Sejarah Benturan Peradaban Islam Dan Peradaban Lain
Benturan Peradaban: Sejarah Benturan Peradaban antara Islam
dan Peradaban Lain
Benturan atau perang (shira’) antar agama dan
peradaban telah terjadi sejak zaman dahulu, dan yang menjadi pembahasan kita
adalah benturan antara Islam dengan agama dan peradaban lain. Sesungguhnya,
Islam adalah diin (agama) perjuangan sejak saat Rasulullah Muhammad SAW
diperintahkan untuk berdakwah secara terbuka hingga akhir zaman nanti. Ketika
Rasulullah SAW diperintahkan untuk menyampaikan risalah yang dibawanya secara
terbuka, mulailah terjadi pertarungan pemikiran antara konsep-konsep Islam
dengan konsep-konsep kufur. Pertarungan pemikiran ini terus berlanjut hingga
masa sekarang ini. Pertarungan pemikiran ini tidak akan pernah berhenti dan
memang tidak boleh berhenti, sekalipun kemudian terjadi berbagai bentuk
pertarungan lainnya. Pertarungan pemikiran dilakukan dengan jalan menentang
pemikiran pemikiran-pemikiran kufur secara tajam, dengan segala daya upaya dan
penuh ketegasan. Rasulullah SAW telah menunjukkan teladan dalam melaksanakan
perintah Allah ini, sebagaimana digambarkan dalam Al Qur’an,
“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah
adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” (QS Al Anbiya: 98)
Demikian pula,
“Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah,
yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa,
yang kaku kasar, selain dari itu yang terkenal kejahatannya.” (QS Al Qalam:
11-13)
Atau firman Allah,
“Kemudian sesungguhnya kamu hai orang yang sesat lagi
mendustakan, benar-benar akan memakan pohon Zaqqum, dan akan memenuhi perutmu
dengannya. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum
seperti unta yang sangat haus. Itulah hidangan untuk mereka pada hari
Pembalasan. Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan
hari berbangkit?” (QS Al Waqi’ah: 51-57)
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam
kesesatan (di dunia) dan di dalam neraka.” (QS Al Qamar: 47)
Begitu pula firman-Nya,
“Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita
minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (QS
Ali Imran: 61)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia
akan binasa.” (QS Al Lahab: 1)
Atau firman-Nya yang lain,
“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang
terputus (dari rahmat Allah).” (QS Al Kautsar: 3)
Pertarungan pemikiran ini sama sekali tidak bertentangan
dengan firman Allah,
“Serulah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan
dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS
An-Nahl: 125)
Karena, hikmah yang dimaksud dalam ayat ini adalah
bukti rasional (burhan al-aqli) dan dalil yang tak terbantahkan (hujjat
damigha). Sedangkan yang dimaksud dengan pelajaran yang baik adalah
peringatan yang menarik. Peringatan itu disampaikan dengan jalan membuat kesan
yang baik melalui pemikiran sekaligus menggugah perasaan, seperti ditunjukkan
dalam firman Allah SWT,
“Sesungguhnya neraka Jahannam itu ada tempat pengintai,
lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka
tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di
dalamnya dan tidak pula mendapat minuman, selain air yang mendidih dan nanah.
Itulah pembalasan yang setimpal.” (QS An Naba’: 21-26)
Lebih baik lagi bila perdebatan dilakukan dengan hati-hati;
dengan selalu berusaha menghindari bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lawan
debat, yaitu dengan berpaling dari cemoohan mereka. Atau dengan kata lain,
tinggalkan lawan debat anda. Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah
dalam Al Qur’an,
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara
mereka.” (QS Al Ankabut: 46)
Adalah lebih baik untuk menghindar dari bahaya yang bisa
mereka timbulkan akibat perdebatan dengannya. Terlebih lagi bila berhadapan
dengan orang-orang yang melakukan kejahatan dengan kekerasan fisik, atau
menolak penerapan hukum, atau menolak membayar jizyah; maka tidak ada jalan
lain dalam menghadapi mereka selain dengan pedang (peperangan).
Sebuah contoh pertarungan pemikiran ditunjukkan oleh
Rasulullah SAW dalam sebuah kejadian yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shiba dan
Abdurrazaq dalam Musnad-nya, maupun oleh para penulis sirah, dari
Qatadah bahwa Rasulullah SAW berkata kepada seorang laki-laki,
“Masuklah Islam, wahai Abu Al-Harits. Lelaki Nasrani
itu berkata, ‘Aku telah masuk Islam’. Lalu Rasulullah SAW berkata lagi, ‘Masuklah
Islam, wahai Abu Al-Harits.’ Kembali lelaki Nasrani itu berkata, ‘Aku telah
masuk Islam.’ Lalu Rasulullah SAW berkata untuk yang ketiga kalinya, ‘Masuklah
Islam, wahai Abu Al-Harits.’ Lelaki Nasrani itu berkata, ‘Aku telah masuk
Islam sebelum engkau.’ Maka Rasulullah SAW menjadi marah dan berkata, ‘Engkau
berdusta. Ada tiga hal yang menjadi penghalang antara engkau dan Islam, yaitu
engkau membeli khamr (beliau tidak berkata ‘meminum khamr’), engkau memakan
daging babi, dan tuduhanmu bahwa Allah mempunyai anak.”
Sedangkan As San’ani meriwayatkan dalam Tafsir-nya dari
Abdurrazaq dari Qatadah, bahwa Ubay bin Khalaf datang dengan membawa sepotong
gigi unta yang telah membusuk, kemudian melemparkannya ke udara sambil berkata,
‘Apakah Allah akan menghidupkan gigi ini, wahai Muhammad?’ Maka Rasulullah SAW
berkata,
“Benar. Allah akan menghidupkannya dan membinasakanmu
serta memasukkanmu ke dalam neraka.”
Sementara itu, Al Hakim meriwayatkan dalam Al-Mustadrak,
dan disahihkan dari Jabir bin Abdullah (ra), yang berkata,
“Suatu hari kaum musyrik Quraisy berkumpul, kemudian ‘Utbah
bin Rabi’ah mendatangi Rasulullah SAW sambil berkata, ‘Wahai Muhammad, siapa
yang lebih baik, engkau atau Abdullah? Rasulullah SAW diam. Kemudian Rasulullah
SAW berkata, ‘Apakah engkau sudah selesai?’ ‘Utbah berkata, ‘Ya.’ Maka
kemudian Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat Qur’an, ‘Bismillahirrahmaanirrahiim.
Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’ ... dan
seterusnya sampai ‘Jika mereka berpaling maka katakanlah, Aku telah memperingatkan
kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Tsamud.’
(QS Fushshilat: 1-13). Maka ‘Utbah berkata, ‘Cukup, cukup! Apakah engkau
mempunyai jawaban selain ini?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak.’ Maka kemudian
‘Utbah kembali kepada kaumnya. Kaum Quraisy kemudian bertanya, ‘Apa yang ada di
belakangmu?’ Utbah menjawab, ‘Aku tidak meninggalkan apapun selain bahwa aku
telah menanyakan hal yang ingin kalian tanyakan kepadanya.’ Mereka bertanya, ‘Apakah dia menjawabnya?’
‘Utbah menjawab, ‘Ya. Demi dzat yang menegakkan, aku sama sekali tidak paham
apa yang dia katakan, selain bahwa ia memperingatkan kalian tentang petir yang
menimpa kaum ‘Ad dan kaum ‘Tsamud.’ Kaum Quraisy berkata, ‘Celakalah kamu,
seseorang berkata kepadamu dalam bahasa Arab dan kamu tidak tahu apa yang dia
katakan?’ Utbah berkata, ‘Tidak. Demi Allah, aku tidak paham kecuali ketika dia
menjelaskan tentang badai dan petir.” Inilah sejumlah gambaran bentuk
pergulatan pemikiran yang diriwayatkan dari Rasulullah Muhammad SAW.
Sejumlah sahabat
juga melakukan hal semacam ini. Demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dengan
sanad dari Az Zubair yang mengatakan, “Orang pertama yang membacakan Al Qur’an
dengan keras di Makkah setelah Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Mas’ud.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari para sahabat Nabi berkumpul dan berkata,
‘Demi Allah, kaum musyrik Quraisy belum mendengar Al Qur’an dibacakan dengan
keras. Lalu, siapakah yang membacakan bagi mereka?’ Lalu Abdullah bin Mas’ud
berkata, ‘Aku.’ Mereka berkata, ‘Sebenarnya kami khawatir mereka menyerangmu.
Kita berharap ada seseorang kerabat yang melindungimu bila mereka hendak
membahayakanmu.’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Tinggalkan aku. Allah akan
melindungiku.’ Kemudian diriwayatkan bahwa pada hari berikutnya, Ibnu Mas’ud
mendatangi maqam Ibrahim di Ka’bah sebelum tengah hari dan membacakan ayat
Qur’an,
“Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Qur’an.”
(QS Ar Rahman: 1-2)
Kemudian dia menghadap kepada mereka dan membacakan Al
Qur’an. Diriwayatkan bahwa mereka merenungkan ayat tersebut, dan kemudian
bertanya, ‘Apa yang Ibnu Umm Abdullah katakan?’ Mereka menjawab, ‘Dia
membacakan ajaran Muhammad.’ Maka mereka berdiri dan kemudian memukul wajahnya,
namun Ibnu Mas’ud terus membacakan sampai batas yang dikehendaki Allah.
Kemudian dia menemui para sahabat dengan wajah yang penuh luka. Para sahabat
berkata, ‘Inilah yang kami khawatirkan atas kamu.’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Para
musuh Allah tidak akan lagi sekeji ini padaku, dan bila dikehendaki, aku akan
melakukan lagi hal ini esok hari. Para sahabat berkata, ‘Tidak. Sudah cukup
bagimu atas apa yang engkau sampaikan. Engkau telah membuat mereka mendengar
apa yang mereka benci.’
Ibnu Katsir
meriwayatkan dalam kitab ‘Jami’ al-Masaniid wa as-Sunan’ dari Hatib yang
diutus Rasulullah SAW kepada Juraij bin Mina, yang pernah bertemu dengan
Muqauqis dari Iskandariyah. Diriwayatkan bahwa Muqauqis pernah berkata
kepadanya, “Mengapa Nabimu tidak memerangi orang-orang yang mengusirnya dari
tanah kelahirannya?’ Maka Juraij menjawab, ‘Sama halnya seperti Nabimu, yang
tidak memerangi orang-orang yang berniat membunuhnya sampai Allah mengangkatnya
kepada-Nya.’ Maka kemudian Muqauqis berkata, ‘Engkau telah bertindak tepat.
Engkau adalah orang bijak yang berasal dari orang yang bijak.’
Sementara itu, Al
Hakim meriwayatkan dalam kitab Mustadrak, yang disahihkan oleh kedua
imam (Bukhari dan Muslim), dari Abu Musa (ra) yang berkata, ‘Rasulullah SAW
memerintahkan kami pergi ka negeri Raja Najasy. Hal ini terdengar oleh kaum
Quraisy. Maka kemudian mereka mengirim Amr bin al-Ash dan ‘Amara bin al-Walid
yang membawa sejumlah hadiah untuk Raja Najasy. Mereka datang kepada kami,
kemudian menghadap Raja Najasy, menyerahkan hadiah kepadanya, mencium dan
bersujud kepadanya. Kemudian Amr bin al-Ash berkata, “Sesungguhnya sekelompok
orang tidak suka dengan agama kami dan mereka pergi ke wilayah anda. An Najasy
berkata, “Di wilayahku?” Amr menjawab, “Ya.” Maka An Najasy berkata, “Hadapkan
mereka kepadaku.” Maka Ja’far bin Abi Thalib berkata kepada kami, “Janganlah
kalian berbicara. Aku menjadi juru bicara kalian hari ini.” Maka kemudian kami
mendatangi An Najasy saat ia sedang duduk di tempat pertemuan. Amr berada di
sebelah kanannya dan Amara di sebelah kirinya, sedangkan para pendeta dan rahib
duduk di sebelah mereka. Amr dan Amara berkata kepada An Najasy, “Mereka tidak
bersujud kepadamu.” Ketika kami sampai di hadapannya, para pendeta dan rahib
yang bersama An Najasy menegur, “Bersujudlah kepada rajamu.” Ja’far menjawab,
“Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah.” An Najasy bertanya kepada Ja’far,
“Dan siapa dia?” Ja’far menjawab, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada
kami Rasul-Nya, dan dialah Rasul yang diramalkan kedatangannya oleh Isa dengan
nama Ahmad. Ia memerintahkan kami menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan memerintahkan
kami berbuat kebaikan dan melarang kami berbuat kemunkaran. An Najasy berkata,
“Kata-katanya membuat orang terpesona.” Ketika Amr melihat hal ini, ia berkata
kepada An Najasy, “Allah memulikan sang Raja. Mereka menentang pendapat anda
tentang Isa bin Maryam.” Maka An Najasy bertanya kepada Ja’far, “Apa pendapat
sahabatmu tentang putera Maryam?” Ja’far menjawab, “Ia berkata tentang Isa
sesuai dengan firman Allah, ‘Ia adalah ruh dari Allah yang diciptakan dengan
kalimat-Nya dan disampaikannya kepada perawan suci Maryam, yang tak seorangpun
laki-laki mendatanginya.” Diriwayatkan kemudian bahwa An Najasy memungut
sepotong ranting dari tanah, kemudian mengangkatnya ke atas sambil berkata,
“Wahai para pendeta dan rahib-rahib, apa yang mereka katakan tentang Isa bin
Maryam hanya berbeda tidak lebih dari sebesar ini. Selamat datang kepada kalian
dan kepada Nabi kalian. Sungguh aku bersaksi bahwa ia adalah utusan Allah, dan
dialah yang diramalkan kedatangannya oleh Isa bin Maryam. Bila aku tidak
menjadi seorang raja, aku akan mengikutinya bahkan sampai membawakan alas
kakinya. Tinggallah di negeriku selama kalian suka.” Ia memerintahkan memberi
makanan dan pakaian kepada mereka. Dan kemudian An Najasy berkata, “Kembalikan
hadiah ini kepada dua orang ini.”
Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari Ummu Salamah dengan
riwayat yang lebih panjang dan lebih detil daripada hadits Abu Musa (ra) ini.
Al-Haitsami meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al Majma’a dan
menyatakan bahwa selain dari Ibnu Ishaq, para perawi hadits ini adalah perawi
yang sahih, dan secara eksplisit ia menyatakan bahwa ia mendengar sendiri
hadits tersebut.
Sepeninggal Rasulullah SAW, kaum Muslimin meneruskan perjuangan
melawan agama dan peradaban kufur dalam bentuk pertarungan pemikiran maupun
pertempuran fisik – yang akan terus berlanjut – hingga Islam tersebar luas
melintas batas-batas negeri, bahkan benua, hingga hanya tersisa sedikit wilayah
yang belum terjamah peradaban Islam. Ummat manusia berduyun-duyun masuk Islam
serta menanggalkan agama dan peradaban mereka sebelumnya, kemudian menjelma
menjadi satu kesatuan ummat dengan satu aqidah, satu pemikiran, satu pandangan
hidup, satu sistem kehidupan, satu kepentingan, dan satu tujuan, yakni
meninggikan kalimat Allah. Islam menguasai kedudukan sebagai negara utama di
dunia, sedangkan kota-kotanya menjadi pusat pancaran cahaya pemikiran, aqidah
tauhid, dan keadilan syariat. Kaum Muslimin mengemban risalah yang terkandung
dalam Al Qur’an dan As Sunnah dan membawa bahasa Arab ke pentas dunia, sehingga
Islam menjadi ideologi internasional dan minat kaum Muslimin terhadap bahasa
Arab begitu besar. Sampai kemudian muncullah di antara mereka para mujtahid dan
ahli bahasa, baik dari kalangan Arab maupun non-Arab; semuanya bersaudara
semata-mata karena Allah SWT.
Namun kemudian kita menyaksikan suatu kampanye jahat untuk
memisahkan bahasa Arab dari Islam dengan berbagai bentuk, antara lain
penggunaan bahasa percakapan sehari-hari, penulisan dengan huruf Latin di
beberapa wilayah non-Arab, dan menganggap bahasa tutur lokal sebagai bahasa
Arab. Sudah diketahui dengan pasti, bahwa tidak mungkin seseorang mempelajari
Islam tanpa memahami bahasa Arab, terlebih lagi bila ia ingin melakukan
ijtihad. Oleh karena itu mereka berharap bahasa Arab menjadi seperti halnya
bahasa Latin atau Syria, sehingga tidak seorangpun yang memahami Islam dengan
baik, kecuali orang-orang yang ahli dalam bahasa ini. Realitasnya, mereka ingin
bahasa Arab menjadi bahasa yang mati. Bagaimana mungkin orang yang tidak
mengerti bahasa Arab mampu memahami bentuk-bentuk informasi (khabar),
susunan (insya’a), perintah (amr), larangan (nahy), makna
harfiah (haqiqah) dan makna kiasan (majazi), alasan (‘illat),
sebab (sabab), syarat, pencegahan (ma’ani), umum (‘amm),
khusus (khash), pasti (mutlaq), terbatas (muqayyad), makna
eksplisit (mantuq), makna implisit (mafhum), dan keharusan (iltizam),
makna-makna surat, kata hubung, tata bahasa, dan sebagainya. Semuanya ini
penting untuk dapat memahami nash-nash syariat. Maka barangsiapa menyerukan
pemisahan bahasa Arab dengan Islam, maka sesungguhnya ia adalah musuh Islam,
dan siapapun dari kalangan Muslim yang terjebak dengan kesesatan ini, maka ia
tergolong orang-orang yang bodoh.
Namun demikian, kebanyakan pemeluk Islam tidak memahami Islam
dengan sempurna, bahkan termasuk orang-orang Arab sendiri. Sejak awal,
pemahaman mereka terhadap Islam memang sangat lemah disebabkan karena tiadanya
lingkungan yang mendukung perkembangan mereka. Sekalipun gerakan-gerakan
sempalan (kaum zindiq) telah digagalkan dan berhasil ditekan, namun
kelemahan dalam bahasa Arab menjadikan tertutupnya pintu ijtihad dan meluasnya
berbagai kebingungan dalam memahami hukum. Tak pelak hal ini membuat posisi
negara menjadi lemah, hingga menjadi negara yang kurang diperhitungkan. Keadaan
ini diperburuk dengan adanya penyusupan beberapa pemikiran yang berasal dari
agama dan peradaban lain ke dalam tubuh kaum Muslimin: seperti ascestisme
(bertapa) dan melukai badan sendiri dari filsafat Hindu, kesukuan, doktrin
merahasiakan makna sesuatu (bathiniyyah), dan kecenderungan melepaskan
diri dari pusat kekuasaan Khilafah, yang semakin memperlemah negara dan menghentikan
penaklukan-penaklukan. Bahkan kemudian datang pasukan Salib dan Tartar yang
menggerogoti kekuasaan kaum Muslimin.
Hingga kemudian Banu Utsmaniyyah tampil ke depan, dan mampu
menyatukan kembali hampir semua wilayah kekuasaan Islam serta melanjutkan
berbagai penaklukan. Akan tetapi, karakter militer yang mendominasi kekuasaan
Banu Utsmaniyyah tidak didukung dengan penyampaian ideologi yang benar.
Sehingga, orang-orang yang tinggal di wilayah-wilayah taklukan tidak sepenuhnya
lebur ke dalam Islam sebagaimana yang terjadi pada masa-masa awal penaklukan.
Oleh karena itu, dengan mudah kita bisa melihat perbedaan antara masyarakat
Uzbek, Tajik, Pashtun, Berber, India, Ad-Dilam, Turkmen, dan Kurdi beserta
seluruh kecintaan dan ketaatan mereka kepada Islam, dengan kaum yang ditaklukan
Banu Utsmaniyyah seperti bangsa Serbia, Yunani, Hongaria, Kroasia, Rumania, dan
sebagainya. Maka tidak mengherankan jika mereka segera berkonspirasi dengan
bangsa kafir Barat melawan Islam dan Negara Islam, serta tidak pernah berhenti
mencari peluang untuk membalas dendam. Kemudian mulailah terjadi invasi budaya
dan misionaris ke dalam tubuh Negara Islam, hingga pada puncaknya peradaban
Barat berhasil meruntuhkan Negara Islam, mengoyak negeri-negeri muslim, dan
memecah-belah kesatuan jamaah kaum Muslimin.
Namun serangan peradaban kapitalis Barat tidak berhenti
sampai di sini. Mereka terus-menerus menyebarluaskan konsep-konsepnya tentang
nasionalisme, patriotisme, demokrasi, hak asasi manusia dan liberalisme, hukum
buatan manusia, dan merekayasa batas-batas imajiner antar kaum Muslimin. Mereka
juga mengangkat para penguasa korup di negara-negara lemah tersebut sebagai
antek-antek mereka, untuk menyebarluaskan pengaruh dan ide-ide kufur mereka,
melindungi kepentingan mereka, mempertahankan sekat-sekat buatan mereka,
menyesatkan kaum Muslimin dari jalan Allah, serta menentang setiap orang yang
tulus ikhlas berusaha membebaskan diri dari hegemoni mereka.
Mereka juga dibantu oleh agen-agen yang terdiri dari para
intelektual, yang senantiasa menyerukan pemikiran-pemikiran Barat dengan penuh
gairah, mempertahankannya secara mati-matian, menentang setiap cuil konsep
peradaban Islam, serta dengan membabi buta membela kepentingan musuh ummat.
Para serdadu Salib dan agen-agen mereka di kalangan tokoh kaum Muslimin juga
mengendalikan berbagai media massa dan sarana pendidikan, sehingga mereka layak
disebut sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan.
Serangan pemikiran ini tidak akan pernah berhenti sebelum
ide-ide kufur peradaban Barat seperti liberalisme, demokrasi, pluralisme,
masyarakat madani (civil society), negara bangsa, hak asasi manusia,
hak-hak perempuan, ikatan patriotisme, dialog antar agama, dan sebagainya, bisa
berjalan dengan sempurna. Dengan demikian, sungguh hal ini merupakan suatu
pertarungan pemikiran yang sangat keras antara dua peradaban: Islam dan
kapitalisme. Benturan ini begitu jelas hingga tidak ada lagi bukti yang perlu diungkapkan,
karena bisa kita rasakan dan saksikan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun
para intelektual dan tokoh-tokoh kapitalis selalu berusaha menyembunyikannya
melalui berbagai distorsi dan penyesatan.
Sekedar mengutip beberapa contoh, mantan Presiden AS Nixon
pernah menyatakan dalam buku “The Favorable Opportunity” bahwa, “Isolasi
kita sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan agama kita,
yang menyerukan penyebarluasan kebaikan ke seluruh pelosok bumi.” Ia juga
menulis dalam bukunya “Victory without War”, “Revolusi ideologi Islam
merupakan suatu reaksi melawan modernisasi. Komunisme berjanji memutar jarum
jam sejarah ke depan, sedangkan fundamentalisme Islam ingin memutar ke belakang
... Revolusi komunis dan Islam merupakan musuh ideologis yang mempunyai tujuan
sama, yaitu ingin meraih kekuasaan dengan segala cara dengan maksud untuk
menerapkan pemerintahan diktator berdasarkan konsep-konsep mereka yang tidak
lagi dapat ditahan-tahan.” Kita juga mendengar pernyataan Perdana Menteri
Italia Silvio Berlusconi, “Kita harus menyadari keunggulan peradaban kita.
Masyarakat Timur masih berorientasi pada peradaban Barat dan orientasi ini akan
terus meningkat. Hal ini pernah terjadi pada masyarakat komunis, demikian pula
sejumlah bagian dunia Islam.” Teri Larson, koordinator perjanjian damai
Oslo, menyambut gembira kecenderungan kaum Muslimin Palestina untuk melakukan
normalisasi dengan masyarakat Barat. Salah seorang anggota delegasi Yahudi
dalam perjanjian Oslo dan Wye River, Ori Speer, menjelaskan dalam bukunya, “The
Course (Al Masirah), “Kerudung di kepala para muslimah mulai
menghilang dan gaun mereka pun semakin diperpendek; hal ini disambut
gembira oleh Larson, yang menganggapnya sebagai pertanda keinginan kaum
muslimin untuk melakukan normalisasi dengan Barat.” Padahal tidak ada
wanita yang berani melakukan perbuatan tersebut pada masa-masa awal Intifada,
sebelum berlangsungnya perjanjian Oslo. Kita juga mendengar pernyataan Phyllis
Oakley, mantan Staf Menteri Luar Negeri AS, “Kami setuju dengan pendapat
bahwa benturan peradaban adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan.”
Sementara itu, mantan Menteri Luar Negeri AS Madeline Albright mengatakan, “Kami
diserang disebabkan karena identitas kami. Kami menganut globalisasi dan
mempertahankan demokrasi, liberalisme, dan masyarakat yang terbuka. Inilah
nilai-nilai dasar Amerika yang tidak bisa ditawar lagi.” (Majalah Al Quds,
yang mengutip kata-kata Nathan Charles-Washington). Paul Kennedy, seorang dosen
sejarah Universitas Yale AS mengatakan, “Prediksi bahwa serangan para
teroris tidak akan berhenti merupakan prediksi yang sulit dihindari. Kami belum
pernah memperoleh kesuksesan besar dalam hal mengantisipasi serangan seperti
ini. Jin ini telah keluar dari leher botol dengan membawa semangat balas dendam;
dan bom mobil telah berganti menjadi bom pesawat terbang.” (Majalah Al
Quds, 22/9/2001). Mantan Presiden Israel Hertzog, pernah berkata di depan
parlemen Polandia pada tahun 1992, “Fundamentalisme Islam tersebar dengan
cepat. Gejala ini tidak saja membahayakan kaum Yahudi, tetapi juga membahayakan
seluruh ummat manusia.” (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Sedangkan Shimon
Peres pernah berkata, “Fundamentalisme menjadi bahaya terbesar abad ini
pasca keruntuhan komunisme.” (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Cyrus Vance,
mantan Menteri Luar Negeri AS juga mengatakan, “Kita harus hati-hati dan
tegas dalam menangani orang-orang fanatik ini, yang tindakannya sulit
diprediksi.” (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Sementara itu, ensiklopedi
budaya Prancis menggambarkan Muhammad SAW sebagai “Anti-Kristus, penculik para wanita, dan
musuh terbesar bagi akal manusia.”
Pernyataan-pernyataan di atas – dan berbagai pernyataan lain
yang serupa – secara eksplisit mengungkapkan kebencian mereka terhadap Islam.
Pernyataan mereka juga menunjukkan bahwa mereka – bersama dengan peradaban
kapitalismenya – telah menyerang peradaban Islam dengan sangat keras.
Namun begitu, masih ada kelompok lain yang berupaya menebar
debu di depan mata kaum Muslimin dengan maksud untuk menyesatkan mereka,
membuat mereka terus tertidur lelap, dan menghalangi upaya kaum Muslimin dalam
membuat perubahan. Kelompok ini tidak kurang jahatnya terhadap Islam dan kaum
Muslimin. Demikianlah kita pernah mendengar mantan Presiden AS Clinton berkata,
“Musuh kami di Timur Tengah adalah ekstrimisme.” Clinton menolak ide
benturan peradaban. Demikian pula ia menyatakan bahwa perang yang terjadi tidak
terkait dengan Islam, akan tetapi merupakan perang melawan kekuatan ekstremis
yang berlindung di balik selubung agama dan nasionalisme. Clinton bahkan
menambahkan, bahwa ekstremisme bertentangan dengan ajaran Islam, dan menekankan
bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi dan sikap moderat di dunia.
(Majalah Al ‘Arabi nomor 514) Dalam mengomentari pernyataan Berlusconi di atas,
Menteri Luar Negeri Belgia Louis Mitchell berkata, “Bila ada seorang perdana
menteri dari suatu negara Uni Eropa berpendapat dengan jalan pikiran seperti
ini, maka pendapat ini harus ditolak. Pandangan bahwa ada peradaban yang lebih
baik atau lebih maju daripada peradaban lain merupakan pandangan yang
bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat Eropa yang kami yakini.”
(Lingkar studi di stasiun TV Al Jazeera) Bahkan Bush Jr. – yang menyatakan ‘Perang
Salib’ secara terang-terangan – pun tetap mengunjungi Islamic Centre di
Washington, dan melukiskan Islam sebagai agama perdamaian. Mitranya, Perdana
Menteri Inggris Tony Blair, juga menggambarkan Islam sebagai agama perdamaian.
Bahkan ia sempat membacakan ayat suci Al Qur’an,
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu membunuh orang lain, atau karena membuat kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya.” (QS Al Maaidah: 32)
Menghadapi ucapan-ucapan penyesatan seperti di atas, wajib
bagi kaum muslimin untuk tidak terperdaya, karena tindakan mereka sama sekali
bertolak belakang dengan ucapan-ucapannya. Tindakan mereka itulah yang
sesungguhnya mencerminkan perasaan mereka yang paling dalam, yakni kebencian
kepada Islam dan kaum Muslimin. Kata-kata mereka tidak akan mampu membodohi
kaum Muslimin.
Orang-orang ini tahu persis realitas Islam, bahkan tidak
jarang mereka lebih paham Islam daripada kaum Muslimin sendiri. Nixon pernah
berkata, “Ide-ide mereka tidak boleh dibiarkan ... Fundamentalisme
akan membawa dunia kembali ke masa lalu ... Penganut Islam adalah musuh
ideologis.” Dalam bukunya ‘The Favorable Opportunity’ Nixon mengatakan
bahwa Islam bukanlah sekedar suatu agama, tetapi juga menjadi landasan suatu
peradaban besar. Dengan demikian, ia membedakan antara Islam dan Nasrani. Dalam
bukunya ia membahas tentang kaum fundamentalis sebagai berikut: “Mereka
memutuskan untuk kembali pada peradaban Islam masa lampau dengan jalan
membangkitkan kembali sistem lama. Dan mereka bermaksud menerapkan syariat
Islam dan menyatakan bahwa Islam adalah sebuah agama dan sekaligus negara.”
Lebih lanjut ia mengatakan, “Tetapi peradaban kita tidak lebih maju dari
peradaban mereka. Dunia Islam memerangi komunisme jauh lebih kuat dibandingkan
upaya masyarakat Barat memerangi komunisme. Dan penolakan mereka terhadap
materialisme dan kerusakan moral, sebagaimana yang melanda masyarakat Barat,
merupakan kelebihan mereka, bukan kekurangan mereka.”
Sebagaimana anda lihat, ungkapan-ungkapannya nampak tulus;
namun demikian, ungkapan-ungkapan itu tidak menghalangi mereka untuk menyebut
kaum Muslimin sebagai musuh ideologis. Ungkapan-ungkapan itu juga tidak
menghalangi mereka untuk berkonspirasi melawan kaum Muslimin, serta membantu
kaum Yahudi melawan ummat Islam. Dalam bukunya itu, Nixon menyatakan bahwa
komitmennya membantu negara Yahudi merupakan suatu komitmen yang sangat besar.
“Kami bukanlah sekutu resmi Israel, namun yang menyatukan kami adalah sesuatu
yang lebih besar dari sekedar tulisan di atas kertas, yaitu komitmen moral;
komitmen yang sama sekali belum pernah diabaikan oleh presiden kami di masa
lalu, dan akan selalu dipenuhi oleh presiden kami di masa mendatang dengan
penuh ketulusan. Amerika tidak akan pernah membiarkan musuh-musuh Israel – yang
bersumpah akan memberikan bencana yang memilukan kepada Israel – dapat
merealisasikan tujuan mereka.” Dalam bukunya itu, ia juga mengatakan, “Dalam
rangka melindungi pemerintahan demokratis, seperti Israel dan Korea Selatan,
dari ancaman pihak lain, kami siap menggunakan kekuatan militer bilamana
diperlukan.” Ia menambahkan, “Tidak ada satu pun Presiden AS maupun
anggota Kongres yang dapat memberikan izin bagi penghancuran Israel.”
Demikianlah, orang-orang seperti Nixon ini paham betul dengan
realitas Islam dan peradaban Islam. Namun mereka tetap bersikukuh dengan
kekufuran mereka, dengan permusuhannya terhadap Islam, dan dengan
makar-makarnya. Ini bukan merupakan hal yang aneh. Kaum Muslimin mungkin tahu
persis bahwa peradaban Barat bisa
diibaratkan seperti anak kandung peradaban Islam, sehingga ada sebagian
kalangan Muslim yang tetap kokoh memegang diin dan peradaban Islam.
Namun tidak tertutup kemungkinan kalau ada sebagian lain yang bersikap
sebaliknya. Dengan demikian, kaum Muslimin tidak boleh terperdaya dengan
kata-kata manis para musuh Islam.
Keberadaan Khilafah rasyidah minhajin nubuwwah
merupakan landasan kekuatan Islam dalam benturan antara Islam dan kekufuran.
Alangkah sangat naif dan piciknya bila kita hendak melawan berbagai serangan
mereka hanya dengan dakwah lewat bermacam media, menulis buku, dan
kontak-kontak pribadi semata. Sementara pada saat yang sama Islam belum
diterapkan secara kaaffah, sedang kaum Muslimin masih berada dalam
keadaan yang lemah, terhina, terbelakang, dan terpecah-belah. Dalam keadaan
seperti itu, keberadaan Khilafah merupakan solusi satu-satunya. Dengan Daulah
Khilafah Islamiyah, maka akan terwujud keadilan, kehormatan, kebahagiaan,
nilai-nilai kemanusiaan, dan segala bentuk kebaikan lainnya; dan pada
saatnya nanti, kaum Muslimin dan kaum kafir akan menyaksikan hal tersebut.
Keberadaan Khilafah akan menggantikan fungsi jutaan buku dan kontak-kontak
pribadi serta ribuan media dakwah. Terlebih
lagi bila keberadaan Khilafah tersebut dilengkapi
dengan semua yang disebutkan itu; maka anda akan segera melihat, betapa orang
akan berduyun-duyun memeluk diin Allah ini.
Sejarah Benturan Peradaban Islam Dan
Peradaban Lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar