Ukuran Kemiskinan
Tolok Ukur Kemiskinan –
Standar Kemiskinan
Muqaddimah
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah
dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, namun juga di kota-kota. Di
balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak
terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau
para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan.
Anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan
berkurang, tetapi justru terus bertambah. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi
melanda Indonesia. Disadari atau tidak, semua itu merupakan buah pahit
kekufuran Kapitalisme. Sebab memang sistem kufur kapitalislah yang diterapkan
saat ini dan kemiskinan itulah yang terjadi. Bahkan tak sekadar kemiskinan,
kesenjangan pun makin lebar antara orang kaya dan miskin. Pada tahun 1985,
misalnya, pendapatan per kapita Indonesia sebesar 960 dolar AS per orang per
tahun. Dari angka tersebut 80% daripadanya dikuasai hanya oleh 300 grup
konglomerat saja. Sedangkan sisanya 20%, diperebutkan oleh hampir 200 juta
penduduk. (Republika, 28 Agustus 2000)
Harus diakui, sistem kufur kapitalisme memang telah
gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang
terjadi justru menciptakan kemiskinan. Jika demikian halnya mengapa umat tidak
segera berpaling pada Islam? Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki banyak
aturan untuk mengatasi berbagai problem kehidupan, termasuk kemiskinan.
Bagaimana Islam mengatasi masalah ini, makalah ringkas ini mencoba untuk
menguraikannya.
Pandangan Islam Tentang Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu sebab kemunduran dan
kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman
dari setan. Allah Swt. berfirman:
]الشَّيْطَانُ
يَعِدُكُمُ
الْفَقْرَ[
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (TQS. Al-Baqarah [2]: 268)
Karena itulah, Islam sebagai risalah paripurna dan
sebuah ideologi yang shahih, sangat concern
terhadap masalah kemisikinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya.
Dalam fiqih, dibedakan antara istilah Fakir dan
Miskin. Menurut pengertian syara’, Fakir adalah
orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa. (An-Nabhani,
Taqiyuddin., Nadzamul Iqtishadiy fil Islam, hal. 207; Abdul Qadim
Zallum, al-Amwal fi Daulatil Khilafah, hal 192; Sulaman Rasjid, Fiqh
Islam, hal 207)
Dari pengertian kedua istilah di atas, nampak bahwa
kriteria Fakir sebenarnya telah mencakup kriteria Miskin. Karena itulah dalam
pembahasan selanjutnya, kedua istilah tersebut dilebur dalam satu istilah yaitu
miskin, dengan pengertian orang-orang yang tidak mempunyai kecukupan
harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, berupa pangan, sandang dan papan.
Syariat Islam telah menetapkan kebutuhan pokok
(primer) bagi setiap individu adalah pangan, sandang, dan papan. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى
الْمَوْلُودِ
لَهُ
رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban
ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ
مِنْ
وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai
dengan kemampuanmu. (TQS. ath-halaq [65]: 6)
Rasulullah Saw. bersabda:
Dan kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka
belanja (makanan) dan pakaian. (HR. Ibn
Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Sebagai kebutuhan primer, ketiga hal tersebut, harus
terpenuhi secara keseluruhan. Jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka
seseorang terkategori sebagai orang miskin.
Tolok ukur kemiskinan ini berlaku untuk semua
manusia, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Tidak boleh ada pembedaan
tolok ukur kemiskinan bagi orang yang tinggal di satu tempat dengan tempat
lainnya, atau di satu negeri dengan negeri lainnya. Misalnya, orang yang
tinggal di Amerika dikatakan miskin jika tidak memiliki mobil pribadi (walaupun
tercukupi pangan, sandang dan papannya). Sementara di negeri lain, orang
semacam ini tidak dikatakan miskin. Pandangan semacam ini bathil dan tidak
adil. Sebab, Syariat Islam
diturunkan untuk menusia sebagai manusia, bukan sebagai individu. Sehingga
tidak ada perbedaan dari sisi kemanusiaan antara orang yang tinggal di suatu
negeri dengan negeri lainnya. Seandainya sebuah Negara Khilafah memerintah
rakyatnya di berbagai negeri, di Mesir, Yaman, Sudan, Indonesia, Jerman, dan
lain-lain; maka tidak sah jika pandangan pemerintah tersebut terhadap
kemiskinan berbeda-beda antara rakyat yang satu dengan yang lain.
Lebih dari itu, yang ditetapkan syariat Islam sebagai kebutuhan
pokok sebenarnya bukan hanya pangan, sandang, dan papan. Ada hal lain yang
juga termasuk kebutuhan pokok yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Hanya
saja, pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dibebankan kepada individu masyarakat,
melainkan langsung menjadi tanggungjawab negara Islamiyah. Dalam membahas
kemiskinan, ketiga hal ini tidak dimasukkan dalam perhitungan, karena memang
bukan tanggungjawab individu.
Ukuran Kemiskinan
{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar