II. Batas kepemimpinan dalam menentukan sikap dan pembelanjaan harta:
Wilayah kepemimpinan yang didapatkan oleh kaum laki-laki merupakan salah
satu ajaran Islam yang akan menjaga dan menjamin kelangsungan sebuah keluarga.
Wilayah kepemimpinan itu sendiri dalam Islam terbagi ke dalam
dua bagian:
·
Wilayah kepemimpinan
atas individu-individu anggota keluarga
·
Wilayah kepemimpinan
dalam membelanjakan harta.
Dan bagi tiap-tiap wilayah kepemimpinan dalam dua bagian ini memiliki
undang-undang dan hukum masing-masing yang disusun berdasarkan al Qur’an, as Sunnah dan sumber hukum Islam yang lainnya.
Maka, wilayah kepemimpinan seorang laki-laki terhadap individu-individu
yang ada dalam kalangan keluarganya tidak lain bertujuan untuk menjaga
kelangsungan hidup sebuah keluarga dalam keamanan dan kenyamanan. Wilayah
kepemimpinan tersebut akan berlaku pada anak kecil karena orang yang sudah
besar tidak memerlukan orang yang harus mengaturnya. Kecuali orang tersebut
gila, idiot atau beberapa unsur yang tidak memperbolehkan dirinya untuk
mengambil tanggung jawab hidupnya sendiri.
Yang dimaksud dengan anak kecil adalah anak yang masih berada dalam masa
menyusui, masa kanak-kanak dan masa bermain. Dan ajaran Islam telah menentukan
dengan tegas bahwa wilayah pendidikan anak tersebut akan diserahkan kepada ibu.
Karena Allah telah menciptakan jiwa seorang ibu secara khusus. Sehingga, ia akan lebih siap untuk mendidik dan mengasuh putra-putrinya dibanding sang ayah.
Diriwayatkan dari Abu Dawud dengan sandanya dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra. berkata: “Seorang perempuan berkata:
‘Wahai Rasulullah, perutku ini adalah tempat awal bagi putraku, dan payudaraku
ini adalah tempat air minumnya dan pembaringanku adalah tempat di mana anak itu
melewati malam-malamnya. Akan tetapi, suamiku menceraikanku dan ingin merampas
anak itu dariku.” Maka, ketika itu Rasulullah Saw. bersabda: “Engkau lebih berhak untuk mendidik anak tersebut selama engkau
belum menikah.”
Dan diriwayatkan dari Sa’id bin Mansur dalam sunnahnya bahwa Abu Bakar as
Shiddiq ra. telah memberikan keputusan bagi Umar bin Khattab dan istrinya yang telah
diceraikannya bahwa hak pengasuhan putranya, ‘Asim diberikan kepada istrinya.
Kemudian Abu Bakar ra. berkata kepada Umar:
“Wangi dan kelembutannya akan lebih dibutuhkan anak tersebut dibanding dirimu.”
Dan Islam telah meletakkan wilayah pengasuhan anak kepada sang ibu.
Seandainya seorang ibu tidak dapat memenuhi syarat untuk
mengasuh putranya, maka hak pengasuhan jatuh kepada ibu sang istri tadi (nenek
dari pihak ibu). Seandainya tidak dapat memenuhi juga, maka hak pengasuhan jatuh kepada neneknya yang paling dekat. Seandainya
tidak mampu juga barulah hak pengasuhan jatuh kepada sang ayah.
Dan ajaran Islam telah menyusun hak
pengasuhan terhadap si kecil setelah ibu, nenek dan ayah sebagai
berikut:
·
Saudara perempuan
kandung
·
Saudara perempuan satu
ayah
·
Saudara perempuan satu
ibu
·
Bibi dari ibu
·
Bibi dari bapak
Dan dalam memberikan urutan hak pengasuhan bagi si kecil, para ulama memiliki pendapat yang beragam. Akan tetapi, yang dianggap paling dapat
diterima adalah setelah seorang ibu tidak dapat melakukan kewajibannya, maka
hak pengasuhan jatuh kepada nenek, kemudian ayah dan seterusnya keluarga yang
jelas tali nasabnya dengan kedua orangtua si kecil.
Dan hak pengasuhan ini terus akan berlangsung sampai anak tersebut mencapai
usia dewasa yang ditandai dengan mimpi bagi anak
laki-laki dan menstruasi bagi anak perempuan. Atau dapat juga ditandai dengan
terlihatnya pertumbuhan fisik si anak secara normal dan sehat. Dalam hal ini Islam telah menyinggungnya dalam al Quran: “Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.” [QS. Al Anfaal: 75]
Dan setiap wali si kecil disyaratkan untuk memiliki unsur-unsur berikut:
·
Berakal (tidak gila)
·
Terpercaya
·
Mampu mengasuh,
memberikan perhatian dan mendidik si anak
·
Dan bagi anak yang
muslim, disyaratkan agar pendidik juga beragama Islam
Seperti halnya dalam hak mengatur anak yang
masih kecil, orangtua juga memiliki hak dalam mengatur orang gila, idiot dan
orang-orang yang tidak mengetahui mana yang terbaik baginya. Di
samping, ia juga tidak dapat menjaga dirinya. Dan hak ini masih terus akan
berlanjut sampai sifat-sifat yang disebutkan tadi, seperti: kecil, gila dan
idiot hilang dari dirinya.
Ini semuanya adalah batas wilayah kekuasaan seorang kepala keluarga
terhadap individu-individu yang ada dalam ruang lingkup keluarga. Karena agama
telah memberikan pertolongan ini bagi orang-orang yang membutuhkannya.
Adapun kepemimpinan dalam membelanjakan
harta juga tidak kalah pentingnya dengan poin sebelumnya. Maka, yang paling
utama untuk dijaga hartanya adalah anak yang masih kecil, orang gila dan idiot.
Oleh karena itu, Allah berfirman dalam al Quran: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan)
itu, adalah dosa yang besar.” [QS. An Nisaa: 2]
Dan ketika Allah memerintahkan mereka untuk membayar harta anak-anak yatim
kepada mereka diterangkan bahwa orang yang idiot dan orang yang belum baligh
tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan uangnya. Allah
berfirman dalam al Quran: “Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” [QS. An Nisaa: 5]
maka, ayat tersebut telah menjelaskan kepada kita tentang hak seorang wali
yang dapat menjaga harta anak kecil karena kurang akal.
Dan yang dimaksud dengan kurang akal atau bodoh di sini adalah bodoh dalam
menghadapi dan mengatasi permasalahan dunia: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu).” Adapun kurang akal di akhirat
disebutkan dalam firman Allah: “Dan
bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan (perkataan)
yang melampaui batas terhadap Allah.” [QS. Al Jin: 4]
Abu Musa al Asy’ari telah memberikan penafsiran bagi kata-kata kurang akal
atau bodoh di sini dengan orang-orang yang sudah seharusnya diasingkan dan
tidak diajak dalam mengambil keputusan seperti: anak kecil atau orang yang
tidak memiliki akal (gila).
Dan sebagian ulama lain memperluas makna kurang akal dengan memasukkan
orang-orang yang tidak mengetahui ajaran Islam yang berhubungan
dengan harta. Dan orang yang bertanggung jawab untuk mengatur
keluar masuknya harta ini diberikan kepada ayah, kakek dan lain sebagainya
sebagaimana yang sering disebutkan dalam buku-buku fikih.
Agama Islam telah melarang seluruh umatnya untuk berbuat zalim sehingga merampas harta anak yang masih kecil atau orang-orang yang idiot
dan kurang akal. Oleh karena itu, Islam memberikan pelajaran dan peraturan yang
berhubungan dengan pemeliharaan harta dalam sebuah keluarga. Sampai-sampai
peraturan serupa juga ditujukan kepada pemilik harta tersebut.
Dan pemeliharaan ini dapat dicapai melalui perwalian, tanggungan ataupun
wasiat. Dan tidak ada satupun yang berhak untuk mendapatkan posisi orang yang
memegang dan memelihara harta, kecuali dengan
terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
·
Berakal
·
Terpercaya
·
Mampu menjaga harta
tersebut, sampai akhirnya uang tersebut dapat diterima oleh si pemilik ketika
ia telah mencapai usia dewasa.
Harta ini tidak boleh untuk dikembalikan kepada orang yang punya kecuali
orang tersebut telah mampu menikah. Sehingga, ia dianggap mampu untuk mempergunakan hartanya dengan
baik. Seandainya waktu nikah telah sampai, akan tetapi orang tersebut belum
dapat dikatakan mampu dalam membelanjakan hartanya dengan baik, maka tunggulah
sampai kita dapat mengatakannya sebagai orang yang mampu. Dan yang dipakai
sebagai tolak ukur adalah kemampuannya dalam menjaga uang
tersebut.
Dan para ulama telah memberikan perincian nilai dan karakteristik
orang-orang yang dapat membelanjakan hartanya dengan baik
dan anda akan dapat menemuinya pada berbagai buku fikih Islam.
Inilah ajaran Islam yang telah menjaga kehidupan
keluarga muslim. Terutama, dalam melindungi individu-individu yang ada di
dalamnya dan harta mereka. Tepatnya, bagi orang-orang yang kurang mampu untuk
mempergunakan dan menyimpan sendiri hartanya dengan baik dan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar