·
Ajaran-ajaran yang dapat
menjaga kelangsungan hidup sebuah keluarga di masa yang akan datang:
-
Pertama: Wasiat
-
II. Warisan
Ajaran Islam yang meletakkan undang-undang hak waris bertujuan untuk
menjaga kelanggengan dan keamanan sebuah keluarga untuk kehidupannya di masa
yang akan datang.
Undang-undang dan hukum pewarisan dalam Islam merupakan sebuah susunan
hukum waris yang paling adil dan terperinci. Sistem waris Islam tidak membiarkan satupun kaum kerabat untuk tidak mendapatkan hak waris.
Karena, Islam telah mewajibkan pembagian harta mayit kepada mereka. Sehingga,
tidak ada satupun yang dapat mendhalimi mereka dalam mendapatkan hak warisan.
Kecuali, memang pewaris tidak dapat menerima hak warisannya karena terhalangi
oleh unsur-unsur tertentu seperti: kafir atau budak dan lain sebagainya. Dan
salah satu permasalhan yang sering menjadi sorotan publik adalah pembagian bagi
kaum laki-laki yang mendapatkan dua kali lipat kaum perempuan. Padahal, Islam
memberikan ajaran seperti itu karena kaum laki-laki memiliki beban dan
kewajiban yang sangat berat dalam memberikan nafkah.
Adapun keadilannya karena hukum tersebut merupakan sistem hukum yang dapat
memberikan kemaslahatan secara umum maupun khusus. Sehingga, dapat memberikan
hak yang adil terhadap seluruh individu keluarga dan masyarakat. Dikatakan
dapat menjaga keseimbangan dalam keluarga karena Islam sangat mendahulukan
orang-orang yang ada dalam tubuh sebuah keluarga terlebih dahulu untuk
mendapatkan harta warisan. Karena, sebuah keluarga
merupakan tiang penyangga dan pondasi sebuah kerangka sosial. Sehingga, tidak
ada satupun yang dapat memberikan sistem waris yang dapat
menguatkan dan mengokohkan tali kekeluargaan antara pewaris dan orang yang
telah meninggal seperti hukum waris yang diperkenalkan oleh Islam. Sekali lagi,
ikatan yang kokoh di antara individu-individu sebuah keluarga memang merupakan
pondasi sebuah masyarakat.
Sebagai contoh kasus: firman Allah yang berbunyi: “Laki-laki mendapatkan hak seperti hak dua orang perempuan.” Ayat tersebut adalah keadilan dalam sebuah masyarakat dan media untuk
memperkuat ikatan cinta kasih dan tanggung jawab yang terkadang harus berakhir
begitu saja dengan meninggalnya pemimpin sebuah keluarga dan ayah dari
anak-anaknya.
Dalam dalam ajaran Islam, kewajiban dalam menjaga dan memenuhi kebutuhan
kaum perempuan akan dilimpahkan dari seorang ayah yang telah meninggal kepada
kakek atau saudara laki-lakinya. Dan setelah menikah, ia akan menjadi tanggung jawab suaminya. Dan seandainya suaminya meninggal, maka kewajiban
nafkah jatuh kepada putranya. Artinya, tanggung jawab secara materi ada pada
orang lain dan bukan pada diri perempuan sendiri. Apabila kita
perhatikan, ketika seorang perempuan menikah, suamilah yang membayar mahar
untuknya. Dan ini semua bertentangan dengan
peraturan dan hukum kufur. Dan setelah menikahpun
ia tidak bertanggung jawab untuk menutupi kebutuhan dirinya ataupun anak-anaknya.
Sistem hukum waris dalam Islam benar-benar telah menciptakan udara segar
dan menenangkan jiwa manusia yang hidup di dunia. Sehingga, bersamaan dengan mekanisme lengkap sistem ekonomi Islam mereka dapat menjamin kehidupan keluarganya di masa yang akan datang.
Dan salah satu bukti keadilan sistem warisan Islam adalah kekayaan si mayit dibagikan kepada orang banyak dan tidak hanya
pada satu tangan saja. Maka, harta tersebut akan berputar di antara mereka. Dan
harta yang berputar di antara orang banyak akan lebih bermanfaat bagi manusia,
masyarakat dan orang-orang yang lebih membutuhkan. Dan kondisi sebaliknya akan
terjadi seandainya kekayaan tersebut hanya diam di satu tempat saja.
Sistem hukum waris tersebut mendapatkan legitimasi dari al Qur’an dan sunnah. Adapun dalam kitab al Qur’an, banyak sekali
keterangan yang menerangkan tentang pembagian harta warisan sekaligus sistem
perincian hukumnya. Dan hukum tersebut dapat kita lihat secara
global dalam firman Allah: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan
orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orangtuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” [QS. An Nisaa: 7-14]
Maka, ayat-ayat di atas yang tercatat dalam surat an Nisaa, merupakan
gambaran ilmu Faraidh atau lebih dikenal dengan ilmu waris.
Diriwayatkan dari Abu Dawud dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Ilmu terbagi ke dalam
tiga bagian adapun selebihnya hanyalah ilmu tambahan saja. Yang pertama adalah
ayat-ayat al Qur’an yang dijadikan sebagai sandaran
hukum. Yang kedua adalah sunnah nabi Saw. dan yang ketiga adalah ilmu faraid
yang harus dibagikan secara adil.”
Diriwayatkan dari Ibnu Majah dengan sanadnya yang berasal dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Belajarlah kalian ilmu
fara’idh. Karena cabang keilmuan tersebut merupakan setengah dari seluruh ilmu.”
Adapun wajibnya mempergunakan ilmu waris tertera dalam sunnah Nabi Saw. diriwayatkan dari imam Ahmad dengan sanadnya dari Jabir bin
Abdullah ra. bahwasanya ia berkata:
“Istri sa’ad bin Rabi’ datang kepada Rasulullah Saw. dengan kedua putrinya hasil dari pernikahan dirinya dengan Sa’ad. Kemudian
ia berkata: “Wahai Rasulullah, ini adalah kedua putri sa’ad bin Rabi’. Ayah
mereka telah gugur sebagai syahid dalam perang Uhud bersama anda. Sayangnya,
paman mereka telah mengambil semua harta ayahnya dari tangan mereka. Padahal,
mereka tidak akan dapat menikah kecuali kalau mereka memiliki harta.” Maka
Rasulullah Saw. berkata: “Telah turun ayat waris.”
Dan kemudian beliau mendatangi pamannya dan berkata: “Berikanlah harta Sa’ad
kepada kedua putrinya sebanyak dua pertiga. Dan kepada ibunya sebanyak satu per
delapan. Barulah sisanya engkau ambil.”
Para ulama telah mengkasifikasikan ilmu waris ke dalam bagian-bagian
berikut ini:
·
Hak-hak yang berhubungan
dengan harta peninggalan.
·
Tingkatan ahli
pewarisan.
·
Beberapa kondisi yang
menghalangi seorang pewaris untuk mendapatkan hak waris.
·
Jumlah bagian yang akan
didapatkan oleh pewaris.
·
Susunan orang-orang yang
mendapatkan hak waris.
·
Orang-orang yang
mendapatkan sisa harta (‘Ashabah bi an Nafsi, bi al Ghair, Ma’a al Ghair atau
as Sababiyyah).
·
Penjelasan tentang ahli
waris yang tidak mendapatkan hak warisannya karena tertutup oleh ahli waris
yang lain.
·
Ilmu pembagian harta
warisan.
·
Masalah takhâruj, Rad
dan munâsakhah.
·
Masalah ‘Aul, Tamâtsul,
tadâkhul, tawâfuq, tabâyun dan tashîh.
·
Metode pewarisan bagi
perempuan hamil, banci, orang yang hilang, tawanan perang dan orang yang
murtad.
·
Metode pewarisan bagi
orang yang meninggal karena tenggelam, terbakar dan tertimpa bangunan sampai
tubuhnya hancur.
Dalam permasalahan ini, tidak ada satupun yang menolak pendapat ini kecuali
sebagian kecil ulama dari kalangan Dhahiri.
Akan tetapi, tidak jarang sebagian kalangan masyarakat menolak penggunaan
hukum waris tersebut. Terutama, masyarakat yang telah terjerat dalam paham sosialis. Karena, pada dasarnya mereka sendiri tidak mengakui adanya
sebuah keluarga sebagaimana mereka juga tidak dapat mengakui adanya hak waris
yang akan diberikan kepada individu-individu keluarga. Karena mereka menganggap
bahwa hukum waris dan juga keluarga hanya akan mendorong manusia untuk
menghimpun harta dan menimbun modal.
Ternyata, jawabannya mereka dapatkan sendiri sekarang ini. Dengan
sendirinya, mereka mundur dan tidak mempergunakan sistem sosialis atau bahkan
komunis lagi dalam seluruh lini kehidupannya. Kemudian mereka menamakan
gerakannya yang sekarang dengan gerakan rekonstruksi bangunan.
Sehingga, kini giliran kita berkata: “Menghilangkan bangunan keluarga dan
membuang hukum waris yang khusus disediakan bagi kemaslahatan orang-orang yang
hidup di dalamnya, hanya akan menghancurkan kehidupan manusia baik secara fisik
maupun mental. Tidak hanya itu, membunuh keluarga dan hak warisan berarti
membunuh ambisi dan keinginan alami untuk mendapatkan rizki dan penghasilan
untuk menjaga kelangsungan kehidupan pribadi dan keluarganya. Inikah pendapat
mereka yang menolak hukum waris dan mengatakan bahwa hukum tersebut hanya akan menyalahi kebenaran dan realitas kehidupan?
Juga sebagian pemerintahan sistem kufur yang mengklaim bahwa hukum waris Islam dapat tergantikan oleh hukum yang lain dan dapat memberikan manfaat lebih bagi masyarakat yang
menerapkannya adalah asumsi dan prediksi yang salah.
Mengapa mereka tidak memerangi warisan tradisi dan adat nenek moyang mereka yang tidak mendapat petunjuk. Padahal, warisan hukum, adat, dan tradisi kufur adalah unsur yang paling
berbahaya dalam kehidupan manusia. Sehingga dapat menghancurkan kemaslahatan
mereka. Sehingga, tidak jarang hal tersebut mendorong mereka untuk berperilaku seperti nenek moyang mereka. Sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa
apa yang dianggap baik oleh nenek moyangnya adalah buruk bagi siapapun. Dan itulah yang seharusnya mereka buang. Itupun, senadainya mereka
benar-benar ingin menciptakan kemaslahatan sebuah masyarakat secara benar!
Ajaran Islam juga memberitahukan kepada kaum muslimin untuk membagikan
harta tersebut setelah tanggungan si mayat,
seperti: hutang piutang atau wasiat yang wajib disampaikan karena hal tersebut
akan menyangkut kepada dua hal:
-
Jangan sampai hak
orang-orang yang menitipkan, amanat yang diberikan atau hutang piutang dan yang
lainnya hilang begitu saja. Bahkan, hal-hal tersebut akan tetap menjadi
tanggungan si mayat.
-
Jangan sampai pewaris
mendapatkan harta yang bukan harta milik yang mewariskan (orang yang meninggal).
Kedua unsur penting di atas merupakan jaminan yang akan menjaga hak orang
lain. Oleh karena itu, ayat al Qur’an di atas menyebutkan bahwa pembagian harta warisan akan
dilaksanakan setelah pelunasan hutang dan wasiat wajib si mayat. Dan yang
diperintahkan dalam ayat tersebut adalah para pewaris atau
penerima harta warisan tadi. Untuk memastikan semua muslim menjalankan hukum ini maka
mutlak seorang Imam/Khalifah menegakkannya dengan kekuasaan dari ba’at yang sah
kaum muslimin.
Satu hal yang harus kita garisbawahi bahwa dalam Islam, sebuah bangunan
keluarga menempati posisi yang sangat penting. Dan posisi ini tercipta dari
pentingnya berbagai tujuan yang harus dicapai dengan berbagai kewajiban dalam Islam. Semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan kepada kita, Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar