III. Infak
Dan salah satu cara untuk menjaga keutuhan dan kehidupan sebuah keluarga,
Islam juga telah mensyariatkan adanya infak. Untuk itu, Islam telah menentukan
siapa-siapa saja yang memiliki kewajiban untuk memberikan hak tersebut. Di
samping itu, Allah juga memerintahkan hal tersebut sebagai bagian dari mendekatkan
diri kepada Allah. Apabila mereka rela dan mampu memberikannya. Dan seandainya
mereka tidak mampu, mereka terpaksa harus meminjamnya terlebih dahulu kepada orang lain. Dan ketidakmampuan yang sifatnya sementara bukan berarti membebaskan ia dari beban hukum yang harus dipikulnya.
Kemudian jika
seorang kepala keluarga benar-benar tidak mampu menafkahi tanggungannya maka
menjadi kewajiban kerabatnya untuk membantu. Kemudian jika kerabatnya tidak
mampu mencukupinya maka tanggung jawab nafkah beralih kepada kaum muslimin.
Tanggung jawab kaum muslimin ini diwakilkan kepada Khalifah sebagai amirul
mukminin. Khalifah akan berusaha dan bila perlu mengalokasikan harta baitul mal
negara untuk memberi pekerjaan/ sumber penghasilan yang akan mencukupi kebutuhannya.
Oleh karena itu, infak telah menjadi sebuah keharusan dalam Islam. Kewajiban ini tidak akan ditetapkan oleh Allah kecuali semata-mata untuk
menjaga dan memelihara kelangsungan sebuah keluarga. Dan untuk mencegah
berbagai bahaya yang akan menimpanya suatu saat nanti ketika orang yang
seharusnya memberikan infak kepadanya menolak untuk memberikan.
Dengan melihat kembali dan berfikir mengenai permasalahan infak ini niscaya
kita akan menemukan sebuah kenyataan yang sangat besar yang tidak pernah kita
temukan dalam ajaran atau undang-undang kufur manapun. Dari sebagian besar realitas yang ada kita dapat menyebutkannya
sebagai berikut:
·
Menguatkan bahwa
bangunan keluarga dalam Islam merupakan salah satu sistem sosial dalam agama tersebut. Di mana, ajaran Islam telah memberikan
berbagai unsur yang akan menjadikan tiap-tiap individu dalam
bangunan tersebut sebagai manusia yang mulia dan terhormat yang dikelilingi oleh kasih sayang dan rasa cinta. Dan pada akhirnya mereka dapat menunaikan seluruh kewajiban dan menikmati hak yang
seharusnya mereka dapatkan.
·
Menegaskan kembali bahwa
ikatan dalam sebuah keluarga muslim adalah ikatan saling kasih sayang dan
melindungi sekaligus menghilangkan kesusahan dari orang yang sangat
membutuhkan. Sehingga ajaran tersebut memberikan kewajiban kepada seorang
laki-laki untuk berusaha sekuat tenaga agar keluarga tersebut dapat hidup aman
secara sosial, ekonomi dan kejiwaan.
·
Penegasan bahwa orang
yang telah mengabaikan kewajiban memberikan infak akan mendapatkan murka dari
Allah. Karena sikap pengabaian tersebut dapat dianggap sebagai menyalahi
perintah Allah Swt. Semuanya itu merupakan kewajiban
yang sengaja Allah berikan kepada umatnya dan kepada
Imam/Khalifah kaum muslimin demi kelangsungan sebuah
keluarga Islam yang terhormat.
Infak dalam Islam diwajibkan kepada orang-orang berikut ini:
·
Suami
·
Ayah
·
Anak
·
Orang yang masih
memiliki keterkaitan kerabat. Selama mereka masih dalam wilayah orang-orang
yang mendapatkan hak waris dan mampu memberikan infak.
·
Jika mereka semua tidak mampu maka wajib bagi kaum
muslimin untuk menolong, begitu pula Khalifah sebagai kepala negara kaum
muslimin.
Untuk itu, para ulama fikih telah meletakkan beberapa syarat yang telah
mereka ambil dari al Qur’an dan sunnah Nabi. Dan mungkin kita
akan membahas beberapa syarat tersebut secara umum, di antaranya:
·
Orang yang diwajibkan
untuk memberikan infak tersebut harus mampu dalam memberikannya. Dan sebagai
tolak ukur bahwa orang tersebut mampu adalah orang tersebut memiliki kelebihan
harta atau ia masih memiliki sedikit harta setelah ia mencukupkan infak untuk
dirinya. Hal tersebut ada dalam sunnah nabi. Diriwayatkan dari Muslim dengan
sanadnya dari Abi Umamah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai anak Adam, menginfakkan sebagian
hartamu yang lebih adalah hal yang sangat baik bagimu, dan sebaliknya
seandainya kalian menyimpannya maka hal tersebut sangatlah buruk. Dan janganlah kalian mengutuk diri sendiri dengan harta yang pas-pasan.
Mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan
tangan di atas lebih mulia dibanding tangan yang ada di bawah.”
Dan diriwayatkan dari imam Muslim dengan sanadnya yang berasal dari Jabir
bin Samrah ra., ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Saw. berkata: “Apabila Allah memberikan
kebaikan kepada salah seorang di antara kalian, maka mulailah dengan diri
sendiri kemudian anggota keluargamu.”
Dan diriwayatkan dari imam Muslim dengan sanadnya yang berasal dari Jabir ra., ia berkata: “Seorang laki-laki yang
berasal dari Bani ‘Udzrah akan membebaskan salah seorang budaknya sepeninggalnya
—sang tuan menjanjikan kepada si budak bahwa ketika tuannya meninggal si budak
secara otomatis terbebaskan dan menjadi orang yang merdeka— kemudian, orang
yang memiliki budak tersebut menyampaikan keinginannya itu kepada Rasulullah
Saw. pada saat itu Rasulullah Saw. bersabda: “Apakah
engkau memiliki harta lain selain budak tadi? Sang tuan menjawab: “Tidak.”
Maka, ketika itu Rasulullah Saw. berkata kepada para
sahabat: “Siapa yang berani membeli budak ini dariku?” Maka, salah seorang
sahabat Rasulullah bernama Nu’aim bin Abdullah al ‘Udwa membeli budak tadi
dengan harga delapan ratus dirham. Kemudian Rasulullah Saw. membawa uang tersebut ke hadapan tuan budak tadi dan menyerahkannya sambil
berkata: “Mulailah dari dirimu. Seandainya ada uang lebih berikanlah kepada
keluargamu. Seandainya ada harta lebih dari infak keluargamu maka berikanlah
untuk sanak saudaramu dan seandainya ada harta lebih dari pemberian untuk sanak saudaramu maka begini dan begini.” Rasulullah berkata:
“Penuhilah kewajiban yang ada di hadapanmu kemudian orang-orang yang berada di
sisi kananmu dan setelah itu yang berada di sisi kirimu.”
·
Orang yang memberikan
infak tersebut adalah orang yang mendapatkan hak waris. “Dan warispun berkewajiban demikian.” [QS. Al Baqarah: 233] Oleh karena itu, ia harus
menanggung kewajiban memberikan infak kepada keluarganya dibanding yang lain.
Apabila ia bukan seorang dari ahli waris akan tetapi masih memiliki
hubungan kerabat, apabila antara orang yang memberikan infak atau diberikan
infak berbeda agama, atau yang satu budak dan yang lainnya orang merdeka atau
yang satu menutupi hak pewarisan yang lainnya karena
salah satunya memiliki tali kerabat yang lebih dekat, maka ia tidak diwajibkan
untuk memberikan infak.
·
Orang yang diberi infak
adalah orang yang miskin. Dalam artian, ia tidak memiliki harta juga pekerjaan.
Oleh karena itu, barangsiapa yang memiliki harta atau pekerjaan, maka ia sudah
tidak membutuhkan pemberian. Karena ia termasuk ke
dalam golongan orang-orang yang mampu.
Inilah syarat-syarat dalam berinfak sebagaimana yang telah dituliskan dalam
beberapa buku fikih Islam.
Adapun kewajiban dalam memberikan infak atau nafkah yang
dibebankan kepada seorang suami, ayah, anak laki-laki dan orang-orang yang
memiliki tali persaudaraan atau kerabat, maka telah diperkuat oleh beberapa
dalil yang berasal dari al Qur’an dan Sunnah.
Maka, kewajiban seorang suami dalam memberikan nafkah atas istrinya telah
disebutkan dalam al Qur’an. Allah berfirman dalam al Qur’an: “Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya.” [QS. Al Thalaaq: 7]
Selain itu, kewajiban tersebut juga diperkuat dengan sunnah Nabi.
Diriwayatkan dari imam Muslim dengan sanadnya dari Jabir ra. bahwasanya Rasulullah Saw. berkhutbah di hadapan orang-orang,
kemudian Rasulullah Saw. berkata: “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah perempuan. Mereka
semuanya adalah orang yang dapat membantu kalian. Kalian telah mengambil mereka
sebagai amanat dari Allah dan kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan
mempergunakan kalimat Allah. Oleh karena itu, kalian memiliki kewajiban untuk
memberikan nafkah materi dan sandang kepada mereka dengan sebaik-baiknya.”
Adapun kewajiban seorang suami kepada kedua orangtuanya, anak-anaknya yang
laki-laki dan perempuan adalah ketika mereka miskin dan tidak memiliki apa-apa.
Dan seandainya ia mampu memberikan nafkah kepada mereka, maka ia
wajib memberikan nafkah kepada mereka. Hal tersebut secara jelas telah
dikuatkan oleh al Quran dan as Sunnah.
Allah berfirman dalam al Quran: “Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” [QS. Al Baqarah: 233]
Adapun legitimasi sunnah, Hindun, istri Abu Sufyan telah bertanya kepada
Rasulullah Saw. tentang segala sesuatu yang telah
ia ambil dari harta suaminya, tanpa seidzin suaminya. Maka, pada saat itu
Rasulullah Saw. berkata kepada Hindun (sesuai
dengan hadits yang diriwayatkan dari Bukhari):
“Ambillah harta suamimu yang
mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang benar.” [QS. Imam Bukhari dalam kitab shahihnya 3/103, Cetakan Kairo]
Dan diriwayatkan dari Abu Dawud dengan sanadnya yang berasal dari Aisyah,
ummul mukminin ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. berkata: “Sebaik-baiknya makanan yang dimakan oleh seseorang adalah segala
sesuatu yang berasal dari usahanya sendiri. Dan sebaik-baiknya harta yang
dimakan oleh anaknya adalah segala sesuatu yang berasal usahanya sang ayah
tersebut.”
Dan begitulah, ini merupakan sebuah ajaran Islam yang menjaga kelangsungan hidup sebuah keluarga secara aman. Dalam
interaksi yang harmonis antara mereka
seluruhnya. Dengan kepemimpinan seorang laki-laki dalam sebuah bangunan
keluarga, menentukan sikap dalam memberikan kemaslahatan bagi tiap-tiap
individu anggota keluarga dan bagaimana cara membelanjakan
harta dari harta yang wajib untuk diinfakkan. Dari semuanya itu kita dapat
mengyadari bagaimana tingginya kedudukan sebuah keluarga dalam pandangan Islam.
Dan semuanya itu didasarkan pada susunan ajaran dan hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar