Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 10 Desember 2015

PENENTUAN HUKUM-HUKUM IBADAH SEMATA-MATA DARI ALLAH


       Ibadah merupakan hal yang fithri dalam diri manusia (manifestasi naluri beragama).  Dalam ibadah, manusia harus ditunjuki agar dia beribadah kepada Dzat yang memang patut disembah, yaitu Al Khaliq, dan supaya perasaannya tidak tersesat dengan menyembah sesuatu yang sebenarnya tidak patut disembah, atau keliru (caranya) dalam mendekatkan diri kepada Al Khaliq dengan suatu cara yang justru menjauhkan dari-Nya.  Maka peranan aqal dalam ibadah adalah suatu keharusan, yang berfungsi menentukan siapa yang patut disembah, yaitu Al Khaliq.
       Adapun mengenai tata cara bagaimana makhluq beribadah kepada Al Khaliq, maka hal ini berada di luar jangkauan akal manusia dan akal tak akan pernah mampu memahaminya, karena tata cara ibadah ini berupa seperangkat hukum-hukum yang harus dikerjakan manusia ketika beribadah kepada Allah. Aturan ini jelas tidak mungkin berasal  dari makhluq, sebab makhluq sama sekali tidak mungkin mengetahui hakekat Al Khaliq, sehingga dapat mengatur hubungan dengan-Nya. Juga karena makhluq tidak mampu memahami Dzat-Nya, sehingga bisa menentukan tata cara beribadah kepada-Nya.
       Itulah sebabnya mustahil bagi manusia untuk menetapkan hukum-hukum yang mengatur ibadah antara dia dengan Khaliqnya berdasarkan aqalnya, begitu pula yang mengatur hubungannya dengan Khaliq yaitu yang menyangkut bagaimana mensucikan-Nya.  Berdasarkan hal ini maka aturan-aturan ibadah harus berasal dari Khaliq, bukan dari makhluq.  Yaitu berasal dari Dzat yang disembah, bukan dari hamba.  Jadi hukum-hukum tentang ibadah harus berasal dari Allah SWT semata, bukan dari manusia.  Dan manusia tidak memiliki peran apapun dalam hal ini meskipun sedikit, karena mustahil bagi manusia dapat menentukannya.  Di samping itu aturan-aturan tersebut harus disampaikan Al-Khaliq kepada seluruh makhluq (manusia) agar ia dapat beribadah sesuai dengan aturan-aturan yang telah dibuat oleh-Nya.  Dengan demikian kebutuhan manusia terhadap para Rasul yang menyampaikan hukum-hukum ibadah kepada mereka adalah suatu hal yang pasti, mengingat manusia mustahil menetapkan aturan-aturan itu, sedangkan aturan-aturan tersebut hanya boleh berasal dari Allah SWT semata.
       Tanpa aturan ibadah dari al-Khaliq, maka manusia akan berusaha melakukan suatu perbuatan taqdis yang menyebabkan terjadinya penyimpangan.  Misalnya dengan menyembah patung berhala yang dianggapnya sebagai jelmaan Tuhan, atau jika ia mensucikannya dianggapnya telah mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Ini berarti telah terjadi usaha pengalihan hasil pemenuhan taqdis yaitu sampainya rasa syukur makhluq kepada Dzat Yang layak dipuji dan menerima rasa syukur  beralih kepada sesuatu yang tak layak dipuji, yaitu berhala.  Hal ini menunjukkan telah terjadi pengalihan gharizah dari keberadaan dan tujuan gharizah itu sendiri, yaitu kecenderungan manusia mensucikan Pencipta Yang Maha Kuasa.

LAA ILAAHA ILLALLAAH: TIDAK ADA YANG BERHAK DISEMBAH, KECUALI ALLAH

       Mentaqdiskan (mensucikan/ mengibadahi) sesuatu adalah fitrah manusiaà orang merasa tenang/ tentram jika beribadah karena telah memenuhi kebutuhan naluri tadayyun-nya.
       Namun beribadah tidak boleh hanya dituntun/ mengandalkan perasaan untuk menentukan siapa yang berhak disembah à jika demikian maka bisa: terjerumus pada kesesatan dan khurafat*à menyembah selain pencipta à harusnya disembah tapi diabaikan, harusnya dilenyapkan/direndahkan justru disembah/ disucikan/ diibadahi à salah milih Tuhan à contoh cerita kisah Nabi Ibrahim menemukan sesembahan yang benar: QS.Al-An`am: 74-78!
       Namun harus dengan proses berfikir seperti Nabi Ibrahim** Nabi Ibrahim tidak menyembah berhala, bintang, bulan, dan matahari sewaktu belum meyakini siapa Tuhan yang sebenarnya. Jadi, harus pasti dulu 100% bahwa yang disembah itu sudah benar pencipta alam semesta, diri manusia, dan kehidupan ini tanpa ada keraguan sedikitpun: yang azali, wajibul-wujud, satu-satunya Zat yang menciptakan maka tidak bisa manusia menyembah yang lain
       Ibadah : tanda syukur kepada Pencipta bahwa kita telah diberi berbagai kenikmatan.
       Syahadat seorang muslim bemakna : tidak ada sesembahan selain Allah à mewajibkan ibadah hanya kepada Allah dan membatasi semata hanya kepada Allah saja. Makanya kalimat didahului dengan  kata ‘laa’, artinya tidak ada.
       QS. Al-Mu’minun: 84-91, QS. Al-An’am: 46, QS. At-Thur: 43, QS. Al-Baqarah: 163,QS. Al-Baqarah: 255,QS. Shaad: 65, QS. Al-Maaidah: 73.
       *Khurafat: bermaksud mendekatkan diri pada Allah dengan jalan sesuatu yang justru semakin menjauhkan diri dari Allah
       **Kisah ini Allah ceritakan kepada kita di dalam Al-Qur`an agar kita mengetahui cara yang benar menemukan Tuhan yang benar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam