Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 12 November 2015

Konsekuensi Iman Adalah Taat Syariah

 

Penguasa yang meyakini Islam tetapi tidak memerintah dengan Islam adalah penguasa yang zalim dan FASIK.
Berkaitan dengan sosok yang sah memangku kepemimpinan negara maka harus memenuhi tujuh syarat: Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan budak), adil (BUKAN FASIK) serta mampu memikul tugas-tugas dan tanggung jawab kepala negara. Jika seseorang tidak memiliki salah satu syarat ini, dalam pandangan hukum Syariah, ia tak boleh menjadi kepala negara.
Adapun tidak berhukum dengan hukum Islam karena MENGINGKARI Islam dan menganggap Islam itu TIDAK LAYAK untuk memutuskan perkara, maka itu merupakan kekufuran. Kita berlindung hanya kepada Allah dari hal itu.

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. al-An’am [6]: 57)

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Keputusan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam tafsir al Baghawi dijelaskan al hukmu itu berupa peradilan, syariat , hukum (al qodhou), perintah (al amru) dan larangan (an nahyu).
 ﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ﴾
“Hendaklah kamu menghukumi mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka yang hendak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah [5]: 49)

}وإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلاً & وَلَوْلاَ أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلاً{
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (QS. al-Isra’ [17]: 73-74)

“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.” (QS. al-Baqarah [2]: 99)

Mengenai hukum apa yang wajib diterapkan oleh negara? Pendapat Ahlus Sunnah jelas, yaitu hukum Syariah. Alasannya, karena Ahlus Sunnah berpendapat bahwa baik dan buruk harus dikembalikan pada Syariah, bukan akal. Qadhi al-Baqillani (w. 403) mengatakan:
 اَلْحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ
“Baik adalah apa yang dinyatakan baik oleh Syariah, sedangkan buruk adalah apa yang dinyatakan buruk oleh Syariah.” (Al-Baqillani, Al-Anshaf fima Yajibu I’tiqaduhu wa la Yajuzu al-Jahlu bihi, hlm. 50)
Alasannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Adhuddin al-Iji (w. 757 H) jelas, bahwa dalam perkara yang terkait dengan pujian dan celaan, serta pahala dan dosa, hanya Syariah yang bisa menentukan, bukan akal. (Al-Iji, Al-Mawaqif fi ‘Ilm al-Kalam, hlm. 323-324). Ini berbeda dengan Muktazilah, yang menyatakan bahwa akal bisa saja memutuskan baik dan buruk.

Karena itu ketika negara menghasilkan dan menerapkan hukum dengan bersumber pada akal, maka praktik seperti ini bukan merupakan praktik Ahlus Sunnah meski mereka yang melakukan itu mengklaim sebagai pengikut Ahlus Sunnah.

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya [313] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul-pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. (4) An Nisaa': 64)
[313] Dipahami dari ayat-ayat sebelumnya bahwa ‘menganiaya dirinya’ ialah: berhakim kepada selain Nabi Muhammad Saw.

Allah SWT menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah taat Syariah:
(فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا)
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan. (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 65)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah, pada saat menafsirkan QS. An Nisaa': 65, menyatakan, Allah SWT bersumpah dengan mengatasnamakan diri-Nya sendiri Yang Maha Mulia dan Maha Suci, sesungguhnya seseorang belumlah beriman secara sempurna hingga ia berhakim kepada Rasulullah SAW. dalam seluruh urusan.
Semua yang Rasulullah putuskan merupakan kebenaran yang wajib diikuti baik lahir maupun batin. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadlaita wa yusallimuu tasliimaa: yakni, jika mereka telah berhakim kepadamu (Muhammad SAW), mereka wajib mentaatimu (mentaati keputusan yang diambil Nabi SAW) di dalam batin-batin mereka; dan mereka tidak mendapati perasaan ragu di dalam diri mereka atas apa yang telah kamu putuskan; dan lalu mengikutinya (keputusan Nabi SAW tersebut) baik dzahir maupun bathin. Kemudian, mereka berserah diri kepada itu (keputusan Nabi SAW), dengan penyerahan diri yang bersifat utuh, tanpa ada ganjalan sedikitpun, tanpa ada penolakan sedikitpun, dan tanpa ada penyelisihan sedikitpun; sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, Nabi SAW bersabda “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya seseorang di antara kalian belumlah beriman hingga hawa nafsunya tunduk dengan apa yang aku bawa.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Al-Quran Al-‘Adziim, Juz 2/349)
وَ مَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (QS. [42] Asy-Syuura: 10)
Ibnu Katsir: “Yaitu, Dia-lah Hakim yang memutuskannya, melalui Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 25, hal. 235)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-nisa [4]: 59)

Menurut Ibnu Katsir ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak berhukum merujuk kepada Al Quran dan as-Sunnah dan merujuk pada selain keduanya dalam perkara yang diperselisihkan maka ia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2 hal, 346)

Dinyatakan oleh al-Khazin bahwa ayat ini menjadi dalil orang-orang yang tidak meyakini wajibnya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti sunnah dan hukum yang berasal dari Nabi Saw. bukanlah orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (Tafsir al-Khazin vol.2 hal.120)

Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk mentaati penguasa mukmin (khalifah) yang selalu berpegang teguh kepada Syariat Allah Swt. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiyat kepada Allah Swt. (Ali Ash-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I/285)

download buklet Kewajiban Syariah Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam