Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 15 Juni 2013

Kepastian Benturan Antar Peradaban

Kepastian Benturan Antar Peradaban




Dalil Samar (Syubhat Dalil) bagi Orang-Orang yang Menyangkal Keniscayaan Benturan Peradaban

Demikianlah tadi telah disampaikan pernyataan dan tindakan para penganut peradaban kufur, yang menunjukkan kesesuaian antara keduanya. Namun demikian, masih ada kaum Muslimin yang menipu dan ada pula yang bersikap naif, yang selalu memaksakan diri berdialog serta menyangkal adanya benturan dan pertarungan peradaban. Sebagian ummat tetap melakukan dialog antar agama - khususnya dengan kaum Nasrani - dengan tujuan untuk mencari titik temu antara Islam dan Nasrani - misalnya sikap menentang atheisme. Mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa kufur adalah suatu aqidah lain, sebagaimana firman Allah,
"Bagimu agamamu dan bagiku agamaku." (QS Al Kafirun: 6)
Pada ayat sebelumnya, Allah menyeru kepada kaum kafir dengan bentuk jamak,
"Katakanlah, hai orang-orang kafir." (QS Al Kafirun: 1)
Kemudian Allah SWT menjelaskan diin dalam bentuk tunggal,
"Bagimu agamamu." (QS Al Kafirun: 6)

Demikian pula bila kita memahami masalah Palestina. Siapakah yang merekayasa pendirian negara Yahudi Israel, melindunginya, dan membantunya dengan uang, senjata, dan dukungan politik, selain negara-negara kafir yang tegak di atas peradaban kapitalis?

Jadi, orang-orang yang menipu ummat mempunyai kewajiban untuk menghentikan seruan kufur tersebut; karena sadar atau tidak, dengan berpendapat seperti itu mereka telah menjadi agen intelektual kaum kapitalis. Sedangkan kalangan Muslim yang bersikap naif telah menganggap remeh dan menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang tidak berguna, serta ikut serta menipu ummat. Mereka ikut serta dalam berbagai pertemuan dan dialog yang diadakan kaum Yahudi dan Nasrani. Seruan mereka adalah seruan yang penuh keraguan, yang dikumandangkan oleh orang-orang yang berniat memisahkan kaum Muslimin dari diinul Islam, dan hendak mencampuradukkan yang hak dan yang bathil.
"Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.' Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS Al Baqarah: 120)

Demikian juga firman-Nya,
"Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu." (QS Al Qalam: 9)
Yang dimaksud bersikap lunak adalah cenderung kepada mereka. Ayat ini, sekalipun berbicara tentang kaum musyrik Makkah, namun dapat pula dialamatkan pada setiap orang kafir dan musyrik. Ayat-ayat yang muhkamat (pasti) telah membuktikan; para sahabat pun bersepakat (ijma); dan Ummat Islam juga tahu pasti, bahwa ahli kitab masuk dalam golongan orang-orang kafir. Oleh karena itu tidak mungkin berkompromi atau cenderung kepada mereka. Sebaliknya, kita harus menunjukkan kesalahan agama mereka, kekufuran mereka, dan kebohongan mereka, serta menyeru mereka untuk masuk ke dalam diin yang hak, yakni diinul Islam. Setelah Khilafah berhasil ditegakkan, mereka pun diseru untuk masuk Islam; bila menolak masuk Islam, mereka harus membayar jizyah; bila masih juga menolak, baru kemudian mereka diperangi.

Adalah suatu kesesatan bila berdalil dengan firman Allah,
"Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik." (QS Al Ankabut: 46),
namun menyembunyikan penggalan ayat berikutnya, yaitu:
"kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka. Dan katakanlah, 'Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri." (QS Al Ankabut: 46)
Dengan demikian, menurut ayat ini, orang-orang yang berbuat zhalim diperkecualikan dari perintah untuk berdebat dengan cara yang paling baik. Merekalah orang-orang yang memerangi kaum Muslimin dan tidak mau membayar jizyah. Maka yang harus dilakukan kepada orang-orang seperti itu adalah dengan mengalahkan mereka, bukan berdebat dengan mereka.

Demikian pula merupakan suatu kesalahan menjadikan firman Allah,
"Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman, 'Berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya kami pun berbuat pula. Dan tunggulah, sesungguhnya kami pun menunggu." (QS Huud: 121-122)
sebagai dalil untuk "hidup berdampingan secara damai antara kami dan mereka". Ayat ini justru bermakna intimidasi dan ancaman; yaitu bahwa kaum Muslimin diperintahkan, tidak sekedar mengintimidasi atau mengancam mereka, namun untuk memerangi mereka bila tidak mau memeluk Islam atau (tetap kafir tapi tidak mau) membayar jizyah. Lalu di mana adanya 'hidup berdampingan secara damai' (tanpa masuk Islam atau membayar jizyah)?

Sementara itu, atas dasar firman Allah SWT,
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabi'in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS Al Hajj: 17)
beberapa kalangan menyerukan untuk "menyerahkan keputusan kepada Allah atas segala perbedaan aqidah dan perbuatan antara kita dan mereka". Bila makna yang dipahami adalah tidak memaksa mereka masuk Islam, maka pemahaman itu tidaklah keliru. Tetapi bila seruan itu dipahami sebagai membiarkan mereka dalam kekufuran dan tidak menyeru mereka untuk masuk Islam, maka pemahaman itu keliru. Karena, kita diperintahkan untuk berdakwah kepada mereka, sampai mereka masuk Islam, atau (tetap kafir serta) membayar jizyah, atau diperangi. Bila yang dimaksud adalah tidak memerangi mereka, maka pemahaman ini juga tidak tepat; karena perang ofensif (qital ath-thalab) merupakan salah satu kewajiban dalam Islam sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Ada pula sebagian kalangan yang menjadikan ayat Al Qur'an berikut,
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS Al Mumtahanah: 8)
sebagai dalil "bolehnya berbuat baik, adil, dan memperlakukan kaum kafir dengan baik". Maka katakanlah bahwa ayat ini ditujukan kepada orang-orang mukmin yang tinggal di Makkah dan tidak ikut hijrah, maka mereka boleh bermuamalah dengan mereka secara baik-baik. Bila dalil tersebut dimaknai bahwa setiap orang kafir boleh diperlakukan dengan baik, karena mereka tidak memerangi dan mengusir kaum Muslimin, maka pemahaman itu memang benar. Tentu saja, dalil itu tidak bisa digunakan terhadap orang-orang yang memerangi kaum Muslimin di Palestina, yang mengusir dan membantu pengusiran tersebut. Demikian pula, dalil itu tidak bisa ditujukan kepada orang-orang yang memerangi kaum Muslim Afghanistan, yang mengusir mereka, dan yang membantu pengusirannya. Begitu juga, dalil itu tidak bisa digunakan untuk orang-orang yang memerangi kaum Muslimin di Irak pada Perang Teluk Kedua, di Kashmir, di Chechnya, dan sebagainya.

Bila mereka menjadikan firman Allah,
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al Anfaal: 61)
sebagai dalil untuk mengatakan bahwa "Islam adalah agama perdamaian, dan bahwa perdamaian adalah asal kata Islam", maka ayat ini harus dipahami bersama dengan firman-Nya,
"Janganlah kamu bersikap lemah dan menyerukan perdamaian, padahal kamulah yang berada di atas (menang)." (QS Muhammad: 35)
Dengan demikian, bila kaum Muslimin hidup dalam keadaan bermartabat, kuat, berkuasa, dan sebagai satu jamaah, maka tidak ada istilah "perdamaian". Pertimbangan untuk menentukan manfaat atau mudharat dari sebuah perdamaian diserahkan sepenuhnya kepada Khalifah, dan tidak perlu ada pertimbangan dari orang lain kecuali yang mendapat amanat darinya.

Allah SWT berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (as-silm) secara kaaffah, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS Al Baqarah: 208)
Maka katakanlah bahwa perlu ada pemahaman mengenai siapa saja yang diseru oleh ayat ini, serta apa yang dimaksud dengan as-silm. 'Orang-orang yang beriman' dalam ayat ini bisa bermakna kaum Muslimin, tetapi bisa juga berarti orang-orang yang beriman terhadap nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Sedangkan as-silm bisa berarti Islam, tetapi bisa pula bermakna perdamaian (sulh).
Bila yang diseru adalah kaum Muslimin, maka tidak ada artinya memerintahkan mereka "masuk ke dalam perdamaian bersama kaum mukmin lainnya", karena yang diseru bukanlah prajurit tetapi sesama kaum mukmin. Makna yang lebih tepat adalah "masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, yaitu dengan menaati seluruh syariat Allah SWT, menegakkan aturan dan hukum-hukum-Nya, bukan dengan berusaha mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain."
Sementara itu, bila yang diseru adalah orang-orang yang beriman sebelum Nabi Muhammad SAW, tidak ada artinya juga menyerukan kepada mereka untuk "masuklah ke dalam perdamaian." Makna seperti itu tidak ada dalam Al Qur'an. Imam At Thabari mengatakan, "Sedangkan bila yang dimaksud adalah masuk ke dalam perdamaian, maka hal ini tidak dikenal dalam khazanah Al Qur'an." Dengan demikian, makna ayat tersebut adalah menyeru orang-orang mukmin untuk masuk Islam dan untuk masuk secara keseluruhan. Jadi, siapapun yang diseru ayat itu, tidak ada seruan bagi kaum Muslimin untuk ikut serta ke dalam suatu perjanjian perdamaian dengan kaum kafir atau perdamaian bersama (muwada'ah).

Sebagian kalangan ada pula yang menggunakan firman Allah SWT,
"Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak memerangi kamu serta menyerukan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu untuk memerangi mereka." (QS An Nisa': 90)
untuk melarang kaum Muslimin memerangi kaum kafir yang membiarkan kaum Muslimin. Maka katakanlah bahwa ayat ini sebenarnya berkaitan dengan orang-orang munafik yang minta perlindungan kepada kaum yang mempunyai perjanjian dengan kaum Muslimin, dan mereka mengikuti aturan dan hukum kaum tersebut. Ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik yang keluar bersama orang-orang kafir untuk memerangi kaum Muslimin, tetapi kemudian mundur dari peperangan, sebagaimana para munafik yang ikut bersama kaum musyrik Quraisy pada Perang Badr. Maka bagi mereka yang mundur dan minta perlindungan kepada kaum yang punya perjanjian dengan kaum Muslimin, tidak ada alasan untuk dibunuh.

Bila mereka mengajukan firman Allah SWT,
"Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka." (QS Al Hajj: 39)
untuk mendukung pendapat mereka, bahwa "izin berperang hanya diberikan kepada kaum yang teraniaya untuk melawan orang-orang yang memeranginya". Maka katakanlah bahwa perintah untuk berperang merupakan perintah yang mutlak, tanpa ada syarat berupa penganiayaan. Alasannya adalah bahwa penggalan ayat "karena sesungguhnya mereka telah dianiaya" bukan menjadi 'illat hukum peperangan, namun hanya merupakan gambaran realitas (wasf waqi'). Ketika kaum musyrik Quraisy menganiaya kaum Muslimin yang akan mendatangi Rasulullah SAW, memukuli dan melukai kepala mereka, maka kaum Muslimin mengadu kepada Rasulullah SAW. Namun ternyata Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, "Bersabarlah, karena aku belum mendapat perintah untuk berperang" sampai mereka berhijrah. Kemudian turunlah ayat ini, di mana Allah memerintahkan kaum Muslimin berperang setelah sekian lama Ia mencegahnya. Ad Dhahak berkata, "Para sahabat Rasulullah SAW meminta izin untuk memerangi orang-orang kafir ketika mereka menganiayanya, namun Allah berfirman,
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat." (QS Al Hajj: 38)
Tetapi setelah berhijrah, Allah menurunkan firman-Nya,
"Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka." (QS Al Hajj: 39)
Dengan demikian, ayat ini diturunkan untuk mencabut larangan bagi kaum Muslimin dalam memerangi orang-orang kafir. Oleh sebab itu, ayat ini menggambarkan suatu situasi yang spesifik, sekalipun mengandung perintah untuk berperang melalui makna isyarat (dalalat al-isyarah). Jadi, ayat itu tidak menjelaskan legitimasi mengenai berperang di jalan Allah secara umum, tetapi legitimasi untuk berperang untuk menjauhkan mara bahaya. Oleh karena itu tidak ada kontradiksi antara ayat ini dan ayat-ayat dalam Surat At Taubah. Selain itu, ayat-ayat dalam Surat At Taubah diturunkan belakangan, jadi tidak ada kemungkinan untuk dinasakh (dihapus), ditakhsis (dikhususkan), atau ditaqyid (dibatasi).

Bila mereka merujuk pada hadits dari Ibnu Awfa, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Hai manusia, janganlah berharap bertemu dengan musuh dan berdoalah kepada Allah agar mendapat keselamatan. Apabila engkau bertemu mereka, bersabarlah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu ada di bawah bayangan pedang."
Maka ketahuilah, bahwa hadits tersebut tidak berkaitan dengan perjanjian damai, karena isinya adalah tentang larangan untuk berharap bertemu musuh, bukan larangan untuk memerangi mereka atau perintah untuk membuat perjanjian damai dengannya. Para ulama mengatakan bahwa pelarangan itu berkaitan dengan perkara yang ada di balik harapan itu, yaitu kebanggaan ('ijab). Jadi penunjukan hadits ini sebagai dalil perjanjian damai dengan kaum kafir merupakan langkah yang tidak tepat.

Ada pula pengambilan kesimpulan dengan ayat-ayat Al Qur'an atau hadits yang tampaknya tidak perlu dibantah dan tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. Namun demikian, kami akan menunjukkan di sini dengan maksud untuk membuktikan bahwa ada beberapa di antara penyeru dialog yang berusaha dengan segala cara mencari dalil untuk mendukung pendapat mereka. Tujuan utama mereka adalah untuk membuktikan bahwa Islam adalah diin perdamaian dan bukan diin perjuangan, pertarungan, dan jihad. Sebaliknya, dalam pandangan mereka, Islam adalah diin keamanan, perdamaian, dan toleransi. Beberapa nash yang mereka klaim sebagai dalil bagi pandangan mereka adalah sebagai berikut:
"Dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS Quraisy: 4)
"... tanah suci yang aman." (QS Al Ankabut: 67)
"Dan demi kota ini yang aman." (QS At Tin: 3)
"Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa." (QS An Nuur: 55)
Demikian pula sabda Rasulullah SAW,
"Siapapun di antara kalian bangun dalam keadaan aman dalam kelompoknya (sirb)."
Jelas bahwa menjadikan nash-nash di atas sebagai dalil bagi pendapat kufur mereka merupakan bentuk pelecehan terhadap syariat dan juga pelecehan pikiran ummat.

Kepastian Benturan Antar Peradaban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam