Sebagian besar sejarawan Barat menuduh, bahwa
tentara AI Inkisyariyah ini berasal dari anak-anak orang Nasrani yang dirampas
dari keluarganya dan dipaksa untuk memeluk Islam, sesuai ketentuan yang
-menurut mereka tertera dalam aturan Dafsyariyah. Mereka juga menuduh, bahwa
aturan itu diadopsi dari kewajiban membayar khumus dalam Islam. Mereka
menyangka, dengan aturan itu kaum muslimin Utsmani diperbolehkan mengambil
seperlima dari jumlah anak-anak orang Nasrani di setiap kota atau desa, sebagai
pembayaran upeti. Mereka menyebut hal itu sebagai “upeti anak"; disamakan
dengan ketentuan khumus (1/5) hasil rampasan perang yang harus diserahkan
kepada Baitul Mal. Di antara sejarawan Barat yang berpendapat demikian antara
lain Karl Brocklman, Gibbon dan Gibb. (Jawanib Mudhi'ah, hlm. 122.)
Apa yang dikatakan para sejarawan itu, pada
hakikatnya hanyalah kebohongan besar yang dimasukkan untuk mengotori kemuliaan
sejarah Sultan Orkhan bin Utsman dan Sultan Murad bin Orkhan. Kebohongan
tersebut terus mereka lekatkan terhadap seluruh penguasa Khilafah Utsmani
setelah mereka. Padahal, sistem rekrutmen itu muncul dari kepedulian
pemerintahan Utsmani kepada anak-anak kaum Nasrani yang terlantar dan yatim, di
mana mereka menjadi korban peperangan yang berlangsung terus-menerus. Islam
yang menjadi agama para penguasa Utsmani, jelas-jelas tidak membenarkan adanya
"upeti anak” seperti yang dituduhkan para sejarawan non-Muslim asal Barat
tersebut.
Demikian banyak anak-anak yang kehilangan
ayah dan ibunya, akibat perang. Para penguasa Utsmani terdorong untuk
memelihara mereka yang terlantar di jalanan kota-kota yang yang telah
ditaklukkan itu. Ini dilakukan oleh penguasa Utsmani untuk menjamin masa depan
mereka. Lalu adakah jaminan seperti itu dalam agama-agama lain? Maka tatkala
kaum muslimin memberi kepedulian yang besar, lalu anak-anak terlantar itu
kemudian masuk Islam atas kesadaran mereka; apakah kenyataan itu layak disebut,
bahwa kaum muslimin sudah merampas anak-anak itu dari orangtuanya, dan memaksa
mereka masuk Islam?
Ironisnya, tuduhan penuh kedengkian,
provokasi, dan kebohongan besar itu, justru ditelan begitu saja oleh beberapa
sejarawan muslim yang belajar di universitas-universitas Barat. Bahkan, mereka
menetapkan bahwa propaganda dusta itu merupakan kebenaran yang pantas diterima.
Beberapa sejarawan muslim telah terpengaruh kebohongan sejarawan Barat itu.
Tidak jarang mereka termasuk penulis muslim yang memiliki ghirah keislaman
tinggi. Sayangnya, mereka terus mengulang-ulang kebohongan sejarawan Barat
dalam buku-bukunya. Misalnya tulisan seorang sejarawan sekaligus advokat,
Muhammad Farid Baek dalam buku Ad Daulatil 'Aliyah Al-Utsmaniyyah, juga Dr. Ali
Hasun dalam bukunya Tarikhud Daulatil Utsmaniyah, atau sejarawan Muhammad Kurd
dalam bukunya Khithathus Syam, juga Dr. Umar Abdul Aziz dalam bukunya
Muhadharat fi Tarikhis Syu'ubil Islamiyah serta Dr. Abdul Karim Gharibah dalam
bukunya Al Arab Wal Atrak.
Realitas mengatakan, bahwa apa yang mereka
sebut sebagai “upeti anak" atau bahwa anak-anak itu katanya dirampas secara
paksa dari tengah-tengah keluarga mereka, semua itu tidak memiliki dalil apapun
kecuali apa yang ada di dalam buku-buku orientalis, seperti Gibb, sejarawan
Nasrani Soumuvile, atau Brocklman. Sedangkan mereka tidak bisa dijadikan
sandaran dalam penulisan sejarah Islam, sebab tidak memiliki niat ikhlas dalam
mengkaji sejarah Islam.
Sesungguhnya orang-orang yang terdidik secara
khusus untuk berjihad, bukanlah orang-orang Nasrani. Mereka tak lain adalah
anak-anak kaum muslimin yang telah melepaskan diri dari agama Nasrani dan
mendapat hidayah untuk masuk Islam. Mereka melakukannya dengan kesadaran yang
muncul dari dalam hati sendiri dan bukan karena dipaksa. Anak-anak itu oleh
orangtuanya diserahkan kepada Sultan untuk dididik dengan pendidikan Islam yang
baik. Sedangkan sisanya, adalah anak-anak yatim dan terlantar korban
peperangan, yang kemudian dipelihara dengan baik oleh pemerintahan Utsmani.
Sesungguhnya hakikat dari pembentukan tentara
baru oleh Orkhan bin Utsman, tak lain merupakan pembentukan struktur angkatan
militer yang terorganisir, yang selalu siaga baik dalam kondisi perang maupun
aman. Maka dia membentuk pasukan kavaleri dari keluarganya dan para mujahid
siap tempur yang selalu bergelora untuk menyambut seruan jihad; sebagaimana dia
juga telah mengangkat pasukan dari kalangan orang-orang Romawi yang telah
menjadi muslim dan cukup baik kualitas keislamannya.
Belum usai membentuk organisasi militer,
Orkhan segera menemui seorang ulama yang takwa yaitu Haji Baktasy. Orkhan
meminta doa kepadanya, agar Allah Swt. senantiasa melimpahkan kebaikan kepada
pasukannya. Haji Baktasy melihat pasukan dengan penuh antusias, lalu meletakkan
tangannya di atas kepala seorang tentara, kemudian berdoa kepada Allah agar
mukanya menjadi bersih bersinar dan menjadikan pedangnya demikian tajam dan
semoga Allah memenangkan mereka dalam setiap kali peperangan. Kemudian dia
melihat pada Orkhan dan bertanya, “Sudahkan kau beri nama tentara ini?”
Orkhan menjawab, "Belum!"
Haji Baktasy pun berkata, “jika belum, namailah
Yani Tasyri yang berarti tentara baru'.”
Bendera pasukan saat itu, berwarna merah
dengan bulan sabit di tengahnya; di bawah bulan sabit, terdapat gambar pedang
yang mereka sebut Dzul Fiqar, yaitu nama untuk pedang legendaris Ali bin Abi
Thalib. (Jawanib Mudhi'ah, hlm. 147.) Alauddin bin Utsman, saudara Orkhan
adalah orang yang memiliki ide itu. Dia dikenal sebagai seorang alim dalam
bidang Syariah, selain terkenal sebagai sosok zuhud. (Jawanib Mudhi'ah,144.)
Orkhan terus berusaha menambah jumlah pasukan
barunya, setelah gerakan jihad semakin meluas dalam rangka menaklukkan kerajaan
Byzantium. Oleh karena itu, dia memilih beberapa pasukan anak muda yang berasal
dari Turki, dan sebagian yang lain dari kalangan Byzantium yang telah masuk
Islam dan memiliki komitmen tinggi dalam Islam. Mereka digabungkan dalam
pasukan Islam sehingga jumlah mereka semakin besar, sehingga terbentuklah
pasukan dalam jumlah ribuan mujahidin Islam.
Orkhan dan Alauddin sepakat, bahwa tujuan
utama pembentukan tentara baru itu adalah untuk melanjutkan jihad di jalan
Allah, melawan orang-orang (militer) Byzantium, menaklukkan wilayah-wilayah
mereka, menyebarkan agama Islam dan mengambil faidah dari masuknya orang-orang
Byzantium ke dalam Islam.
Ringkasnya, Sultan Orkhan sama sekali tidak
pernah merampas anak-anak orang Nasrani dari rumah bapak mereka. Dia tidak
pernah memaksa seorang anak atau remaja Nasrani pun untuk memeluk Islam. Apa
yang dituduhkan Brockleman, Gibb, atau Gibbon hanyalah kebohongan yang nyata.
Oleh sebab itulah pengaruhnya harus dihapuskan dan dihilangkan dari buku-buku
sejarah Islam kita. (Jawanib Mudhi'ah,155.)
Referensi: Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof.
Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar