Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 13 Mei 2017

Dalil Sutrah Untuk Shalat


Sutrah Bagi Orang Shalat

Yang kami maksud dengan sutrah adalah sesuatu yang diletakkan si mushalli di depannya. Bisa berupa tongkat, kayu, atau ina-in, dan sebagainya, yang dimaksudkan untuk membatasi tempat shalatnya, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa menyertainya dan memungkinkan baginya untuk bisa melaksanakan shalat dengan thuma'ninah tanpa dilewati oleh manusia atau hewan yang bisa memutuskan atau mengganggu shalatnya itu.

Menjadikan sesuatu sebagai sutrah di dalam shalat itu hukumnya sunat. Dari Sabrah bin Ma'had ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian melaksanakan shalat, maka hendaklah dia menetapkan sutrah untuk shalatnya, walaupun dengan satu anak panah.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)

Dari Ibnu Umar ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw., apabila keluar pada hari raya, Beliau memerintahkan (pada pelayannya) untuk membawa tombak, lalu diletakkan di depannya. Dan Beliau Saw. shalat ke arah (tombak) itu, sedangkan orang-orang berada di belakangnya. Beliau Saw. seringkali melakukan hal itu dalam perjalanan, kemudian dicontoh oleh para umara.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Umar:

“Bahwa Nabi Saw. shalat ke arah hewan tunggangannya (untanya).” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan ad-Darimi)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Sesungguhnya Nabi Saw. shalat ke arah untanya.”

Hadits ini merupakan penjelasan atas riwayat yang pertama.

Dari ketiga hadits ini bisa disimpulkan, bahwa Rasulullah Saw. menjadikan sesuatu sebagai sutrah, dan Beliau Saw. telah memerintahkan kaum Muslim untuk menetapkan sutrah. Karena itu, menjadikan sesuatu sebagai sutrah itu hukumnya sunat, bukan mubah. Hukum sutrah ini sunat, bukan wajib, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas:

“Bahwa Rasulullah Saw. shalat di tanah lapang, dan di depannya tidak ada sesuatupun.” (HR. Ahmad)

Lalu, di manakah si mushalli meletakkan sutrahnya?

Yang paling utama adalah meletakkan sutrah itu di depannya dengan sedikit bergeser ke kanan atau ke kiri, tidak boleh tepat di arah yang menjadi kiblatnya. Dari al-Miqdad bin al-Aswad ra., ia berkata:

“Aku tidak melihat Rasulullah Saw. shalat ke arah tiang, kayu atau pohon, kecuali menjadikannya berada di sebelah kanannya atau sebelah kirinya, dan Beliau tidak lurus mengarah ke situ.” (HR. Ahmad)

Disunahkan untuk berdiri di dekat sutrahnya, dan jangan menjauhkannya, sehingga terlalu lebar dari yang diperlukannya untuk bersujud. Sebab, sutrah itu diletakkan tidak lain dalam rangka menetapkan satu area tertentu sebagai tempat shalat. Oleh karena itu, tempat tersebut tidak perlu terlalu luas dan melebihi kadar yang dibutuhkannya. Dari Sahl bin Abi Hatsmah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap ke sutrah, maka hendaklah dia mendekat ke sutrah itu, agar setan tidak memutuskan shalatnya.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Jika salah seorang dari kalian shalat maka hendaklah dia shalat menghadap sutrah, dan mendekat ke sutrah itu, sehingga setan tidak akan memutuskan shalatnya.”

Setan di sini maksudnya adalah setiap yang lewat di depan si mushalli, bisa berupa manusia atau hewan yang lewat, tepat di tempat shalatnya. Penjelasan lebih gamblang akan kami paparkan nanti.

Tatkala berdiri tegak di area shalat, hendaknya jarak sutrah dari pijakan kedua kaki tidak lebih dari tiga hasta atau dua meter. Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata:

“Kemudian Beliau shalat -yakni Nabi Saw.- dan antara dirinya dengan dinding itu jauhnya sekitar tiga hasta.” (HR. an-Nasai)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Kemudian Beliau Saw. shalat, dan antara dirinya dengan kiblat itu sejauh tiga hasta.”

Seandainya dia menjadikan panjang area shalatnya itu setengahnya saja dari ukuran tadi, maka dia telah mendapatkan sunah juga. Dari Sahl bin Sa'ad as-Sa'idiy, ia berkata:

“Adalah jarak antara tempat shalat Rasulullah Saw. dan dinding itu, kira-kira cukup untuk berlalunya kambing.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ibnu Hibban)

Rasulullah Saw. telah menjadikan dinding itu sebagai sutrahnya, dan rentang area tempat shalat Beliau Saw. tidak lebih dari satu meter, yakni sekedar jarak yang diperlukan kambing untuk lewat.

Sutrah Imam

Jika sekelompok orang shalat secara berjamaah dan imam menjadikan sesuatu sebagai sutrahnya, maka sutrah itu berlaku untuk seluruh orang yang mengikutinya (para makmum), sehingga mereka tidak harus membuat sutrah selainnya. Apabila imam telah menjaga tempat shalatnya dan dia tidak membiarkan orang atau hewan melewati ruang yang ada di antara dirinya dengan sutrahnya, hal itu telah cukup bagi jamaah yang lainnya, sehingga mereka tidak perlu melakukan sesuatupun setelahnya. Dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya:

“Kami singgah bersama Rasulullah Saw. di jalan sebuah gunung di daerah Adzakhir (suatu tempat di antara dua tanah suci), kemudian tibalah waktunya shalat, Beliau Saw. shalat menghadap dinding. Lalu Beliau Saw. menjadikannya sebagai qiblat, sedangkan kami berada di belakangnya. Kemudian datang seekor binatang ternak dan lewat di depan Beliau Saw. Beliau Saw. terus menerus menahannya, hingga perutnya menempel di dinding dan hewan itu kemudian lewat di belakangnya, atau sebagaimana yang dikatakan Musaddad.” (HR. Abu Dawud)

Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa Nabi Saw. sedang shalat, lalu lewat seekor kambing di depannya. Beliau Saw. menahannya ke kiblat hingga Beliau Saw. menempelkan perutnya dengan kiblat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dengan sanad yang shahih)

Adzakhir adalah sebuah tempat yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Aku bersama Fadhl datang, sementara kami berdua berada di atas keledai. Rasulullah Saw. sedang shalat mengimami orang-orang di Arafah, lalu kami melewati sebagian shaf. Kami pun turun dan meninggalkan keledai itu merumput, lalu kami masuk dalam shaf. Rasulullah Saw. tidak mengatakan apapun kepadaku tentang hal itu.” (HR. Ahmad dan Bukhari)

Hadits yang pertama dan hadits yang kedua menunjukkan bahwa menolak sesuatu yang ada di depannya itu adalah wajib bagi imam ketika dia telah menjadikan sesuatu sebagai sutrah.

Sudah cukup jelas bahwa lewatnya sesuatu di belakang sutrah tidak menjadi masalah, baik bagi pihak yang lewat ataupun bagi si mushalli yang dilewati. Si mushalli tidak perlu melakukan tindakan apapun untuk menghalanginya. Jika lewat di belakang sutrah tetap menjadi masalah, maka tentu menjadikan sesuatu sebagai sutrah tidak diperlukan lagi. Dari Abu Juhaifah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. mengimami mereka shalat di Bath-ha, dan di depan Beliau Saw. ada ‘anazah. Beliau shalat dhuhur dua rakaat dan shalat ashar dua rakaat, kemudian lewatlah perempuan dan keledai di depan Beliau Saw.” (HR. Bukhari)

Anazah adalah tongkat yang di bagian ujungnya ada besi yang ditancapkan sebagai sutrah.

Sejumlah ahli fikih mengalami kesulitan memahami hadits Abi Juhaifah ini, mereka menyangka bahwa wanita dan himar itu lewat di antara Rasulullah Saw. dan sutrahnya. Mereka menyangka bahwa lewatnya wanita dan himar itu tepat di depan sutrahnya bukan di belakangnya, sehingga mereka menggunakan hadits ini sebagai dalil bahwa lewatnya wanita dan himar di depan orang yang shalat itu tidak memutuskan shalatnya. Yang benar adalah bahwa lewatnya wanita dan himar di dalam hadits ini terjadi di belakang sutrah, bukan di depannya. Bunyi redaksi dalam hadits ini: “kemudian lewatlah perempuan dan keledai di depan Beliau Saw.”, tidak selaras dengan pemahaman mereka, karena dengan melihat dilalah riwayat lain dari jalur Abu Juhaifah sendiri yang diriwayatkan Ibnu Hibban dan an-Nasai,

“Bahwa Rasulullah Saw. keluar dengan jubah yang berwarna merah, lalu sebuah tongkat berujung besi ditancapkan. Kemudian Beliau Saw. shalat ke arahnya, dan lewatlah anjing, perempuan dan himar di belakang tongkat itu.”

Dalam satu riwayat dari jalur yang sama, yang ditakhrij oleh Muslim dan Abu Dawud:

“Rasulullah Saw. keluar pada tengah hari ke Bath-ha, lalu Beliau Saw. berwudhu. Setelah itu Beliau Saw. shalat dhuhur dua rakaat dan shalat ashar dua rakaat, di depan Beliau Saw. ada tongkat berujung besi, dan di belakang tongkat itu kemudian lewatlah perempuan dan himar."

Maka kedua riwayat ini telah menjelaskan, bahwa lewatnya mereka itu terjadi di belakang sutrah, bukan di depan sutrah.

Menahan Orang yang Lewat Ketika Sutrah Telah Diletakkan

Jika si mushalli (orang yang shalat) itu belum memiliki sutrah, tidak wajib baginya untuk menahan sesuatu yang lewat di depannya. Juga tidak wajib baginya untuk menahan sesuatu, walaupun dia telah menetapkan sutrah, selama sesuatu itu lewat di belakang sutrahnya. lni berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Musa bin Thalhah dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan sesuatu di depannya, semisal palang kendaraan, maka hendaklah dia shalat, dan janganlah dia menghiraukan orang yang lewat di belakang palang itu.“ (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Mu'akhiratur rahli artinya kayu yang ada di ujung pelana, yang diletakkan di atas punggung unta agar bisa dinaiki dan dijadikan tempat bersandar oleh penunggangnya.

Apabila dia telah meletakkan sutrah, lalu ada seseorang yang lewat melanggarnya, maka wajib baginya untuk menahan orang tersebut walaupun harus sampai berkelahi dengannya. Abu Said al-Khudri ra. telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian shalat maka janganlah dia membiarkan sesuatu lewat di depannya, dan hendaklah dia menahannya sebisa mungkin. Jika (yang lewat itu) tidak mau, maka hendaklah dia melawannya, karena dia (yang lewat) itu adalah setan.” (HR. Muslim)

Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang digunakannya sebagai sutrah dari orang-orang, kemudian seseorang ini lewat di depannya, maka hendaklah dia menahannya. Jika orang itu enggan, maka hendaklah dia melawannya, karena sesungguhnya dia itu setan.”

Hadits yang kedua telah membatasi menahan orang yang lewat tersebut dengan diletakkannya sutrah. Konsekuensinya adalah bahwa lewatnya seseorang di depan sutrah itu diharamkan, baik lewatnya itu ketika si mushalli sedang shalat fardhu ataupun shalat nafilah, shalat jamaah ataupun shalat munfarid. Dari Abu Juhaim ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat itu mengetahui apa yang akan menimpanya, niscaya berhenti menunggu selama empat puluh itu lebih baik baginya daripada harus lewat di depannya. Abu an-Nadhr berkata: Aku tidak tahu apakah Rasulullah Saw. mengatakan empat puluh hari, bulan atau tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits ini terdapat dilalah yang kuat atas haramnya melewati orang shalat, dan dilalah kemutlakan shalat yang dilakukan tanpa adanya taqyid (pembatasan) apapun. Dari Yazid bin Nimran, ia berkata:

“Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang lumpuh di Tabuk, maka akupun menanyainya. Dia berkata: Aku lewat di depan Rasulullah Saw. di atas keledai, lalu beliau Saw. bersabda: “Dia telah memutuskan shalat kami, semoga Allah Swt. memutuskan jejaknya, maka akupun menjadi lumpuh.” (HR. Ahmad)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dari jalur Said bin Ghazwan dari ayahnya dengan redaksi kalimat yang sedikit berbeda. Seandainya lewatnya lelaki ini -dan dia berada di atas himarnya di depan Rasulullah Saw. ketika Beliau Saw. sedang shalat itu bukan perbuatan yang diharamkan, tidak mungkin Rasulullah Saw. mendoakannya dengan doa yang sangat keras, yang menjadikannya bisa lumpuh seperti itu.

Lain lagi di Masjidil Haram. Lewat di depan orang-orang yang sedang shalat di sana diperbolehkan. Seorang Muslim di sana bisa shalat menghadap ke Ka'bah, dan orang-orang yang berthawaf bisa lewat di depannya, baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, tanpa menjadi dosa bagi orang yang berthawaf dan juga tanpa menjadi dosa bagi orang yang shalat karena tidak menahannya. Allah Swt. niscaya lebih mengasihi hamba-Nya dengan tidak menyulitkan kaum Muslim dalam melaksanakan ibadah-ibadah mereka di Baitul Haram karena campur-baurnya mereka dan sangat berdesakannya manusia di sana. Seandainya tidak begitu, niscaya orang-orang sulit untuk shalat di tengah-tengah Masjidil Haram, di mana orang-orang yang berthawaf di seputar Ka'bah terus-menerus berthawaf tanpa putus sepanjang siang dan malam. Dari Katsir bin Katsir dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. berthawaf di Baitullah sebanyak tujuh putaran, kemudian Beliau shalat dua rakaat dengan bersepatu di pinggir maqam, dan tidak ada seorangpun (yang menjadi sutrah) antara Beliau dengan orang-orang yang berthawaf." (HR. an-Nasai, Ibnu Hibban dan at-Thahawi)

Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dan berkata: “Ini khusus di Makkah saja”, dan Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam kitab Tarikh-nya dengan lafadz: “Aku melihat Nabi Saw. shalat di pinggirnya ( yakni pada akhir thawafnya), dan orang-orang lewat di depan Beliau Saw." Abdurrazaq meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Aku melihat Nabi Saw. shalat di Masjidil Haram, dan orang-orang berthawaf di Baitullah di antara Beliau Saw. dengan kiblat, di depan Beliau Saw., dan tidak ada sutrah antara Beliau Saw. dengan mereka."

Dilalah hadits dalam hal ini begitu jelas.

Sesuatu yang Lewat yang Bisa Memutuskan Shalat

Yang bisa memutuskan shalat adalah lewatnya seorang wanita yang telah haid, anjing hitam, dan keledai, di depan si mushalli, jika dia tidak menjadikan sesuatu sebagai sutrahnya; atau telah menjadikan sesuatu sebagai sutrah dan lewatnya orang tersebut di antara si mushalli dengan sutrahnya. Kami katakan wanita yang haid, untuk membedakannya dengan anak perempuan yang masih kecil yang belum baligh, karena bagaimanapun juga anak perempuan yang masih kecil tidak akan memutuskan shalat. Kami tidak bermaksud menyebutkan wanita yang haid itu adalah wanita yang sedang haid ketika dia lewat di depan si mushalli sebagaimana hal itu dipersangkakan oleh sebagian ahli fikih. Dan kami katakan anjing hitam untuk membedakannya dari anjing-anjing yang berwarna lainnya, sehingga anjing yang putih, merah, atau kuning tidak memutuskan shalat. Sedangkan keledai, bisa memutuskan shalat secara umum, baik keledai jantan ataupun betina. Dari Abu Dzar ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat, maka dia dipandang telah membuat sutrah, apabila di depannya ada sesuatu seperti palang kendaraan. Jika di depannya tidak ada palang kendaraan, maka shalatnya bisa diputuskan oleh keledai, wanita dan anjing hitam.” Aku berkata, “Wahai Abu Dzar, mengapa anjing hitam dibedakan dari anjing merah atau kuning?” Dia berkata: “Wahai anak saudaraku, aku bertanya kepada Rasulullah Saw. sebagaimana engkau tanyakan itu kepadaku, maka Beliau Saw. berkata: “Anjing hitam itu adalah setan.” (HR. Muslim)

Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan sedikit perbedaan redaksi. Ucapan “akhiratur rahli” atau dalam beberapa riwayat yang lain “mu'akhiratur rahli” maksudnya adalah kayu yang ada di ujung pelana yang diletakkan di atas punggung unta agar bisa dinaiki dan dijadikan tempat bersandar oleh penunggangnya. Dan ucapannya: “anjing hitam itu adalah setan” bukan berarti bahwa anjing hitam itu berasal dari bangsa jin. Sebenarnya, anjing hitam itu disifati dengan keburukan, sebagaimana setan yang memiliki sifat buruk. Dalam sebuah hadits telah disebutkan bahwa setan itu memiliki karakter suka berbuat buruk, sehingga anjing tersebut bukan berarti berasal dari kalangan setan dengan sebenarnya. Dari Abu Said al-Khudri ia berkata:

“Ketika kami berjalan bersama Rasulullah Saw. di ‘Arj, sekonyong-konyong datang seorang penyair menyenandungkan syairnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Tahanlah setan, tahanlah setan. Sungguh perut seseorang jika dipenuhi dengan nanah itu lebih baik baginya daripada dipenuhi dengan syair.” (HR. Muslim dan Ahmad)

‘Arj adalah sebuah desa yang berjarak sekitar tujuh puluh delapan mil dari Madinah.

Itulah nash yang diriwayatkan Muslim dan selainnya dari jalur Abu Dzar, yang memberi pengertian bahwa lewatnya ketiga hal tadi di depan si mushalli yang tidak membuat sutrah bisa memutuskan shalatnya. Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi Saw., Beliau bersabda:

“Adalah bisa memutuskan shalat: wanita yang telah haid dan anjing.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Adalah bisa memutuskan shalat: anjing hitam dan wanita yang telah haid.”

Hadits ini secara qath'iy telah menyebutkan secara khusus wanita yang telah haid saja, sehingga wanita yang belum haid alias anak perempuan yang masih kecil tidak termasuk ke dalamnya. Dari Musa bin Thalhah dari ayahnya, ia berkata:

“Adalah kami sedang shalat dan hewan-hewan tunggangan lewat di depan kami, lalu kami menceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Maka Beliau berkata: “Seperti palang kendaraan, misalnya, hendaknya ditempatkan di depan salah seorang dari kalian, sehingga sesuatu yang lewat di depannya tidak akan mengganggunya.” Ibnu Numair berkata: Orang yang lewat di depannya tidak akan mengganggunya.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Pemahaman yang bisa diambil dari hadits di atas adalah bahwa yang lewat di depan sutrah dari ketiga jenis yang disebutkan dalam hadits itu bisa memutuskan shalat. Namun, jika lewat di belakang sutrah, hal itu tidak akan memutuskan shalat.

Realita diputuskannya shalat oleh ketiga jenis ini, para ahli fikih telah berbeda pendapat dalam menentukan pengertian terputusnya shalat itu. Di antara mereka ada yang menafsirkan terputusnya shalat itu sebagai batalnya shalat dan wajibnya mengulang shalat itu; sebagian yang lain menafsirkan terputusnya shalat itu sebagai timbulnya kekurangan dalam shalat tanpa membatalkannya, dan mereka inilah yang memiliki pendapat yang lebih kuat (rajih). Bahasa Arab memiliki makna yang pertama, juga memiliki makna yang kedua. Allah Swt. berfirman:

“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya." (TQS. Yusuf [12]: 31)

Kata qaththa’na dalam ayat ini tidak diartikan sebagai 'memotong', tetapi diartikan 'melukai' saja.

Al-Qath ’u juga bisa memiliki arti memotong, sebagaimana disebutkan dalam ayat:

“Potonglah tangan keduanya.” (TQS. al-Maidah [5]: 38)

Bisa juga memiliki arti mengakibatkan berkurangnya sesuatu atau luka, yaitu seperti pada:

“Mereka melukai (jari) tangannya." (TQS. Yusuf [12]: 31)

Berarti, harus ada indikasi (qarinah) yang menetapkan mana di antara dua arti ini (yang bisa digunakan) untuk memahami putusnya shalat dengan sebab lewatnya tiga hal di atas.

Saya telah menyebutkan satu hadits yang diriwayatkan Yazid bin Nimran dalam pembahasan “menahan orang yang lewat ketika sutrah sudah ditetapkan”, yang menjadi qarinah bahwa “memutuskan shalat' di sini bermakna ‘mengurangi’ saja, bukan ‘membatalkan’, yaitu ucapan Rasulullah Saw.: “dia telah memutuskan shalat kami, semoga Allah Swt. memutuskan jejaknya." Dalam hadits ini Rasulullah Saw. tidak menyertakan ucapannya dengan perintah mengulang shalat yang diputus itu kepada para sahabatnya, sehingga, tidak adanya perintah untuk mengulang shalat di dalam hadits ini menjadi petunjuk bahwa “memutuskan shalat” itu berarti “mengurangi atau mengakibatkan timbulnya kekurangan.” Jika artinya membatalkan, niscaya Nabi Saw. telah memerintahkan para sahabatnya untuk mengulang shalatnya. Ketika tidak ada perintah untuk mengulang, maka hal itu sudah jelas. Dengan demikian, yang dimaksud “memutuskan shalat” di sini adalah ‘mengurangi’ saja.

Hadits ini layak menjadi qarinah untuk mengalihkan kata al-qath'u dari makna ”memotong” pada makna ”mengurangi”. Dan makna inilah yang dipahami oleh para sahabat ra. ketika memaknai kata “al-qath’u” yang disebutkan di dalam hadits-hadits di atas. Telah diriwayatkan bahwa Umar ra. berkata: “Seandainya si mushalli mengetahui bagaimana berkurangnya shalat yang dilakukannya akibat lewatnya sesuatu di depannya, niscaya dia tidak akan shalat kecuali dengan menghadap sesuatu yang dijadikannya sebagai sutrah (penghalang) dari orang-orang.” (HR. Abu Na'im)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata: “Sesungguhnya lewatnya sesuatu di depan orang yang shalat telah mengurangi setengah dari shalatnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Shalat Ke Arah Orang yang Sedang Tidur atau Binatang Ternak

Di arah kiblat mushalli boleh saja ada orang yang tidur, baik laki-laki ataupun perempuan, atau hewan tunggangan, tetapi si mushalli tidak boleh menjadikannya sebagai sutrah untuk shalatnya itu. Pernyataan ini tidak bertentangan dengan pernyataan tentang keharaman lewatnya seorang wanita dan wanita tersebut bisa memutuskan shalat, begitu juga keharaman lewatnya seorang laki-laki. Sebab, yang diharamkan itu adalah lewatnya laki-laki atau perempuan tadi. Namun, jika keduanya tidur di hadapan si mushalli dan keduanya melintang di arah kiblat, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, ini merupakan perkara yang berbeda. Ibnu Umar ra. telah meriwayatkan dari Nabi Saw.:
“Bahwasanya Nabi Saw. melintangkan untanya, dan beliau Saw. shalat ke arahnya...” (HR. Bukhari)

Dari Aisyah, istri Nabi Saw., ia berkata:

“Sungguh, pada satu malam Rasulullah Saw. melakukan shalat, dan aku melintang di antara Beliau dengan kiblat, di atas alas tidur keluarganya.” (HR. Bukhari)

Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Dan sungguh, aku melihat Rasulullah Saw. shalat, sementara aku berada di atas tempat tidur, berbaring melintang di antara Beliau dan kiblat. Kemudian aku berhajat sesuatu, dan aku enggan untuk duduk. Aku sedikit menyusahkan Rasulullah Saw., lalu aku menyelinap di antara dua kakinya.” (HR. Muslim)

Dalam dua riwayat yang shahih ini diceritakan bahwa Aisyah tidur melintang, dan Rasulullah Saw. shalat ke arahnya. Ini menunjukkan bolehnya hal itu. Tentu saja kejadiannya berlainan dengan lewatnya seorang wanita yang telah disebutkan keharamannya, dan lewatnya wanita tersebut bisa memutuskan shalat.

Lewatnya seorang wanita di depan si mushalli bisa memutuskan shalatnya. Akan tetapi, shalatnya ke arah si wanita dalam keadaan tidur atau berbaring, maka hal itu boleh-boleh saja. Kiranya jelas, bahwa shalat menghadap ke arah wanita yang tertidur, hal itu terjadi ketika wanita tersebut termasuk salah seorang mahram, bukan wanita asing, karena jika tidak demikian, tentu bisa menimbulkan fitnah dan menyibukkan hati si mushalli, Kedua hal ini (yakni timbulnya fitnah dan tersibukkannya hati) telah jelas larangannya.

Sekarang tinggal masalah berdirinya si mushalli, yang melakukan shalat di atas sajadah kecil yang berukuran sesuai dengan yang diperlukan orang shalat untuk melakukan shalatnya, yang diberi nama sajadah shalat. Sajadah seperti ini telah dikenal dalam tradisi, di mana si mushalli berdiri di salah satu ujungnya dan bersujud di ujung yang lainnya. Karena itu, saya melihat bahwa orang yang shalat di atas sajadah tidak perlu lagi menjadikan sesuatu sebagai sutrah dalam shalatnya. Ujung sajadah tempat dia bersujud merupakan ujung tempat sujudnya, dan tidak menjadi masalah jika ada yang lewat, baik orang ataupun hewan di belakang sajadahnya. Jadi, sajadahnya berposisi sebagai tempat shalat yang memiliki sutrah, sehingga orang-orang diharamkan untuk lewat di atas sajadahnya. Bila hal itu terjadi, berarti mereka telah lewat di antara mushalli dengan sutrahnya. Namun, jika mereka lewat di luar ujung sajadah, maka tidak menjadi masalah, baik bagi orang yang lewat ataupun bagi si mushalli, sehingga orang yang lewat tidak berdosa, dan si mushalli pun tidak perlu menahannya.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah
(artikel blog ini tanpa tulisan arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam