Berpolitik: Wajib Islami!
Politik Islam adalah pengaturan urusan umat dengan aturan Islam,
mencakup urusan di dalam negeri maupun di luar negeri. Aktivitas politik
diselenggarakan oleh negara dan rakyat. Negara merupakan institusi yang secara
langsung melakukan pengaturan urusan rakyat. Sedangkan rakyat berfungsi
melakukan kontrol terhadap negara. Definisi ini berlaku umum karena diambil
berdasarkan fakta politik dan ditinjau dari sisi politik itu sendiri. Definisi
politik, seperti halnya definisi tentang kejujuran, kekuasaan, masyarakat dan
lain-lain adalah realitas empiris yang wujudnya ada di tengah-tengah kehidupan
manusia. Maka pendefinisian terhadap suatu fakta yang dapat dirasakan dan
dilihat oleh setiap manusia adalah gambaran obyektif tentang fakta itu sendiri.
Politik secara etimologis berasal dari kata; saasa yasuusu siyaasah, yang bermakna ri'ayah syu`uun al-ummah (pengaturan urusan
rakyat). Di dalam kamus aI-Muhith
disebut, “Sustu al-ra’iyah siyaasah” (saya mengatur urusan rakyat dengan sebuah peraturan),
pengertiannya adalah “saya memerintah dan melarang rakyat dengan suatu aturan.”
Ini mencerminkan pengaturan urusan rakyat dengan bentuk perintah dan larangan.
Definisi tadi juga digali dari berbagai hadits yang mendeskripsikan tentang
aktivitas para khalifah dan jajarannya, kontrol terhadap mereka, serta
kepedulian terhadap kemashlahatan kaum muslimin. Sabda Rasulullah Saw.
(artinya): “Tidaklah seorang hamba yang Allah
telah menyerahkan kepadanya urusan kaum muslimin, kemudian ia tidak mengaturnya
dengan nasihat kecuali tidak akan mencium bau Surga.”
"tidaklah seorang wali (penguasa/gubernur)
yang memerintah kaum muslimin, kemudian ia mati, sedangkan ia mengabaikan
urusan kaum muslimin, kecuali Allah mengharamkan kepadanya Surga.”
Jadi definisi politik yang berarti pengaturan urusan rakyat
sebenarnya hasil penggalian dari berbagai hadits, baik yang berhubungan dengan
pengaturan pemerintahan Islam oleh penguasa, kontrol rakyat terhadap penguasa,
kepedulian kaum muslimin terhadap kemashlahatan umat, serta hadits yang
berhubungan dengan kewajiban untuk memberikan nasihat kepada kaum muslimin.
Oleh karena itu definisi politik adalah definisi syar'iy
yang digali dari dalil-dalil syara'.
Dalil-dalil syara' tadi menunjukkan bahwa politik adalah unsur
terpenting dalam Islam. Peduli dan sibuk dengan aktivitas politik baik yang
berhubungan dengan politik internasional (luar negeri) dan lokal (dalam negeri)
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Sibuk dengan aktivitas politik luar dan
dalam negeri hukumnya fardhu seperti halnya aktivitas jihad. Sebab, pengaturan
urusan umat Islam harus diselenggarakan oleh negara Islam dengan hanya merujuk
pada hukum-hukum dan solusi Islam. Allah SWT berfirman (artinya): “Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. Al-Maidah: 48).
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya} tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima (hukum Islam) dengan
sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa‘: 65).
Ayat-ayat dan hadits-hadits lain menunjukkan secara gasti tentang
kewajiban negara Islam untuk melakukan pengaturan urusan umat Islam dan untuk
mengatur interaksi-interaksi mereka atas dasar Islam.
Umat Islam adalah institusi yang berfungsi melakukan kontrol
terhadap negara Islam dalam melakukan pengaturan urusan rakyatnya. Kontrol
politik terhadap negara Islam merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Nash-nash
syara' telah menjelaskan hal ini. Kepedulian kaum muslimin terhadap politik dan
kewajibannya untuk melakukan aktivitas politik sudah dimulai sejak pertama kali
diutusnya Rasulullah Saw., yaitu pada saat beliau Saw. mulai membentuk partai
politik Islam (berupaya mewujudkan ideologi Islam) di kota Mekah. Lalu beliau
tampil bersama-sama dengan kelompoknya (yaitu para sahabat) menyerang sistem
pemerintahan jahiliyyah. Beliau menghujat dan menyerang penguasa-penguasa kota
Mekah dengan serangan politik yang amat keras. Dilihat dari sisi Shira' al-fikri (serangan pemikiran) terhadap
aqidah kufur di Mekah, kaum muslimin yang ada di Mekah saat itu telah
mencurahkan kemampuan maksimalnya untuk merubah sistem yang rusak itu.
Diturunkannya ayat-ayat yang yang menjelaskan konstelasi politik Romawi dan
Persia dalam periode Makkiyah menunjukkan dengan jelas kepedulian kaum muslimin
terhadap politik, serta wajibnya kaum muslimin peduli dengan politik
internasional dan hubungan antar negara. Allah SWT berfirman (artinya):
“Alif Laam Miim. Telah dikalahkan
bangsa Romawi di negeri yang terdekat. dan mereka sesudah dikalahkan itu akan
menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah
(mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah
orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang
dikehendaki-Nya Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS.
ar-Ruum: 1-5).
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Syihab, berkata. “Kami mendapatkan kaum musyrikin tengah berdebat
dengan kamu muslimin. Saat itu mereka masih berada di Makah sebelum Rasulullah
melakukan hijrah. Orang-orang musyrik berkata, “Romawi telah menyatakan dirinya
sebagai ahlul kitab, dan sungguh mereka telah dikalahkan oleh Majusi (Persia).
Sedangkan kalian yakin bahwa kalian akan mengalahkan keduanya dengan kitab yang
diturunkan kepada Nabi kalian. Bagaimana kalian dapat mengalahkan Rowawi dan
Majusi. Kemudian Allah SWT menurunkan “Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa
Romawi [QS. Ar-Ruum: 1-2].
Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin di kota Makah, sebelum
berdirinya Daulah Islamiyah telah berdiskusi dengan orang kafir tentang politik
internasional serta hubungan-hubungan internasional. Diriwayatkan bahwa Abu
Bakar ra. bertaruh dengan orang-orang musyrikin bahwa kelak Romawi akan
dikalahkan. Beliau mengabarkan hal itu kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw.
menyetujui bahkan memerintahkan Abu Bakar untuk memberitahukan waktunya (kepada
orang musyrik). Berdasarkan kenyataan ini, umat tidak akan mampu memikul dakwah
Islam kepada bangsa lain atau untuk mencegah makar mereka kepada kita jika umat
tidak memahami politik internasional dan kondisi politik di negeri-negeri
Muslim. Oleh karena itu, memahami politik internasional dan kondisi politik
negeri-negeri Muslim hukumnya fardhu kifayah bagi kaum muslimin. Ini beralasan
karena mengemban dakwah dan melenyapkan makar musuh kaum muslimin merupakan
kewajiban yang harus ditegakkan. Dan keinginan ini tidak akan mungkin terwujud
tanpa memahami politik internasional. Terdapat kaedah syara: “Tidak sempurnanya suatu kewajiban tanpa sesuatu maka
sesuatu itu menjadi wajib.”
Dengan demikian sibuk dengan politik internasional hukumnya fardhu
atas kaum muslimin. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata: “Ketika umat Islam diperintahkan untuk mengemban
dakwah Islam kepada seluruh manusia maka kaum muslimin wajib mengetahui
problematika global, memahami karakter-karakter negara dan rakyatnya, terus
memantau aktivitas-aktivitas politik yang sedang terjadi di dunia, serta
memahami uslub serta hal-hal yang berhubungan dengan garis-garis besar politik
suatu negara. Oleh karena itu kaum muslimin wajib memahami konstelasi politik
internasional dan konstelasi politik dunia Islam agar mereka mampu
mempertahankan eksistensi negara (Islam)nya di tengah-tengah hiruk pikuknya
kondisi politik internasional, yang memungkinkan mereka mengemban dakwah Islam
melalui jihad [penaklukan]. Umat juga harus memahami aktivitas-aktivitas
politik dan manuver-manuver yang terencana sebelum dilakukan jihad. lni
merupakan fardhu kifayah bagi kaum muslimin, seperti halnya jihad. Jika tidak
ada sebagian dari kaum muslimin sejumlah orang yang sibuk dengan politik
internasional dan politik lokal, padahal melaksanakan hal itu termasuk kewajiban,
maka berdosalah seluruh kaum muslimin. lni jika dinisbahkan kepada politik
internasional”.
PEDULI
TERHADAP POLITIK DALAM NEGERI
Jika perkara ini dinisbahkan kepada politik dalam negeri, maka
sibuk dengan urusan kaum muslimin, dan peduli terhadap kondisi kaum muslimin
-dilihat dari sisi pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah Islam terhadap
urusan kaum muslimin- merupakan perkara yang telah diwajibkan Allah dan
melarang kaum muslimin untuk meninggalkannya. Rasulullah Saw. menekankan
pentingnya kepedulian terhadap urusan kaum muslimin.
Rasulullah Saw. juga menekankan pentingnya melakukan kontrol
terhadap penguasa Daulah Islam di dalam mengurusi urusan kaum muslimin dan
kepedulian mereka terhadap urusan rakyat. Rasulullah Saw. memberikan predikat
kapada seseorang yang menyampaikan kalimat haq (Islam) di hadapan penguasa yang
dzalim sebagai jihad yang paling utama. Kalimat haq merupakan refleksi dari
kepedulian terhadap urusan kaum muslimin. Dalam hadits dinyatakan (artinya): “Barangsiapa menyaksikan penguasa yang dzalim yang
suka melanggar perintah Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah, serta
bergelimang dengan dosa dan kelaliman, tidak merubahnya dengan perkataan atau perbuatan, maka Allah pasti memasukkannya kepada golongan
mereka [penguasa dzalim itu].” (HR. Thabrani)
Ta'biir (pengertian) dari perkataan dan perbuatan di sini adalah
peduli dengan politik dalam negeri.
Dengan demikian jelas bahwa politik merupakan fardhu kifayah atas
kaum muslimin. Jika seorang penguasa tetap dalam kefasikan, kekufuran, dan
kedzalimannya, maka koreksi terhadap penguasa tersebut menjadi fardhu 'ain atas
kaum muslimin. Seluruh kaum muslimin berdosa bila membiarkan tingkah laku
penguasa semacam itu.
Tatkala kaum muslimin menjauhi politik dan aktivitas politik untuk
melawan penyelewengan dan penyimpangan para penguasanya, maka pada saat itu
penguasa akan tetap leluasa mempermainkan rakyat. Ini adalah akibat umat
berpaling dari aktivitas politik melawan para penguasa, umat tidak lagi peduli
terhadap sepak terjang penguasa-penguasa mereka. Dengan bantuan dan makar jahat
negara-negara kafir mulailah penguasa-penguasa itu merobohkan negara mereka
sendiri, yakni Daulah Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924, mengerat-ngeratnya
menjadi lebih dari 50 negara, dilanjutkan dengan mengeksploitasi negeri-negeri
mereka, lalu menyembelih dan merobek kehormatan kaum muslimin.
Puncaknya mereka berhasil menikam jantung kaum muslimin, dengan
mendirikan kantor perwakilan Yahudi -yang merupakan sehina-hinanya makhluk
Allah- di Wilayah Syam; Mereka berhasil menjajakan sistem politik kufur di
daerah Yordania melalui penguasa-penguasa yang bertuankan Yahudi dan
negara-negara Barat kafir. Bagaimana tidak! Sejak diruntuhkannya Khilafah dan
diterapkannya sistem politik kufur di negeri-negeri Muslim, keberadaan Islam
sebagai institusi politik telah berakhir. Kedudukannya digantikan oleh
pemikiran-pemikiran politik barat yang terpancar dari ideologi Kapitalisme,
yaitu sekulerisme.
Umat harus memahami bahwa pengaturan urusan mereka dengan sistem
Islam tidak akan pernah terwujud tanpa keberadaan Daulah Khilafah. Pemisahan Islam dari kehidupan
dan dari negara adalah liang lahat bagi Islam, sistem dan aturannya; serta
menjadi penghancur umat, nilai-nilai, peradaban dan risalah Islam.
Negara Kapitalis mengadopsi ideologi sekulerisme, dan berupaya
untuk menyebarkan dan menerapkan ideologi tersebut kepada umat Islam. Mereka
juga berusaha menyesatkan umat dan mendeskripsikan kepada umat bahwa politik
dan agama tidak akan mungkin bertemu. Politik dianggap Waqi`iyyah (tunduk
dengan fakta), menerima fakta dan tidak mungkin merubah fakta. Akhirnya umat
tetap berada di bawah dominasi sistem bukan-Islam dan tunduk kepada negara
dzalim dan taghut.
Lebih tragis lagi umat tidak lagi mengetahui jalan menuju
kebangkitan. Semua ini disebabkan karena kaum muslimin menjauhi urusan dakwah
politis ideologis. Padahal umat harus menyadari konspirasi negara-negara kafir
dan para penguasa yang menjadi kaki tangan negara-negara Barat dalam rangka
memerangi harakah-harakah kaum muslimin yang menghantam pemikiran-pemikiran
kufur, berupaya menegakkan
Daulah Khilafah serta mengembalikan kejayaan Islam.
Umat Islam yang meyakini aqidah Islam sebagai sebuah pemikiran
yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, Islam sebagai
aqidah siyasah (aqidah politis), qa'idah fikriyyah, qiyadah fikriyyah
(kepemimpinan ideologis), memiliki sudut pandang yang khas, harus memandang
dunia secara holistik. Meskipun pada saat yang sama, dunia tengah berada di
bawah dominasi politik dan ekonomi dzalim, tunduk kepada kekuatan lalim,
mengerang-erang di bawah penderitaan, perbudakan, dan kehinaan. Oleh karena itu
umat harus mampu membebaskan dunia dan mengentaskannya dari kesesatan dan
penyesatan menuju petunjuk, cahaya Islam, dan kebahagiaan hakiki.
Jadi wajibnya memperhatikan politik dan pengaturannya harus selalu
dikaitkan dengan seluruh perkara utama kaum muslimin, yaitu melangsungkan
kehidupan Islam dengan cara menegakkan Daulah Khilafah Islamiyyah Rasyidah, dan mengembalikan eksistensinya
untuk kedua kalinya. Sebab, keberadaan Daulah Khilafah Islamiyah akan
melahirkan eksistensi umat. Sama halnya dengan ketiadaannya yang dapat
meniadakan eksistensi umat.
Yang seharusnya dipikirkan oleh kita saat ini adalah mendorong
kaum muslimin agar mereka menjadikan perkara-perkara tadi sebagai perkara utama
mereka, perkara yang menyangkut hidup matinya mereka. Dan seluruh perkara itu
tidak akan bisa mereka selesaikan kecuali dengan mewujudkan Islam dalam bentuk
institusi politik untuk kedua kalinya. Meninggalkan arena politik, tabu dengan
pembahasan politik, dan tidak ambil pusing dengan aktivitas politik akan
mustahil bisa membangkitkan umat dan membebaskan mereka dari dominasi barat,
serta penguasa-penguasa lalim yang menjadi kaki tangan Barat. Rasulullah Saw.
menganggap aktivitas dakwah politik Islam sebagai persoalan utama yang
berhubungan dengan keteguhan kaum muslimin di dalam perjuangan menegakkan
syari'at Islam, dan kokohnya posisi kaum muslimin di dunia internasional. Oleh
karena itu beliau Saw. menolak tawaran kompromi kaum kafir Quraisy.
Membiarkan penguasa dan tidak adanya dakwah politis ideologis kaum
muslimin terhadap mereka, akan menyebabkan para penguasa terus menindas kaum
muslimin, mengabaikan kemaslahatan mereka, mendzaliminya, membohonginya,
memecah belah negeri-negeri mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar