Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 15 September 2016

Berpolitik Wajib Islami


 

Berpolitik: Wajib Islami!

Politik Islam adalah pengaturan urusan umat dengan aturan Islam, mencakup urusan di dalam negeri maupun di luar negeri. Aktivitas politik diselenggarakan oleh negara dan rakyat. Negara merupakan institusi yang secara langsung melakukan pengaturan urusan rakyat. Sedangkan rakyat berfungsi melakukan kontrol terhadap negara. Definisi ini berlaku umum karena diambil berdasarkan fakta politik dan ditinjau dari sisi politik itu sendiri. Definisi politik, seperti halnya definisi tentang kejujuran, kekuasaan, masyarakat dan lain-lain adalah realitas empiris yang wujudnya ada di tengah-tengah kehidupan manusia. Maka pendefinisian terhadap suatu fakta yang dapat dirasakan dan dilihat oleh setiap manusia adalah gambaran obyektif tentang fakta itu sendiri.

Politik secara etimologis berasal dari kata; saasa yasuusu siyaasah, yang bermakna ri'ayah syu`uun al-ummah (pengaturan urusan rakyat). Di dalam kamus aI-Muhith disebut, “Sustu al-ra’iyah siyaasah” (saya mengatur urusan rakyat dengan sebuah peraturan), pengertiannya adalah “saya memerintah dan melarang rakyat dengan suatu aturan.” Ini mencerminkan pengaturan urusan rakyat dengan bentuk perintah dan larangan. Definisi tadi juga digali dari berbagai hadits yang mendeskripsikan tentang aktivitas para khalifah dan jajarannya, kontrol terhadap mereka, serta kepedulian terhadap kemashlahatan kaum muslimin. Sabda Rasulullah Saw. (artinya): “Tidaklah seorang hamba yang Allah telah menyerahkan kepadanya urusan kaum muslimin, kemudian ia tidak mengaturnya dengan nasihat kecuali tidak akan mencium bau Surga.”
"tidaklah seorang wali (penguasa/gubernur) yang memerintah kaum muslimin, kemudian ia mati, sedangkan ia mengabaikan urusan kaum muslimin, kecuali Allah mengharamkan kepadanya Surga.”

Jadi definisi politik yang berarti pengaturan urusan rakyat sebenarnya hasil penggalian dari berbagai hadits, baik yang berhubungan dengan pengaturan pemerintahan Islam oleh penguasa, kontrol rakyat terhadap penguasa, kepedulian kaum muslimin terhadap kemashlahatan umat, serta hadits yang berhubungan dengan kewajiban untuk memberikan nasihat kepada kaum muslimin. Oleh karena itu definisi politik adalah definisi syar'iy yang digali dari dalil-dalil syara'.

Dalil-dalil syara' tadi menunjukkan bahwa politik adalah unsur terpenting dalam Islam. Peduli dan sibuk dengan aktivitas politik baik yang berhubungan dengan politik internasional (luar negeri) dan lokal (dalam negeri) merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Sibuk dengan aktivitas politik luar dan dalam negeri hukumnya fardhu seperti halnya aktivitas jihad. Sebab, pengaturan urusan umat Islam harus diselenggarakan oleh negara Islam dengan hanya merujuk pada hukum-hukum dan solusi Islam. Allah SWT berfirman (artinya): “Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. Al-Maidah: 48).

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya} tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima (hukum Islam) dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa‘: 65).

Ayat-ayat dan hadits-hadits lain menunjukkan secara gasti tentang kewajiban negara Islam untuk melakukan pengaturan urusan umat Islam dan untuk mengatur interaksi-interaksi mereka atas dasar Islam.

Umat Islam adalah institusi yang berfungsi melakukan kontrol terhadap negara Islam dalam melakukan pengaturan urusan rakyatnya. Kontrol politik terhadap negara Islam merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Nash-nash syara' telah menjelaskan hal ini. Kepedulian kaum muslimin terhadap politik dan kewajibannya untuk melakukan aktivitas politik sudah dimulai sejak pertama kali diutusnya Rasulullah Saw., yaitu pada saat beliau Saw. mulai membentuk partai politik Islam (berupaya mewujudkan ideologi Islam) di kota Mekah. Lalu beliau tampil bersama-sama dengan kelompoknya (yaitu para sahabat) menyerang sistem pemerintahan jahiliyyah. Beliau menghujat dan menyerang penguasa-penguasa kota Mekah dengan serangan politik yang amat keras. Dilihat dari sisi Shira' al-fikri (serangan pemikiran) terhadap aqidah kufur di Mekah, kaum muslimin yang ada di Mekah saat itu telah mencurahkan kemampuan maksimalnya untuk merubah sistem yang rusak itu. Diturunkannya ayat-ayat yang yang menjelaskan konstelasi politik Romawi dan Persia dalam periode Makkiyah menunjukkan dengan jelas kepedulian kaum muslimin terhadap politik, serta wajibnya kaum muslimin peduli dengan politik internasional dan hubungan antar negara. Allah SWT berfirman (artinya):
“Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat. dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. ar-Ruum: 1-5).

Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Syihab, berkata. “Kami mendapatkan kaum musyrikin tengah berdebat dengan kamu muslimin. Saat itu mereka masih berada di Makah sebelum Rasulullah melakukan hijrah. Orang-orang musyrik berkata, “Romawi telah menyatakan dirinya sebagai ahlul kitab, dan sungguh mereka telah dikalahkan oleh Majusi (Persia). Sedangkan kalian yakin bahwa kalian akan mengalahkan keduanya dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Bagaimana kalian dapat mengalahkan Rowawi dan Majusi. Kemudian Allah SWT menurunkan “Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi [QS. Ar-Ruum: 1-2].

Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin di kota Makah, sebelum berdirinya Daulah Islamiyah telah berdiskusi dengan orang kafir tentang politik internasional serta hubungan-hubungan internasional. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra. bertaruh dengan orang-orang musyrikin bahwa kelak Romawi akan dikalahkan. Beliau mengabarkan hal itu kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. menyetujui bahkan memerintahkan Abu Bakar untuk memberitahukan waktunya (kepada orang musyrik). Berdasarkan kenyataan ini, umat tidak akan mampu memikul dakwah Islam kepada bangsa lain atau untuk mencegah makar mereka kepada kita jika umat tidak memahami politik internasional dan kondisi politik di negeri-negeri Muslim. Oleh karena itu, memahami politik internasional dan kondisi politik negeri-negeri Muslim hukumnya fardhu kifayah bagi kaum muslimin. Ini beralasan karena mengemban dakwah dan melenyapkan makar musuh kaum muslimin merupakan kewajiban yang harus ditegakkan. Dan keinginan ini tidak akan mungkin terwujud tanpa memahami politik internasional. Terdapat kaedah syara: “Tidak sempurnanya suatu kewajiban tanpa sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.”

Dengan demikian sibuk dengan politik internasional hukumnya fardhu atas kaum muslimin. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata: “Ketika umat Islam diperintahkan untuk mengemban dakwah Islam kepada seluruh manusia maka kaum muslimin wajib mengetahui problematika global, memahami karakter-karakter negara dan rakyatnya, terus memantau aktivitas-aktivitas politik yang sedang terjadi di dunia, serta memahami uslub serta hal-hal yang berhubungan dengan garis-garis besar politik suatu negara. Oleh karena itu kaum muslimin wajib memahami konstelasi politik internasional dan konstelasi politik dunia Islam agar mereka mampu mempertahankan eksistensi negara (Islam)nya di tengah-tengah hiruk pikuknya kondisi politik internasional, yang memungkinkan mereka mengemban dakwah Islam melalui jihad [penaklukan]. Umat juga harus memahami aktivitas-aktivitas politik dan manuver-manuver yang terencana sebelum dilakukan jihad. lni merupakan fardhu kifayah bagi kaum muslimin, seperti halnya jihad. Jika tidak ada sebagian dari kaum muslimin sejumlah orang yang sibuk dengan politik internasional dan politik lokal, padahal melaksanakan hal itu termasuk kewajiban, maka berdosalah seluruh kaum muslimin. lni jika dinisbahkan kepada politik internasional”.

PEDULI TERHADAP POLITIK DALAM NEGERI

Jika perkara ini dinisbahkan kepada politik dalam negeri, maka sibuk dengan urusan kaum muslimin, dan peduli terhadap kondisi kaum muslimin -dilihat dari sisi pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah Islam terhadap urusan kaum muslimin- merupakan perkara yang telah diwajibkan Allah dan melarang kaum muslimin untuk meninggalkannya. Rasulullah Saw. menekankan pentingnya kepedulian terhadap urusan kaum muslimin.

Rasulullah Saw. juga menekankan pentingnya melakukan kontrol terhadap penguasa Daulah Islam di dalam mengurusi urusan kaum muslimin dan kepedulian mereka terhadap urusan rakyat. Rasulullah Saw. memberikan predikat kapada seseorang yang menyampaikan kalimat haq (Islam) di hadapan penguasa yang dzalim sebagai jihad yang paling utama. Kalimat haq merupakan refleksi dari kepedulian terhadap urusan kaum muslimin. Dalam hadits dinyatakan (artinya): “Barangsiapa menyaksikan penguasa yang dzalim yang suka melanggar perintah Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah, serta bergelimang dengan dosa dan kelaliman, tidak merubahnya dengan perkataan atau perbuatan, maka Allah pasti memasukkannya kepada golongan mereka [penguasa dzalim itu].” (HR. Thabrani)
Ta'biir (pengertian) dari perkataan dan perbuatan di sini adalah peduli dengan politik dalam negeri.

Dengan demikian jelas bahwa politik merupakan fardhu kifayah atas kaum muslimin. Jika seorang penguasa tetap dalam kefasikan, kekufuran, dan kedzalimannya, maka koreksi terhadap penguasa tersebut menjadi fardhu 'ain atas kaum muslimin. Seluruh kaum muslimin berdosa bila membiarkan tingkah laku penguasa semacam itu.

Tatkala kaum muslimin menjauhi politik dan aktivitas politik untuk melawan penyelewengan dan penyimpangan para penguasanya, maka pada saat itu penguasa akan tetap leluasa mempermainkan rakyat. Ini adalah akibat umat berpaling dari aktivitas politik melawan para penguasa, umat tidak lagi peduli terhadap sepak terjang penguasa-penguasa mereka. Dengan bantuan dan makar jahat negara-negara kafir mulailah penguasa-penguasa itu merobohkan negara mereka sendiri, yakni Daulah Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924, mengerat-ngeratnya menjadi lebih dari 50 negara, dilanjutkan dengan mengeksploitasi negeri-negeri mereka, lalu menyembelih dan merobek kehormatan kaum muslimin.

Puncaknya mereka berhasil menikam jantung kaum muslimin, dengan mendirikan kantor perwakilan Yahudi -yang merupakan sehina-hinanya makhluk Allah- di Wilayah Syam; Mereka berhasil menjajakan sistem politik kufur di daerah Yordania melalui penguasa-penguasa yang bertuankan Yahudi dan negara-negara Barat kafir. Bagaimana tidak! Sejak diruntuhkannya Khilafah dan diterapkannya sistem politik kufur di negeri-negeri Muslim, keberadaan Islam sebagai institusi politik telah berakhir. Kedudukannya digantikan oleh pemikiran-pemikiran politik barat yang terpancar dari ideologi Kapitalisme, yaitu sekulerisme.

Umat harus memahami bahwa pengaturan urusan mereka dengan sistem Islam tidak akan pernah terwujud tanpa keberadaan Daulah Khilafah. Pemisahan Islam dari kehidupan dan dari negara adalah liang lahat bagi Islam, sistem dan aturannya; serta menjadi penghancur umat, nilai-nilai, peradaban dan risalah Islam.

Negara Kapitalis mengadopsi ideologi sekulerisme, dan berupaya untuk menyebarkan dan menerapkan ideologi tersebut kepada umat Islam. Mereka juga berusaha menyesatkan umat dan mendeskripsikan kepada umat bahwa politik dan agama tidak akan mungkin bertemu. Politik dianggap Waqi`iyyah (tunduk dengan fakta), menerima fakta dan tidak mungkin merubah fakta. Akhirnya umat tetap berada di bawah dominasi sistem bukan-Islam dan tunduk kepada negara dzalim dan taghut.

Lebih tragis lagi umat tidak lagi mengetahui jalan menuju kebangkitan. Semua ini disebabkan karena kaum muslimin menjauhi urusan dakwah politis ideologis. Padahal umat harus menyadari konspirasi negara-negara kafir dan para penguasa yang menjadi kaki tangan negara-negara Barat dalam rangka memerangi harakah-harakah kaum muslimin yang menghantam pemikiran-pemikiran kufur, berupaya menegakkan Daulah Khilafah serta mengembalikan kejayaan Islam.

Umat Islam yang meyakini aqidah Islam sebagai sebuah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, Islam sebagai aqidah siyasah (aqidah politis), qa'idah fikriyyah, qiyadah fikriyyah (kepemimpinan ideologis), memiliki sudut pandang yang khas, harus memandang dunia secara holistik. Meskipun pada saat yang sama, dunia tengah berada di bawah dominasi politik dan ekonomi dzalim, tunduk kepada kekuatan lalim, mengerang-erang di bawah penderitaan, perbudakan, dan kehinaan. Oleh karena itu umat harus mampu membebaskan dunia dan mengentaskannya dari kesesatan dan penyesatan menuju petunjuk, cahaya Islam, dan kebahagiaan hakiki.

Jadi wajibnya memperhatikan politik dan pengaturannya harus selalu dikaitkan dengan seluruh perkara utama kaum muslimin, yaitu melangsungkan kehidupan Islam dengan cara menegakkan Daulah Khilafah Islamiyyah Rasyidah, dan mengembalikan eksistensinya untuk kedua kalinya. Sebab, keberadaan Daulah Khilafah Islamiyah akan melahirkan eksistensi umat. Sama halnya dengan ketiadaannya yang dapat meniadakan eksistensi umat.

Yang seharusnya dipikirkan oleh kita saat ini adalah mendorong kaum muslimin agar mereka menjadikan perkara-perkara tadi sebagai perkara utama mereka, perkara yang menyangkut hidup matinya mereka. Dan seluruh perkara itu tidak akan bisa mereka selesaikan kecuali dengan mewujudkan Islam dalam bentuk institusi politik untuk kedua kalinya. Meninggalkan arena politik, tabu dengan pembahasan politik, dan tidak ambil pusing dengan aktivitas politik akan mustahil bisa membangkitkan umat dan membebaskan mereka dari dominasi barat, serta penguasa-penguasa lalim yang menjadi kaki tangan Barat. Rasulullah Saw. menganggap aktivitas dakwah politik Islam sebagai persoalan utama yang berhubungan dengan keteguhan kaum muslimin di dalam perjuangan menegakkan syari'at Islam, dan kokohnya posisi kaum muslimin di dunia internasional. Oleh karena itu beliau Saw. menolak tawaran kompromi kaum kafir Quraisy.

Membiarkan penguasa dan tidak adanya dakwah politis ideologis kaum muslimin terhadap mereka, akan menyebabkan para penguasa terus menindas kaum muslimin, mengabaikan kemaslahatan mereka, mendzaliminya, membohonginya, memecah belah negeri-negeri mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam