Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 15 Juni 2013

Islam Melindungi Warga Non-Muslim

Islam Melindungi Minoritas Non-Muslim




Warga non-Muslim Sejahtera di bawah Daulah Islamiyah


Salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak syariat Islam adalah adanya non-muslim di masyarakat. Mereka mengira bila Islam diterapkan semua orang harus beralih agama, hak beragama non-muslim diabaikan. Padahal, siapapun yang memahami tindakan Nabi akan menolak pandangan seperti tadi.

Negara Islam yang dimulai sejak Rasulullah Saw. mendirikan negara Islam awalnya dari kota Yatsrib (Madînah ar-Rasul atau al-Madînah al-Munawwaroh) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga negara, baik muslim maupun non-muslim. Orang-orang non-muslim yang menjadi warga negara di dalam sistem negara Islam dikenal sebagai ahlu dzimmah, yakni penduduk non-muslim yang menjadi warga negara yang tunduk kepada sistem Islam. (Lihat: TQS at-Taubah: 29)

Kesamaan hukum di depan pengadilan Islam ini tampak jelas dalam kasus baju besi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan bahwa sekembali beliau dari Perang Shiffin, Khalifah Ali merasa kehilangan baju besi (dzira’), baju perlengkapan perang, dan beliau malah menemukan baju miliknya itu di toko seorang Yahudi ahlu dzimmah. Ali mengatakan kepada pemilik toko Yahudi itu, “Ini baju besiku. Aku belum pernah menjualnya dan belum pernah memberikan kepada orang lain. Bagaimana bisa ada di tokomu?”
Orang Yahudi itu membantahnya. Ia mengklaim baju itu miliknya sebab ada di tokonya. Ali, penguasa yang sah yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, tidak serta merta mengambil paksa harta milknya. Akan tetapi, ia mengajak Yahudi itu menyelesaikan perkara tersebut di pengadilan. Qadhi Syuraih, yang mengadili perkara itu, meminta Ali menghadirkan saksi atas kepemilikan tersebut. Beliau mengemukakan Hasan, putranya, dan Qonbar pembantunya. Akan tetapi, Qadhi Syuraih menolak saksi tersebut. Ali menegaskan, “Apakah Anda menolak kesaksian Hasan yang oleh Rasul dikatakan sebagai pemuda penghulu surga?”
Meskipun demikian, Qadhi Syuraih bersikukuh dengan ketetapannya dan Ali pun menerima kalah dalam perkara tersebut. Saat itulah, orang Yahudi pemilik toko itu angkat bicara, “Duhai Khalifah Ali, Amirul Mukminin, Anda berperkara denganku tentang baju besi milikmu. Akan tetapi, hakim yang engkau angkat ternyata memenangkan aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (Lihat: Imam as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’).

Sungguh, keadilan hukum Islam dan persamaan hukum seluruh warga negara di hadapan hukum Islam telah membuka hati orang Yahudi itu untuk menerima hidayah Islam. Allahu Akbar!

Di samping persamaan di dalam hukum, Khilafah tidak diam terhadap kezaliman yang menimpa orang-orang non-muslim. 
Diriwayatkan bahwa ada kasus kezaliman seorang anak penguasa di wilayah propinsi Mesir di masa Khalifah Umar ibn al-Khaththab r.a. Beliau segera memanggil anak Gubernur dan bapaknya (Amr bin A’sh r.a.). Dalam sidang yang ditegakkan keadilannya, tanpa membedakan agama warga negara, anak gubernur Mesir itu mengaku bahwa dia mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani (Koptik). Sesuai hukum acara pidana Islam, Khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah menerima bayaran ganti rugi (diyat) atas kezaliman itu. Anak Qibthi itu memilih Qishash. Ia pun mencambuk anak Gubernur. Setelah pelaksanaan hukum Qishash itu, Khalifah Umar mengatakan: “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak Gubernur, oleh karena itu, cambuk saja Gubernur itu sekalian!”
Akan tetapi, anak Qibthi Nasrani itu menolaknya dan telah menyatakan kepuasannya dengan keadilan hukum yang diperolehnya dalam hukum Qishash. Umar pun berkomentar, “Hai Amr (Gubernur Mesir di masa Khalifah Umar), sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?” (Lihat: Manaqib Umar)

Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan kepada kita bahwa konsep dan pelaksanaan hukum Islam di masa khilafah itu penuh dengan keadilan. Oleh karena itu, bohong besar apa yang dikatakan oleh orang anti-Islam yang memprovokasi bahwa kalau berdiri negara Islam, maka orang-orang Nasrani akan mendapat bahaya atau diskriminasi.

Provokasi murahan demikian bertentangan sekali dengan isi surat Nabi Muhammad Saw. kepada penduduk Yaman yang sebelum masuk Islam merupakan mayoritas Yahudi dan Nasrani: “Siapa saja yang masih tetap dalam agama Yahudi dan Nasrani yang dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya membayar jizyah.” (Lihat: Ahkam adz-Dzimmi, An-Nabhani, As-Syakhsihiyyah Islamiyyah, juz 2/237). Begitu pula tindakan Nabi Muhammad Saw. yang menerapkan hukum rajam kepada dua orang Yahudi yang berzina, sebagaimana beliau juga pernah menjatuhkan hukum rajam kepada seorang wanita muslimah dan seorang pria muslim (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhom al Uqubat).

Begitulah ajaran Islam yang telah diterapkan oleh Rasul Saw. beserta para sahabatnya. Karenanya, jelas bahwa sejak awal Islam hidup dan berhasil memimpin masyarakat di tengah pluralitas (bukan pluralisme) agama. Manakah yang hendak dipilih menerapkan syariat Islam untuk menyelesaikan berbagai problematika kemanusiaan dewasa ini ataukah menolaknya hanya sekedar kekhawatiran –yang senyatanya berhenti pada kekhawatiran semata- atas beragamnya masyarakat dengan tetap membiarkan umat manusia meluncur menuju jurang kehancuran ke arah kebinatangan (yang kerusakannya sudah jelas nyata sejak lama)? Adalah tidak layak umat Islam menolak penerapan syariat Islam dengan alasan adanya pluralitas masyarakat, padahal Rosullulah telah menerapkan syariat Islam justru pada masyarakat yang plural (beragam).

Islam Melindungi Rakyat Non-Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam