan tuntutan yang pasti. Dan suatu perintah tidak serta merta menjadikannya sebagai syarat. Terdapat hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah.” (HR. Bukhari)

Hadits ini semata-mata berisi perintah. Firman Allah Swt.:

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (TQS. al-Baqarah [2]: 144)

Juga semata-mata berisi perintah. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.:

“Tatkala orang-orang melaksanakan shalat subuh di Quba, sekonyong-konyong datang seorang laki-laki, seraya berkata: “Sesungguhnya telah turun salah satu ayat al-Qur'an kepada Rasulullah Saw. pada malam ini, dan Beliau Saw. diperintah untuk menghadap kiblat, maka menghadaplah kalian ke kiblat.” Pada saat itu orang-orang menghadapkan wajahnya ke arah Syam, lalu mereka memutar arah menghadapkan wajah ke arah Ka'bah.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik, dan an-Nasai)

Hadits inipun semata-mata berisi perintah, sehingga tidak layak untuk menjadikannya sebagai syarat.

Menghadap kiblat merupakan suatu kewajiban, kecuali dalam beberapa kondisi berikut:

a. Dalam kondisi lemah dan tidak mampu menghadap kiblat, seperti disebabkan oleh sakit yang menjadikannya tidak mampu bergerak, sehingga ia diperbolehkan shalat sesuai kondisinya, seperti terluka dalam peperangan di mana lukanya itu memaksanya harus diam di tempat sehingga tidak mampu menghadap ke arah Ka'bah, atau seperti dalam kondisi diikat (ditawan) oleh pihak lain karena sesuatu sebab dan mengarahkannya ke pohon atau tiang dan sebagainya, bukan ke arah kiblat. Dalam beberapa kondisi tadi, seorang mushalli boleh shalat tanpa menghadap kiblat. Allah Swt. berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (TQS. al-Baqarah [2]: 286)

Rasulullah Saw. bersabda:

“...Jika aku memerintah kalian dengan sesuatu, maka laksanakanlah semampu kalian...” (HR. Muslim dari jalur Abu Hurairah)

b. Dalam kondisi sangat ketakutan (karena diancam) musuh. Imam Malik meriwayatkan dari Nafi, bahwa Abdullah bin Umar ra. jika ditanya tentang shalat khauf ia berkata:

“Jika ketakutannya lebih dahsyat lagi, maka mereka shalat dengan cara berjalan kaki atau di atas kendaraan mereka, dengan menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat. Malik berkata, Nafi berkata: Aku tidak melihat Abdullah bin Umar menyebutkan hal itu kecuali berasal dari Rasulullah Saw.” (HR. Bukhari)

c. Shalat sunat di atas binatang tunggangan dan di atas semua jenis kendaraan. Dari Ibnu Umar ra.:

“Bahwa Nabi Saw. seringkali shalat di atas untanya, ke manapun untanya itu menghadapkan wajahnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Penyebutan shalat tathawwu (sunat) secara lebih tegas terdapat dalam riwayat lain dari jalur Abu Said al-Khudri dan Ibnu Umar ra.:

“Bahwa Nabi Saw. seringkali shalat di atas untanya dalam shalat tathawwu, ke manapun untanya itu menghadapkan wajahnya, Beliau Saw. shalat dengan memberikan isyarat, dan Beliau menjadikan posisi sujudnya lebih rendah daripada ruku.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Begitu pula terdapat hadits lain dari jalur Anas bin Malik ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. seringkali shalat tathawwu’ (sunat) di atas untanya dalam perjalanan (dengan arah) ke selain kiblat.” (HR. Ahmad)

Dari Amir bin Rabiah ra., ia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. melaksanakan shalat-shalat nafilah di atas punggung hewan tunggangannya (dengan menghadap) ke setiap arah.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Dari Jabir, ia berkata:

“Rasulullah Saw. seringkali melaksanakan shalat di atas hewan tunggangannya ke manapun hewan itu menghadapkan wajahnya. Jika Beliau ingin melaksanakan shalat fardhu maka Beliau turun dan menghadap ke kiblat.” (HR. Bukhari)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh ad-Darimi, al-Baihaqi, Ibnu Hibban dengan redaksi:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. seringkali melaksanakan shalat di atas untanya ke arah Timur dan jika Beliau ingin melaksanakan shalat wajib maka Beliau turun dan menghadap ke kiblat.”

Dalam tiga kondisi ini, dibolehkan untuk tidak menghadap kiblat, dan dibolehkan menghadap ke arah mana saja. Namun, dalam kondisi selain itu, wajib bagi seorang Muslim untuk berupaya mengamati agar ia bisa shalat menghadap kiblat dan menghadapkan wajahnya dalam shalat ke Ka'bah. Tidak menjadi masalah baginya jika ia kemudian keliru dalam upayanya mencari dan menentukan arah yang benar tersebut, sehingga ia menghadap bukan ke arah kiblat. Ini bisa terjadi pada seseorang yang sedang melakukan perjalanan (musafir) dalam kondisi tidak mengetahui arah, atau hari dalam keadaan sangat mendung sehingga menyulitkan seseorang untuk menentukan arah, sehingga saat itu dia shalat dengan landasan dugaan kuatnya saja bahwa ia sedang menghadap ke arah Ka'bah. Dia tidak harus mengulang shalatnya, jika kemudian diketahui bahwa arahnya itu keliru, walaupun dia telah melaksanakan shalat, baik hal itu diketahuinya sebelum ataupun setelah keluar waktu shalat. Dari Muadz bin Jabal ra., ia berkata:

“Kami shalat bersama Rasulullah Saw. pada hari yang sangat mendung dalam suatu perjalanan ke arah selain kiblat. Ketika Beliau Saw. selesai dari shalatnya dan bersalam, matahari kembali terang. Maka kami berkata: 'Wahai Rasulullah, kita shalat ke arah selain kiblat.” Beliau berkata: “Sungguh shalat kalian telah diangkat dengan hak pada Allah azza wa jaIIa.” (HR. Thabrani)

Yang lebih tegas dari itu adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., bahwa dia berkata:

“Pada satu malam yang sangat mendung kami melaksanakan shalat, dan arah kiblat tidak bisa kami temukan. Kami menetapkan satu tanda. Ketika kami selesai, kemudian kami memperhatikan ternyata kami telah shalat ke arah selain kiblat. Lalu kami ceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw., maka Beliau Saw. bersabda: “Kalian telah melakukan dengan baik.” Dan Beliau Saw. tidak memerintahkan kami mengulang shalat.” (HR. al-Baihaqi)

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah
(artikel blog ini tanpa tulisan arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam