Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 07 Juni 2013

Sejarah Benturan Peradaban Islam Dan Peradaban Lain

Sejarah Benturan Peradaban Islam Dan Peradaban Lain




Benturan Peradaban: Sejarah Benturan Peradaban antara Islam dan Peradaban Lain

Benturan atau perang (shira’) antar agama dan peradaban telah terjadi sejak zaman dahulu, dan yang menjadi pembahasan kita adalah benturan antara Islam dengan agama dan peradaban lain. Sesungguhnya, Islam adalah diin (agama) perjuangan sejak saat Rasulullah Muhammad SAW diperintahkan untuk berdakwah secara terbuka hingga akhir zaman nanti. Ketika Rasulullah SAW diperintahkan untuk menyampaikan risalah yang dibawanya secara terbuka, mulailah terjadi pertarungan pemikiran antara konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep kufur. Pertarungan pemikiran ini terus berlanjut hingga masa sekarang ini. Pertarungan pemikiran ini tidak akan pernah berhenti dan memang tidak boleh berhenti, sekalipun kemudian terjadi berbagai bentuk pertarungan lainnya. Pertarungan pemikiran dilakukan dengan jalan menentang pemikiran pemikiran-pemikiran kufur secara tajam, dengan segala daya upaya dan penuh ketegasan. Rasulullah SAW telah menunjukkan teladan dalam melaksanakan perintah Allah ini, sebagaimana digambarkan dalam Al Qur’an,
Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” (QS Al Anbiya: 98)

Demikian pula,
Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu yang terkenal kejahatannya.” (QS Al Qalam: 11-13)

Atau firman Allah,
Kemudian sesungguhnya kamu hai orang yang sesat lagi mendustakan, benar-benar akan memakan pohon Zaqqum, dan akan memenuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus. Itulah hidangan untuk mereka pada hari Pembalasan. Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan hari berbangkit?” (QS Al Waqi’ah: 51-57)
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan di dalam neraka.” (QS Al Qamar: 47)

Begitu pula firman-Nya,
Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (QS Ali Imran: 61)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS Al Lahab: 1)

Atau firman-Nya yang lain,
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS Al Kautsar: 3)

Pertarungan pemikiran ini sama sekali tidak bertentangan dengan firman Allah,
Serulah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl: 125)
Karena, hikmah yang dimaksud dalam ayat ini adalah bukti rasional (burhan al-aqli) dan dalil yang tak terbantahkan (hujjat damigha). Sedangkan yang dimaksud dengan pelajaran yang baik adalah peringatan yang menarik. Peringatan itu disampaikan dengan jalan membuat kesan yang baik melalui pemikiran sekaligus menggugah perasaan, seperti ditunjukkan dalam firman Allah SWT,
Sesungguhnya neraka Jahannam itu ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak pula mendapat minuman, selain air yang mendidih dan nanah. Itulah pembalasan yang setimpal.” (QS An Naba’: 21-26)

Lebih baik lagi bila perdebatan dilakukan dengan hati-hati; dengan selalu berusaha menghindari bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lawan debat, yaitu dengan berpaling dari cemoohan mereka. Atau dengan kata lain, tinggalkan lawan debat anda. Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah dalam Al Qur’an,
Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.” (QS Al Ankabut: 46)

Adalah lebih baik untuk menghindar dari bahaya yang bisa mereka timbulkan akibat perdebatan dengannya. Terlebih lagi bila berhadapan dengan orang-orang yang melakukan kejahatan dengan kekerasan fisik, atau menolak penerapan hukum, atau menolak membayar jizyah; maka tidak ada jalan lain dalam menghadapi mereka selain dengan pedang (peperangan).

Sebuah contoh pertarungan pemikiran ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah kejadian yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shiba dan Abdurrazaq dalam Musnad-nya, maupun oleh para penulis sirah, dari Qatadah bahwa Rasulullah SAW berkata kepada seorang laki-laki,
Masuklah Islam, wahai Abu Al-Harits. Lelaki Nasrani itu berkata, ‘Aku telah masuk Islam’. Lalu Rasulullah SAW berkata lagi, ‘Masuklah Islam, wahai Abu Al-Harits.’ Kembali lelaki Nasrani itu berkata, ‘Aku telah masuk Islam.’ Lalu Rasulullah SAW berkata untuk yang ketiga kalinya, ‘Masuklah Islam, wahai Abu Al-Harits.’ Lelaki Nasrani itu berkata, ‘Aku telah masuk Islam sebelum engkau.’ Maka Rasulullah SAW menjadi marah dan berkata, ‘Engkau berdusta. Ada tiga hal yang menjadi penghalang antara engkau dan Islam, yaitu engkau membeli khamr (beliau tidak berkata ‘meminum khamr’), engkau memakan daging babi, dan tuduhanmu bahwa Allah mempunyai anak.”

Sedangkan As San’ani meriwayatkan dalam Tafsir-nya dari Abdurrazaq dari Qatadah, bahwa Ubay bin Khalaf datang dengan membawa sepotong gigi unta yang telah membusuk, kemudian melemparkannya ke udara sambil berkata, ‘Apakah Allah akan menghidupkan gigi ini, wahai Muhammad?’ Maka Rasulullah SAW berkata,
Benar. Allah akan menghidupkannya dan membinasakanmu serta memasukkanmu ke dalam neraka.”

Sementara itu, Al Hakim meriwayatkan dalam Al-Mustadrak, dan disahihkan dari Jabir bin Abdullah (ra), yang berkata,
“Suatu hari kaum musyrik Quraisy berkumpul, kemudian ‘Utbah bin Rabi’ah mendatangi Rasulullah SAW sambil berkata, ‘Wahai Muhammad, siapa yang lebih baik, engkau atau Abdullah? Rasulullah SAW diam. Kemudian Rasulullah SAW berkata, ‘Apakah engkau sudah selesai?’ ‘Utbah berkata, ‘Ya.’ Maka kemudian Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat Qur’an, ‘Bismillahirrahmaanirrahiim. Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’ ... dan seterusnya sampai ‘Jika mereka berpaling maka katakanlah, Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Tsamud.’ (QS Fushshilat: 1-13). Maka ‘Utbah berkata, ‘Cukup, cukup! Apakah engkau mempunyai jawaban selain ini?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak.’ Maka kemudian ‘Utbah kembali kepada kaumnya. Kaum Quraisy kemudian bertanya, ‘Apa yang ada di belakangmu?’ Utbah menjawab, ‘Aku tidak meninggalkan apapun selain bahwa aku telah menanyakan hal yang ingin kalian tanyakan kepadanya.’  Mereka bertanya, ‘Apakah dia menjawabnya?’ ‘Utbah menjawab, ‘Ya. Demi dzat yang menegakkan, aku sama sekali tidak paham apa yang dia katakan, selain bahwa ia memperingatkan kalian tentang petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum ‘Tsamud.’ Kaum Quraisy berkata, ‘Celakalah kamu, seseorang berkata kepadamu dalam bahasa Arab dan kamu tidak tahu apa yang dia katakan?’ Utbah berkata, ‘Tidak. Demi Allah, aku tidak paham kecuali ketika dia menjelaskan tentang badai dan petir.” Inilah sejumlah gambaran bentuk pergulatan pemikiran yang diriwayatkan dari Rasulullah Muhammad SAW.

     Sejumlah sahabat juga melakukan hal semacam ini. Demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dengan sanad dari Az Zubair yang mengatakan, “Orang pertama yang membacakan Al Qur’an dengan keras di Makkah setelah Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Mas’ud. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari para sahabat Nabi berkumpul dan berkata, ‘Demi Allah, kaum musyrik Quraisy belum mendengar Al Qur’an dibacakan dengan keras. Lalu, siapakah yang membacakan bagi mereka?’ Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Aku.’ Mereka berkata, ‘Sebenarnya kami khawatir mereka menyerangmu. Kita berharap ada seseorang kerabat yang melindungimu bila mereka hendak membahayakanmu.’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Tinggalkan aku. Allah akan melindungiku.’ Kemudian diriwayatkan bahwa pada hari berikutnya, Ibnu Mas’ud mendatangi maqam Ibrahim di Ka’bah sebelum tengah hari dan membacakan ayat Qur’an,
Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Qur’an.” (QS Ar Rahman: 1-2)
Kemudian dia menghadap kepada mereka dan membacakan Al Qur’an. Diriwayatkan bahwa mereka merenungkan ayat tersebut, dan kemudian bertanya, ‘Apa yang Ibnu Umm Abdullah katakan?’ Mereka menjawab, ‘Dia membacakan ajaran Muhammad.’ Maka mereka berdiri dan kemudian memukul wajahnya, namun Ibnu Mas’ud terus membacakan sampai batas yang dikehendaki Allah. Kemudian dia menemui para sahabat dengan wajah yang penuh luka. Para sahabat berkata, ‘Inilah yang kami khawatirkan atas kamu.’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Para musuh Allah tidak akan lagi sekeji ini padaku, dan bila dikehendaki, aku akan melakukan lagi hal ini esok hari. Para sahabat berkata, ‘Tidak. Sudah cukup bagimu atas apa yang engkau sampaikan. Engkau telah membuat mereka mendengar apa yang mereka benci.’

     Ibnu Katsir meriwayatkan dalam kitab ‘Jami’ al-Masaniid wa as-Sunan’ dari Hatib yang diutus Rasulullah SAW kepada Juraij bin Mina, yang pernah bertemu dengan Muqauqis dari Iskandariyah. Diriwayatkan bahwa Muqauqis pernah berkata kepadanya, “Mengapa Nabimu tidak memerangi orang-orang yang mengusirnya dari tanah kelahirannya?’ Maka Juraij menjawab, ‘Sama halnya seperti Nabimu, yang tidak memerangi orang-orang yang berniat membunuhnya sampai Allah mengangkatnya kepada-Nya.’ Maka kemudian Muqauqis berkata, ‘Engkau telah bertindak tepat. Engkau adalah orang bijak yang berasal dari orang yang bijak.’

     Sementara itu, Al Hakim meriwayatkan dalam kitab Mustadrak, yang disahihkan oleh kedua imam (Bukhari dan Muslim), dari Abu Musa (ra) yang berkata, ‘Rasulullah SAW memerintahkan kami pergi ka negeri Raja Najasy. Hal ini terdengar oleh kaum Quraisy. Maka kemudian mereka mengirim Amr bin al-Ash dan ‘Amara bin al-Walid yang membawa sejumlah hadiah untuk Raja Najasy. Mereka datang kepada kami, kemudian menghadap Raja Najasy, menyerahkan hadiah kepadanya, mencium dan bersujud kepadanya. Kemudian Amr bin al-Ash berkata, “Sesungguhnya sekelompok orang tidak suka dengan agama kami dan mereka pergi ke wilayah anda. An Najasy berkata, “Di wilayahku?” Amr menjawab, “Ya.” Maka An Najasy berkata, “Hadapkan mereka kepadaku.” Maka Ja’far bin Abi Thalib berkata kepada kami, “Janganlah kalian berbicara. Aku menjadi juru bicara kalian hari ini.” Maka kemudian kami mendatangi An Najasy saat ia sedang duduk di tempat pertemuan. Amr berada di sebelah kanannya dan Amara di sebelah kirinya, sedangkan para pendeta dan rahib duduk di sebelah mereka. Amr dan Amara berkata kepada An Najasy, “Mereka tidak bersujud kepadamu.” Ketika kami sampai di hadapannya, para pendeta dan rahib yang bersama An Najasy menegur, “Bersujudlah kepada rajamu.” Ja’far menjawab, “Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah.” An Najasy bertanya kepada Ja’far, “Dan siapa dia?” Ja’far menjawab, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada kami Rasul-Nya, dan dialah Rasul yang diramalkan kedatangannya oleh Isa dengan nama Ahmad. Ia memerintahkan kami menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan memerintahkan kami berbuat kebaikan dan melarang kami berbuat kemunkaran. An Najasy berkata, “Kata-katanya membuat orang terpesona.” Ketika Amr melihat hal ini, ia berkata kepada An Najasy, “Allah memulikan sang Raja. Mereka menentang pendapat anda tentang Isa bin Maryam.” Maka An Najasy bertanya kepada Ja’far, “Apa pendapat sahabatmu tentang putera Maryam?” Ja’far menjawab, “Ia berkata tentang Isa sesuai dengan firman Allah, ‘Ia adalah ruh dari Allah yang diciptakan dengan kalimat-Nya dan disampaikannya kepada perawan suci Maryam, yang tak seorangpun laki-laki mendatanginya.” Diriwayatkan kemudian bahwa An Najasy memungut sepotong ranting dari tanah, kemudian mengangkatnya ke atas sambil berkata, “Wahai para pendeta dan rahib-rahib, apa yang mereka katakan tentang Isa bin Maryam hanya berbeda tidak lebih dari sebesar ini. Selamat datang kepada kalian dan kepada Nabi kalian. Sungguh aku bersaksi bahwa ia adalah utusan Allah, dan dialah yang diramalkan kedatangannya oleh Isa bin Maryam. Bila aku tidak menjadi seorang raja, aku akan mengikutinya bahkan sampai membawakan alas kakinya. Tinggallah di negeriku selama kalian suka.” Ia memerintahkan memberi makanan dan pakaian kepada mereka. Dan kemudian An Najasy berkata, “Kembalikan hadiah ini kepada dua orang ini.”
Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari Ummu Salamah dengan riwayat yang lebih panjang dan lebih detil daripada hadits Abu Musa (ra) ini. Al-Haitsami meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al Majma’a dan menyatakan bahwa selain dari Ibnu Ishaq, para perawi hadits ini adalah perawi yang sahih, dan secara eksplisit ia menyatakan bahwa ia mendengar sendiri hadits tersebut.

Sepeninggal Rasulullah SAW, kaum Muslimin meneruskan perjuangan melawan agama dan peradaban kufur dalam bentuk pertarungan pemikiran maupun pertempuran fisik – yang akan terus berlanjut – hingga Islam tersebar luas melintas batas-batas negeri, bahkan benua, hingga hanya tersisa sedikit wilayah yang belum terjamah peradaban Islam. Ummat manusia berduyun-duyun masuk Islam serta menanggalkan agama dan peradaban mereka sebelumnya, kemudian menjelma menjadi satu kesatuan ummat dengan satu aqidah, satu pemikiran, satu pandangan hidup, satu sistem kehidupan, satu kepentingan, dan satu tujuan, yakni meninggikan kalimat Allah. Islam menguasai kedudukan sebagai negara utama di dunia, sedangkan kota-kotanya menjadi pusat pancaran cahaya pemikiran, aqidah tauhid, dan keadilan syariat. Kaum Muslimin mengemban risalah yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah dan membawa bahasa Arab ke pentas dunia, sehingga Islam menjadi ideologi internasional dan minat kaum Muslimin terhadap bahasa Arab begitu besar. Sampai kemudian muncullah di antara mereka para mujtahid dan ahli bahasa, baik dari kalangan Arab maupun non-Arab; semuanya bersaudara semata-mata karena Allah SWT.

Namun kemudian kita menyaksikan suatu kampanye jahat untuk memisahkan bahasa Arab dari Islam dengan berbagai bentuk, antara lain penggunaan bahasa percakapan sehari-hari, penulisan dengan huruf Latin di beberapa wilayah non-Arab, dan menganggap bahasa tutur lokal sebagai bahasa Arab. Sudah diketahui dengan pasti, bahwa tidak mungkin seseorang mempelajari Islam tanpa memahami bahasa Arab, terlebih lagi bila ia ingin melakukan ijtihad. Oleh karena itu mereka berharap bahasa Arab menjadi seperti halnya bahasa Latin atau Syria, sehingga tidak seorangpun yang memahami Islam dengan baik, kecuali orang-orang yang ahli dalam bahasa ini. Realitasnya, mereka ingin bahasa Arab menjadi bahasa yang mati. Bagaimana mungkin orang yang tidak mengerti bahasa Arab mampu memahami bentuk-bentuk informasi (khabar), susunan (insya’a), perintah (amr), larangan (nahy), makna harfiah (haqiqah) dan makna kiasan (majazi), alasan (‘illat), sebab (sabab), syarat, pencegahan (ma’ani), umum (‘amm), khusus (khash), pasti (mutlaq), terbatas (muqayyad), makna eksplisit (mantuq), makna implisit (mafhum), dan keharusan (iltizam), makna-makna surat, kata hubung, tata bahasa, dan sebagainya. Semuanya ini penting untuk dapat memahami nash-nash syariat. Maka barangsiapa menyerukan pemisahan bahasa Arab dengan Islam, maka sesungguhnya ia adalah musuh Islam, dan siapapun dari kalangan Muslim yang terjebak dengan kesesatan ini, maka ia tergolong orang-orang yang bodoh.

Namun demikian, kebanyakan pemeluk Islam tidak memahami Islam dengan sempurna, bahkan termasuk orang-orang Arab sendiri. Sejak awal, pemahaman mereka terhadap Islam memang sangat lemah disebabkan karena tiadanya lingkungan yang mendukung perkembangan mereka. Sekalipun gerakan-gerakan sempalan (kaum zindiq) telah digagalkan dan berhasil ditekan, namun kelemahan dalam bahasa Arab menjadikan tertutupnya pintu ijtihad dan meluasnya berbagai kebingungan dalam memahami hukum. Tak pelak hal ini membuat posisi negara menjadi lemah, hingga menjadi negara yang kurang diperhitungkan. Keadaan ini diperburuk dengan adanya penyusupan beberapa pemikiran yang berasal dari agama dan peradaban lain ke dalam tubuh kaum Muslimin: seperti ascestisme (bertapa) dan melukai badan sendiri dari filsafat Hindu, kesukuan, doktrin merahasiakan makna sesuatu (bathiniyyah), dan kecenderungan melepaskan diri dari pusat kekuasaan Khilafah, yang semakin memperlemah negara dan menghentikan penaklukan-penaklukan. Bahkan kemudian datang pasukan Salib dan Tartar yang menggerogoti kekuasaan kaum Muslimin.

Hingga kemudian Banu Utsmaniyyah tampil ke depan, dan mampu menyatukan kembali hampir semua wilayah kekuasaan Islam serta melanjutkan berbagai penaklukan. Akan tetapi, karakter militer yang mendominasi kekuasaan Banu Utsmaniyyah tidak didukung dengan penyampaian ideologi yang benar. Sehingga, orang-orang yang tinggal di wilayah-wilayah taklukan tidak sepenuhnya lebur ke dalam Islam sebagaimana yang terjadi pada masa-masa awal penaklukan. Oleh karena itu, dengan mudah kita bisa melihat perbedaan antara masyarakat Uzbek, Tajik, Pashtun, Berber, India, Ad-Dilam, Turkmen, dan Kurdi beserta seluruh kecintaan dan ketaatan mereka kepada Islam, dengan kaum yang ditaklukan Banu Utsmaniyyah seperti bangsa Serbia, Yunani, Hongaria, Kroasia, Rumania, dan sebagainya. Maka tidak mengherankan jika mereka segera berkonspirasi dengan bangsa kafir Barat melawan Islam dan Negara Islam, serta tidak pernah berhenti mencari peluang untuk membalas dendam. Kemudian mulailah terjadi invasi budaya dan misionaris ke dalam tubuh Negara Islam, hingga pada puncaknya peradaban Barat berhasil meruntuhkan Negara Islam, mengoyak negeri-negeri muslim, dan memecah-belah kesatuan jamaah kaum Muslimin.

Namun serangan peradaban kapitalis Barat tidak berhenti sampai di sini. Mereka terus-menerus menyebarluaskan konsep-konsepnya tentang nasionalisme, patriotisme, demokrasi, hak asasi manusia dan liberalisme, hukum buatan manusia, dan merekayasa batas-batas imajiner antar kaum Muslimin. Mereka juga mengangkat para penguasa korup di negara-negara lemah tersebut sebagai antek-antek mereka, untuk menyebarluaskan pengaruh dan ide-ide kufur mereka, melindungi kepentingan mereka, mempertahankan sekat-sekat buatan mereka, menyesatkan kaum Muslimin dari jalan Allah, serta menentang setiap orang yang tulus ikhlas berusaha membebaskan diri dari hegemoni mereka.

Mereka juga dibantu oleh agen-agen yang terdiri dari para intelektual, yang senantiasa menyerukan pemikiran-pemikiran Barat dengan penuh gairah, mempertahankannya secara mati-matian, menentang setiap cuil konsep peradaban Islam, serta dengan membabi buta membela kepentingan musuh ummat. Para serdadu Salib dan agen-agen mereka di kalangan tokoh kaum Muslimin juga mengendalikan berbagai media massa dan sarana pendidikan, sehingga mereka layak disebut sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan.

Serangan pemikiran ini tidak akan pernah berhenti sebelum ide-ide kufur peradaban Barat seperti liberalisme, demokrasi, pluralisme, masyarakat madani (civil society), negara bangsa, hak asasi manusia, hak-hak perempuan, ikatan patriotisme, dialog antar agama, dan sebagainya, bisa berjalan dengan sempurna. Dengan demikian, sungguh hal ini merupakan suatu pertarungan pemikiran yang sangat keras antara dua peradaban: Islam dan kapitalisme. Benturan ini begitu jelas hingga tidak ada lagi bukti yang perlu diungkapkan, karena bisa kita rasakan dan saksikan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun para intelektual dan tokoh-tokoh kapitalis selalu berusaha menyembunyikannya melalui berbagai distorsi dan penyesatan.

Sekedar mengutip beberapa contoh, mantan Presiden AS Nixon pernah menyatakan dalam buku “The Favorable Opportunity” bahwa, “Isolasi kita sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan agama kita, yang menyerukan penyebarluasan kebaikan ke seluruh pelosok bumi.” Ia juga menulis dalam bukunya “Victory without War”, “Revolusi ideologi Islam merupakan suatu reaksi melawan modernisasi. Komunisme berjanji memutar jarum jam sejarah ke depan, sedangkan fundamentalisme Islam ingin memutar ke belakang ... Revolusi komunis dan Islam merupakan musuh ideologis yang mempunyai tujuan sama, yaitu ingin meraih kekuasaan dengan segala cara dengan maksud untuk menerapkan pemerintahan diktator berdasarkan konsep-konsep mereka yang tidak lagi dapat ditahan-tahan.” Kita juga mendengar pernyataan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, “Kita harus menyadari keunggulan peradaban kita. Masyarakat Timur masih berorientasi pada peradaban Barat dan orientasi ini akan terus meningkat. Hal ini pernah terjadi pada masyarakat komunis, demikian pula sejumlah bagian dunia Islam.” Teri Larson, koordinator perjanjian damai Oslo, menyambut gembira kecenderungan kaum Muslimin Palestina untuk melakukan normalisasi dengan masyarakat Barat. Salah seorang anggota delegasi Yahudi dalam perjanjian Oslo dan Wye River, Ori Speer, menjelaskan dalam bukunya, “The Course (Al Masirah), “Kerudung di kepala para muslimah mulai menghilang dan gaun mereka pun semakin diperpendek; hal ini disambut gembira oleh Larson, yang menganggapnya sebagai pertanda keinginan kaum muslimin untuk melakukan normalisasi dengan Barat.” Padahal tidak ada wanita yang berani melakukan perbuatan tersebut pada masa-masa awal Intifada, sebelum berlangsungnya perjanjian Oslo. Kita juga mendengar pernyataan Phyllis Oakley, mantan Staf Menteri Luar Negeri AS, “Kami setuju dengan pendapat bahwa benturan peradaban adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan.” Sementara itu, mantan Menteri Luar Negeri AS Madeline Albright mengatakan, “Kami diserang disebabkan karena identitas kami. Kami menganut globalisasi dan mempertahankan demokrasi, liberalisme, dan masyarakat yang terbuka. Inilah nilai-nilai dasar Amerika yang tidak bisa ditawar lagi.” (Majalah Al Quds, yang mengutip kata-kata Nathan Charles-Washington). Paul Kennedy, seorang dosen sejarah Universitas Yale AS mengatakan, “Prediksi bahwa serangan para teroris tidak akan berhenti merupakan prediksi yang sulit dihindari. Kami belum pernah memperoleh kesuksesan besar dalam hal mengantisipasi serangan seperti ini. Jin ini telah keluar dari leher botol dengan membawa semangat balas dendam; dan bom mobil telah berganti menjadi bom pesawat terbang.” (Majalah Al Quds, 22/9/2001). Mantan Presiden Israel Hertzog, pernah berkata di depan parlemen Polandia pada tahun 1992, “Fundamentalisme Islam tersebar dengan cepat. Gejala ini tidak saja membahayakan kaum Yahudi, tetapi juga membahayakan seluruh ummat manusia.” (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Sedangkan Shimon Peres pernah berkata, “Fundamentalisme menjadi bahaya terbesar abad ini pasca keruntuhan komunisme.” (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Cyrus Vance, mantan Menteri Luar Negeri AS juga mengatakan, “Kita harus hati-hati dan tegas dalam menangani orang-orang fanatik ini, yang tindakannya sulit diprediksi.” (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Sementara itu, ensiklopedi budaya Prancis menggambarkan Muhammad SAW sebagai  Anti-Kristus, penculik para wanita, dan musuh terbesar bagi akal manusia.”

Pernyataan-pernyataan di atas – dan berbagai pernyataan lain yang serupa – secara eksplisit mengungkapkan kebencian mereka terhadap Islam. Pernyataan mereka juga menunjukkan bahwa mereka – bersama dengan peradaban kapitalismenya – telah menyerang peradaban Islam dengan sangat keras.

Namun begitu, masih ada kelompok lain yang berupaya menebar debu di depan mata kaum Muslimin dengan maksud untuk menyesatkan mereka, membuat mereka terus tertidur lelap, dan menghalangi upaya kaum Muslimin dalam membuat perubahan. Kelompok ini tidak kurang jahatnya terhadap Islam dan kaum Muslimin. Demikianlah kita pernah mendengar mantan Presiden AS Clinton berkata, “Musuh kami di Timur Tengah adalah ekstrimisme.” Clinton menolak ide benturan peradaban. Demikian pula ia menyatakan bahwa perang yang terjadi tidak terkait dengan Islam, akan tetapi merupakan perang melawan kekuatan ekstremis yang berlindung di balik selubung agama dan nasionalisme. Clinton bahkan menambahkan, bahwa ekstremisme bertentangan dengan ajaran Islam, dan menekankan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi dan sikap moderat di dunia. (Majalah Al ‘Arabi nomor 514) Dalam mengomentari pernyataan Berlusconi di atas, Menteri Luar Negeri Belgia Louis Mitchell berkata, “Bila ada seorang perdana menteri dari suatu negara Uni Eropa berpendapat dengan jalan pikiran seperti ini, maka pendapat ini harus ditolak. Pandangan bahwa ada peradaban yang lebih baik atau lebih maju daripada peradaban lain merupakan pandangan yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat Eropa yang kami yakini.” (Lingkar studi di stasiun TV Al Jazeera) Bahkan Bush Jr. – yang menyatakan ‘Perang Salib’ secara terang-terangan – pun tetap mengunjungi Islamic Centre di Washington, dan melukiskan Islam sebagai agama perdamaian. Mitranya, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, juga menggambarkan Islam sebagai agama perdamaian. Bahkan ia sempat membacakan ayat suci Al Qur’an,
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya.” (QS Al Maaidah: 32)

Menghadapi ucapan-ucapan penyesatan seperti di atas, wajib bagi kaum muslimin untuk tidak terperdaya, karena tindakan mereka sama sekali bertolak belakang dengan ucapan-ucapannya. Tindakan mereka itulah yang sesungguhnya mencerminkan perasaan mereka yang paling dalam, yakni kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin. Kata-kata mereka tidak akan mampu membodohi kaum Muslimin.

Orang-orang ini tahu persis realitas Islam, bahkan tidak jarang mereka lebih paham Islam daripada kaum Muslimin sendiri. Nixon pernah berkata, “Ide-ide mereka tidak boleh dibiarkan ... Fundamentalisme akan membawa dunia kembali ke masa lalu ... Penganut Islam adalah musuh ideologis.” Dalam bukunya ‘The Favorable Opportunity’ Nixon mengatakan bahwa Islam bukanlah sekedar suatu agama, tetapi juga menjadi landasan suatu peradaban besar. Dengan demikian, ia membedakan antara Islam dan Nasrani. Dalam bukunya ia membahas tentang kaum fundamentalis sebagai berikut: “Mereka memutuskan untuk kembali pada peradaban Islam masa lampau dengan jalan membangkitkan kembali sistem lama. Dan mereka bermaksud menerapkan syariat Islam dan menyatakan bahwa Islam adalah sebuah agama dan sekaligus negara.” Lebih lanjut ia mengatakan, “Tetapi peradaban kita tidak lebih maju dari peradaban mereka. Dunia Islam memerangi komunisme jauh lebih kuat dibandingkan upaya masyarakat Barat memerangi komunisme. Dan penolakan mereka terhadap materialisme dan kerusakan moral, sebagaimana yang melanda masyarakat Barat, merupakan kelebihan mereka, bukan kekurangan mereka.”

Sebagaimana anda lihat, ungkapan-ungkapannya nampak tulus; namun demikian, ungkapan-ungkapan itu tidak menghalangi mereka untuk menyebut kaum Muslimin sebagai musuh ideologis. Ungkapan-ungkapan itu juga tidak menghalangi mereka untuk berkonspirasi melawan kaum Muslimin, serta membantu kaum Yahudi melawan ummat Islam. Dalam bukunya itu, Nixon menyatakan bahwa komitmennya membantu negara Yahudi merupakan suatu komitmen yang sangat besar. “Kami bukanlah sekutu resmi Israel, namun yang menyatukan kami adalah sesuatu yang lebih besar dari sekedar tulisan di atas kertas, yaitu komitmen moral; komitmen yang sama sekali belum pernah diabaikan oleh presiden kami di masa lalu, dan akan selalu dipenuhi oleh presiden kami di masa mendatang dengan penuh ketulusan. Amerika tidak akan pernah membiarkan musuh-musuh Israel – yang bersumpah akan memberikan bencana yang memilukan kepada Israel – dapat merealisasikan tujuan mereka.” Dalam bukunya itu, ia juga mengatakan, “Dalam rangka melindungi pemerintahan demokratis, seperti Israel dan Korea Selatan, dari ancaman pihak lain, kami siap menggunakan kekuatan militer bilamana diperlukan.” Ia menambahkan, “Tidak ada satu pun Presiden AS maupun anggota Kongres yang dapat memberikan izin bagi penghancuran Israel.”

Demikianlah, orang-orang seperti Nixon ini paham betul dengan realitas Islam dan peradaban Islam. Namun mereka tetap bersikukuh dengan kekufuran mereka, dengan permusuhannya terhadap Islam, dan dengan makar-makarnya. Ini bukan merupakan hal yang aneh. Kaum Muslimin mungkin tahu persis bahwa peradaban Barat bisa diibaratkan seperti anak kandung peradaban Islam, sehingga ada sebagian kalangan Muslim yang tetap kokoh memegang diin dan peradaban Islam. Namun tidak tertutup kemungkinan kalau ada sebagian lain yang bersikap sebaliknya. Dengan demikian, kaum Muslimin tidak boleh terperdaya dengan kata-kata manis para musuh Islam.

Keberadaan Khilafah rasyidah minhajin nubuwwah merupakan landasan kekuatan Islam dalam benturan antara Islam dan kekufuran. Alangkah sangat naif dan piciknya bila kita hendak melawan berbagai serangan mereka hanya dengan dakwah lewat bermacam media, menulis buku, dan kontak-kontak pribadi semata. Sementara pada saat yang sama Islam belum diterapkan secara kaaffah, sedang kaum Muslimin masih berada dalam keadaan yang lemah, terhina, terbelakang, dan terpecah-belah. Dalam keadaan seperti itu, keberadaan Khilafah merupakan solusi satu-satunya. Dengan Daulah Khilafah Islamiyah, maka akan terwujud keadilan, kehormatan, kebahagiaan, nilai-nilai kemanusiaan, dan segala bentuk kebaikan lainnya; dan pada saatnya nanti, kaum Muslimin dan kaum kafir akan menyaksikan hal tersebut. Keberadaan Khilafah akan menggantikan fungsi jutaan buku dan kontak-kontak pribadi serta ribuan media dakwah. Terlebih lagi bila keberadaan Khilafah tersebut dilengkapi dengan semua yang disebutkan itu; maka anda akan segera melihat, betapa orang akan berduyun-duyun memeluk diin Allah ini.

Sejarah Benturan Peradaban Islam Dan Peradaban Lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam