Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 19 Januari 2015

Hukum pewarisan dalam Islam adalah hukum waris paling adil



·         Ajaran-ajaran yang dapat menjaga kelangsungan hidup sebuah keluarga di masa yang akan datang:
-          Pertama: Wasiat
-          II. Warisan

Ajaran Islam yang meletakkan undang-undang hak waris bertujuan untuk menjaga kelanggengan dan keamanan sebuah keluarga untuk kehidupannya di masa yang akan datang.

Undang-undang dan hukum pewarisan dalam Islam merupakan sebuah susunan hukum waris yang paling adil dan terperinci. Sistem waris Islam tidak membiarkan satupun kaum kerabat untuk tidak mendapatkan hak waris. Karena, Islam telah mewajibkan pembagian harta mayit kepada mereka. Sehingga, tidak ada satupun yang dapat mendhalimi mereka dalam mendapatkan hak warisan. Kecuali, memang pewaris tidak dapat menerima hak warisannya karena terhalangi oleh unsur-unsur tertentu seperti: kafir atau budak dan lain sebagainya. Dan salah satu permasalhan yang sering menjadi sorotan publik adalah pembagian bagi kaum laki-laki yang mendapatkan dua kali lipat kaum perempuan. Padahal, Islam memberikan ajaran seperti itu karena kaum laki-laki memiliki beban dan kewajiban yang sangat berat dalam memberikan nafkah.

Adapun keadilannya karena hukum tersebut merupakan sistem hukum yang dapat memberikan kemaslahatan secara umum maupun khusus. Sehingga, dapat memberikan hak yang adil terhadap seluruh individu keluarga dan masyarakat. Dikatakan dapat menjaga keseimbangan dalam keluarga karena Islam sangat mendahulukan orang-orang yang ada dalam tubuh sebuah keluarga terlebih dahulu untuk mendapatkan harta warisan. Karena, sebuah keluarga merupakan tiang penyangga dan pondasi sebuah kerangka sosial. Sehingga, tidak ada satupun yang dapat memberikan sistem waris yang dapat menguatkan dan mengokohkan tali kekeluargaan antara pewaris dan orang yang telah meninggal seperti hukum waris yang diperkenalkan oleh Islam. Sekali lagi, ikatan yang kokoh di antara individu-individu sebuah keluarga memang merupakan pondasi sebuah masyarakat.

Sebagai contoh kasus: firman Allah yang berbunyi: “Laki-laki mendapatkan hak seperti hak dua orang perempuan.” Ayat tersebut adalah keadilan dalam sebuah masyarakat dan media untuk memperkuat ikatan cinta kasih dan tanggung jawab yang terkadang harus berakhir begitu saja dengan meninggalnya pemimpin sebuah keluarga dan ayah dari anak-anaknya.
Dalam dalam ajaran Islam, kewajiban dalam menjaga dan memenuhi kebutuhan kaum perempuan akan dilimpahkan dari seorang ayah yang telah meninggal kepada kakek atau saudara laki-lakinya. Dan setelah menikah, ia akan menjadi tanggung jawab suaminya. Dan seandainya suaminya meninggal, maka kewajiban nafkah jatuh kepada putranya. Artinya, tanggung jawab secara materi ada pada orang lain dan bukan pada diri perempuan sendiri. Apabila kita perhatikan, ketika seorang perempuan menikah, suamilah yang membayar mahar untuknya. Dan ini semua bertentangan dengan peraturan dan hukum kufur. Dan setelah menikahpun ia tidak bertanggung jawab untuk menutupi kebutuhan dirinya ataupun anak-anaknya.

Sistem hukum waris dalam Islam benar-benar telah menciptakan udara segar dan menenangkan jiwa manusia yang hidup di dunia. Sehingga, bersamaan dengan mekanisme lengkap sistem ekonomi Islam mereka dapat menjamin kehidupan keluarganya di masa yang akan datang.

Dan salah satu bukti keadilan sistem warisan Islam adalah kekayaan si mayit dibagikan kepada orang banyak dan tidak hanya pada satu tangan saja. Maka, harta tersebut akan berputar di antara mereka. Dan harta yang berputar di antara orang banyak akan lebih bermanfaat bagi manusia, masyarakat dan orang-orang yang lebih membutuhkan. Dan kondisi sebaliknya akan terjadi seandainya kekayaan tersebut hanya diam di satu tempat saja.

Sistem hukum waris tersebut mendapatkan legitimasi dari al Quran dan sunnah. Adapun dalam kitab al Quran, banyak sekali keterangan yang menerangkan tentang pembagian harta warisan sekaligus sistem perincian hukumnya. Dan hukum tersebut dapat kita lihat secara global dalam firman Allah: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” [QS. An Nisaa: 7-14]

Maka, ayat-ayat di atas yang tercatat dalam surat an Nisaa, merupakan gambaran ilmu Faraidh atau lebih dikenal dengan ilmu waris.

Diriwayatkan dari Abu Dawud dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Ilmu terbagi ke dalam tiga bagian adapun selebihnya hanyalah ilmu tambahan saja. Yang pertama adalah ayat-ayat al Quran yang dijadikan sebagai sandaran hukum. Yang kedua adalah sunnah nabi Saw. dan yang ketiga adalah ilmu faraid yang harus dibagikan secara adil.”
Diriwayatkan dari Ibnu Majah dengan sanadnya yang berasal dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Belajarlah kalian ilmu fara’idh. Karena cabang keilmuan tersebut merupakan setengah dari seluruh ilmu.”

Adapun wajibnya mempergunakan ilmu waris tertera dalam sunnah Nabi Saw. diriwayatkan dari imam Ahmad dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra. bahwasanya ia berkata: “Istri sa’ad bin Rabi’ datang kepada Rasulullah Saw. dengan kedua putrinya hasil dari pernikahan dirinya dengan Sa’ad. Kemudian ia berkata: “Wahai Rasulullah, ini adalah kedua putri sa’ad bin Rabi’. Ayah mereka telah gugur sebagai syahid dalam perang Uhud bersama anda. Sayangnya, paman mereka telah mengambil semua harta ayahnya dari tangan mereka. Padahal, mereka tidak akan dapat menikah kecuali kalau mereka memiliki harta.” Maka Rasulullah Saw. berkata: “Telah turun ayat waris.” Dan kemudian beliau mendatangi pamannya dan berkata: “Berikanlah harta Sa’ad kepada kedua putrinya sebanyak dua pertiga. Dan kepada ibunya sebanyak satu per delapan. Barulah sisanya engkau ambil.”

Para ulama telah mengkasifikasikan ilmu waris ke dalam bagian-bagian berikut ini:
·         Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan.
·         Tingkatan ahli pewarisan.
·         Beberapa kondisi yang menghalangi seorang pewaris untuk mendapatkan hak waris.
·         Jumlah bagian yang akan didapatkan oleh pewaris.
·         Susunan orang-orang yang mendapatkan hak waris.
·         Orang-orang yang mendapatkan sisa harta (‘Ashabah bi an Nafsi, bi al Ghair, Ma’a al Ghair atau as Sababiyyah).
·         Penjelasan tentang ahli waris yang tidak mendapatkan hak warisannya karena tertutup oleh ahli waris yang lain.
·         Ilmu pembagian harta warisan.
·         Masalah takhâruj, Rad dan munâsakhah.
·         Masalah ‘Aul, Tamâtsul, tadâkhul, tawâfuq, tabâyun dan tashîh.
·         Metode pewarisan bagi perempuan hamil, banci, orang yang hilang, tawanan perang dan orang yang murtad.
·         Metode pewarisan bagi orang yang meninggal karena tenggelam, terbakar dan tertimpa bangunan sampai tubuhnya hancur.

Dalam permasalahan ini, tidak ada satupun yang menolak pendapat ini kecuali sebagian kecil ulama dari kalangan Dhahiri.
Akan tetapi, tidak jarang sebagian kalangan masyarakat menolak penggunaan hukum waris tersebut. Terutama, masyarakat yang telah terjerat dalam paham sosialis. Karena, pada dasarnya mereka sendiri tidak mengakui adanya sebuah keluarga sebagaimana mereka juga tidak dapat mengakui adanya hak waris yang akan diberikan kepada individu-individu keluarga. Karena mereka menganggap bahwa hukum waris dan juga keluarga hanya akan mendorong manusia untuk menghimpun harta dan menimbun modal.

Ternyata, jawabannya mereka dapatkan sendiri sekarang ini. Dengan sendirinya, mereka mundur dan tidak mempergunakan sistem sosialis atau bahkan komunis lagi dalam seluruh lini kehidupannya. Kemudian mereka menamakan gerakannya yang sekarang dengan gerakan rekonstruksi bangunan.
Sehingga, kini giliran kita berkata: “Menghilangkan bangunan keluarga dan membuang hukum waris yang khusus disediakan bagi kemaslahatan orang-orang yang hidup di dalamnya, hanya akan menghancurkan kehidupan manusia baik secara fisik maupun mental. Tidak hanya itu, membunuh keluarga dan hak warisan berarti membunuh ambisi dan keinginan alami untuk mendapatkan rizki dan penghasilan untuk menjaga kelangsungan kehidupan pribadi dan keluarganya. Inikah pendapat mereka yang menolak hukum waris dan mengatakan bahwa hukum tersebut hanya akan menyalahi kebenaran dan realitas kehidupan?

Juga sebagian pemerintahan sistem kufur yang mengklaim bahwa hukum waris Islam dapat tergantikan oleh hukum yang lain dan dapat memberikan manfaat lebih bagi masyarakat yang menerapkannya adalah asumsi dan prediksi yang salah.

Mengapa mereka tidak memerangi warisan tradisi dan adat nenek moyang mereka yang tidak mendapat petunjuk. Padahal, warisan hukum, adat, dan tradisi kufur adalah unsur yang paling berbahaya dalam kehidupan manusia. Sehingga dapat menghancurkan kemaslahatan mereka. Sehingga, tidak jarang hal tersebut mendorong mereka untuk berperilaku seperti nenek moyang mereka. Sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa apa yang dianggap baik oleh nenek moyangnya adalah buruk bagi siapapun. Dan itulah yang seharusnya mereka buang. Itupun, senadainya mereka benar-benar ingin menciptakan kemaslahatan sebuah masyarakat secara benar!

Ajaran Islam juga memberitahukan kepada kaum muslimin untuk membagikan harta tersebut setelah tanggungan si mayat, seperti: hutang piutang atau wasiat yang wajib disampaikan karena hal tersebut akan menyangkut kepada dua hal:
-          Jangan sampai hak orang-orang yang menitipkan, amanat yang diberikan atau hutang piutang dan yang lainnya hilang begitu saja. Bahkan, hal-hal tersebut akan tetap menjadi tanggungan si mayat.
-          Jangan sampai pewaris mendapatkan harta yang bukan harta milik yang mewariskan (orang yang meninggal).
Kedua unsur penting di atas merupakan jaminan yang akan menjaga hak orang lain. Oleh karena itu, ayat al Quran di atas menyebutkan bahwa pembagian harta warisan akan dilaksanakan setelah pelunasan hutang dan wasiat wajib si mayat. Dan yang diperintahkan dalam ayat tersebut adalah para pewaris atau penerima harta warisan tadi. Untuk memastikan semua muslim menjalankan hukum ini maka mutlak seorang Imam/Khalifah menegakkannya dengan kekuasaan dari ba’at yang sah kaum muslimin.

Satu hal yang harus kita garisbawahi bahwa dalam Islam, sebuah bangunan keluarga menempati posisi yang sangat penting. Dan posisi ini tercipta dari pentingnya berbagai tujuan yang harus dicapai dengan berbagai kewajiban dalam Islam. Semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan kepada kita, Aamiin.

Download Buku Generasi Masyarakat Islami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam