Keefektifan Hukum Islam – Keampuhan
Syariat Islam
Syariat/Hukum
Islam Terbukti Efektif
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
Keampuhan Syariat Islam karena Dorongan Takwa Individu dan Ketegasan Negara Islamiyah
Membicarakan
tentang syariat Islam tidak bisa dipisahkan dengan akidah Islam. Sebab, syariat
Islam muncul dan berasal dari akidah Islam. Oleh karena itu syariat Islam tidak
akan dapat tegak di tengah-tengah masyarakat, kecuali masyarakat tersebut telah
menjadikan akidah Islam (tentu juga syariatnya) sebagai pandangan hidup, sebagai
ideologi (mabda)-nya. Sehingga
masyarakat tersebut memiliki ciri khas sebagai masyarakat Islam, yang
menjalankan sistem hukum (peraturan) Islam secara total.
Al-Quran
telah menggandeng keimanan dengan kerelaan untuk menerima dan menjalankan
sistem hukum Islam. Firman Allah Swt.:
﴿فَلاَ
وَرَبِّكَ
لاَ
يُؤْمِنُوْنَ
حَتَّى
يُحَكِّمُوْكَ
فِيمَا
شَجَرَ
بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لاَ
يَجِدُوْا
فِيْ
أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا
مِمَّا
قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوْا
تَسْلِيمًا﴾
‘Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan. Dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.’ (TQS.
an-Nisa [4]: 65)
Ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara perkara akidah
(yang menyangkut keimanan) dengan syariat (yang menyangkut sikap rela dengan
pelaksanaan hukum Islam) tidak dapat dipisahkan. Dan menganggap bahwa Muslim
mana saja yang mengaku-ngaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi tidak
mau menjalankan hukum-hukum Islam, bahkan menolak penerapan hukum Islam atas
dirinya, atas masyarakat dan atas negara, maka sama saja ia dengan orang yang tidak beriman.
Seorang Muslim tidak patut melawan dan menolak penarapan sistem hukum Islam.
Rasulullah Saw. bersabda:
«لاَ
يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ
حَتىَّ
يَكُوْنَ هَوَاهُ
تَبَعًا
لِمَا جِئْتُ
بِهِ»
‘Tidak
beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa
yang telah didatangkan bersama aku (yaitu hukum-hukum Islam)’
Sungguh sikap penolakan dan perlawanan atas diterapkannya sistem
hukum Islam yang tampak di sebagian masyarakat kaum Muslim –terutama kalangan
intelektualnya- sangat berbeda dengan sikap kaum Muslim di masa Rasulullah Saw.
Ibnu Jarir berkata, telah
berkata kepadaku Muhammad bin Khilif, dari Sa’id bin Muhammad al-Harami, dari
Abi Namilah, dari Salam maula Hafsh Abi al-Qasim, dari Abi Buraidah dari
bapaknya, yang berkata, ‘Kami tengah duduk-duduk sambil minum di atas pasir,
dan kami bertiga atau berempat. Di
tengah kami terdapat bejana (berisi khamar), dan kami tengah minum-minum menikmatinya. Saat itu Rasulullah Saw. menerima ayat
pengharaman khamar (TQS. al-Maidah [5]: 90-91). Akupun datang kepada sahabat-sahabatku,
lalu aku bacakan ayat tersebut sampai pada bagian akhir ayat (yaitu), ‘Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)’. (Ia berkata), sebagian masyarakat (saat itu) tengah
memegang minuman di tangannya, sebagian lagi telah meminumnya, dan sebagian
lagi (khamarnya) masih berada di dalam cangkirnya. Tatkala cangkirnya diangkat
(hampir menyentuh bibirnya), maka seketika itu juga dicampakkannya cangkir dan
wadah-wadah khamar, seraya (mereka) berkata: ‘Kami telah berhenti wahai Tuhan
kami’ (Tafsir Ibnu Katsir, jilid II/118).
Hanya masyarakat yang memiliki
akidah mendalam dan terpateri di dalam jiwanyalah yang sanggup menyingkirkan
hawa nafsu dan keinginannya yang jahat, seraya mendengar dan mentaati apa saja
yang berasal dari Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Akidah pulalah yang mendorong al-Ghamidiyah mendatangi Rasulullah
Saw., memintanya untuk mensucikan dirinya dari perbuatan dosa (yaitu berzina).
Dari ‘Abdullâh bin Buraidah dari bapaknya berkata:
«جَاءَتْ
الْغَامِدِيَّةُ
فَقَالَتْ
يَا رَسُوْلَ
اللهِ
إِنِّيْ
قَدْزَنَيْتُ
فَطَهِّرْنِيْ،
وَأَنَّهُ
رَدَّهَا،
فَلَمَّا
كَانَ الْغَدُّ
قَالَتْ يَا
رَسُوْلَ
اللهِ لِمَ
تُرَدَّدْنِيْ،
لَعَلَّكَ
تَرُدَّدْنِيْ
كَمَا
رَدَّدْتَ
مَاعِزًا،
فَوِ اللهِ
إِنِّيْ
لَحُبْلَى،
قَالَ:
إِمَّالاَ
فَاذْهَبِي
حَتَّى
تَلِدِيْ:
فَلَمَّا
وَلَدَتْ
أَتَتْهُ
بِالصَّبِّي
فِي
خِرْقَةٍ،
قَالَتْ: هَذَا
قَدْ وَلَدْتُهُ،
قَالَ:
اِذْهَبِي
فَارْضِعِيْهِ
حَتَّى
تَفْطِمِيْهِ،
فَلَمَّا
فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ
بِالصَّبِيِّ
فِي يَدِهِ
كِسْرَةُ
خُبْزٍ،
فَقَالَتْ:
هَذَا يَا
نَبِيَ اللهِ
قَدْ
فَطَمْتُهُ،
وَقَدْ
أَكَلَ
الطَّعَامَ،
فَدَفَعَ
الصَّبِيَّ
اِلَى رَجُلٍ
مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ،
ثُمَّ أَمَرَ
بِهَا
فَحُفِرَ
لَهَا اِلَى
صَدْرِهَا،
وَأَمَرَ
النَّاسَ
فَرَجَمُوْهَا»
Telah
datang kepada Rasulullah Saw., al-Ghâmidiyyah dan ia berkata, “Ya Rasulullah Saw.,
aku telah berzina, sucikanlah aku!” Beliau Saw. menolaknya. Besoknya ia berkata
lagi, “Wahai Rasulullah mengapa engkau menolak aku, engkau menolak aku
sebagaimana engkau menolak Ma’iz. Demi Allah aku telah hamil”. Rasulullah Saw.
bersabda, “Jangan, pulanglah sampai engkau melahirkan.” Ketika ia telah
melahirkan, ia mendatangi Rasulullah Saw. kembali dengan anaknya yang berada di
gendongan, seraya berkata, “Ini adalah anakku.” Rasulullah Saw. bersabda,
”Pergi, dan susuilah sampai engkau menyapihnya!” Ketika ia telah menyapihnya ia
mendatangi Rasulullah Saw. sambil membawa anaknya yang sedang menggenggam
sepotong roti. Ia kemudian berkata, “Ya Nabiyullah, aku telah menyapihnya, dan
ia sudah bisa memakan makanan”. Lalu, anak itu diberikan kepada salah seorang
laki-laki dari kaum Muslim. Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan menanam wanita
itu hingga dadanya, lalu memerintahkan manusia untuk merajamnya.
Untuk meraih keridlaan Allah
Swt., dan kebahagiaan di akhirat Ghamidiyyah bersedia mengakui perzinaannya,
mendatangi Rasulullah Saw. untuk disucikan dengan diterapkan atasnya hukum
rajam bagi pezina (yang sudah menikah), kemudian dirajam hingga mati.
Rasulullah Saw. berkomentar tentang kesediaan Ghamidiyah untuk menerima hukuman
rajam:
«لَقَدْ
تاَبَتْ
تَوْبَة لَوْ
قُسِمَتْ بَيْنَ
سَبْعِيْنَ
مِنْ أَهْلِ
الْمَدِيْنَةِ
لَوَسِعَتْهُمْ»
“Sungguh ia telah bertaubat, seandainya dibagi antara 70 penduduk
Madinah, sungguh akan mencakup semuanya.”
Mereka meminta negara Islam agar
menjatuhkan sanksi atas pelanggaran mereka di dunia agar sanksi akhirat bagi
mereka gugur. Oleh karena itu Ghamidiyyah berkata kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah sucikanlah aku!” Mereka
mengakui pelanggaran yang mereka lakukan agar mereka dikenai had oleh Rasulullah Saw. selaku kepala
daulah Islamiyah sehingga mereka terbebas dari ‘adzab Allah di hari akhir.
Mereka rela menanggung sakitnya had
dan qishash di dunia, karena takut
adzab akhirat. Oleh karena itu ‘uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir
(penebus).
Seorang
mukmin mengetahui bahwa Allah Swt. senantiasa mengawasinya, baik ia tengah
sendirian, berduaan, ataupun berada di tengah-tengah kerumunan manusia. Allah Swt. Maha Mendengar bisikan hati setiap
manusia. Allah Swt. Maha Melihat apapun
yang manusia lakukan, baik disembunyikannya dari pandangan manusia maupun yang
terang-terangan diperlihatkannya.
Seorang
mukmin juga menyadari bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dibangkitkan
kembali, lalu akan dihisab seluruh amal perbuatannya. Hal ini adalah ketetapan
yang pasti. Dan Allah Swt. akan menghisab amal perbuatan baik maupun buruk, meski
seberat dzarrah (biji terkecil) sekalipun. Firman Allah Swt.:
﴿فَمَنْ
يَعْمَلْ
مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ خَيْرًا
يَرَهُ@وَمَنْ
يَعْمَلْ
مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ
شَرًّا
يَرَهُ﴾
‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasannya)
pula.’ (TQS.
al-Zalzalah [99]: 7-8)
Dari
sinilah Allah Swt. menjadikan hukum-hukum sanksi (‘uqubat) sebagai bentuk hukum praktis sekaligus sebagai metoda
pelaksanaan atas perintah maupun larangan Allah Swt. bagi siapa saja yang
melanggar kewajiban-Nya dan terjerumus dalam tindakan yang diharamkan-Nya.
Tatkala Allah Swt. mengharamkan perzinaan, maka Allah Swt.
mensyariatkan hukum jilid (cambuk) atau rajam atas pelaku zina. Tatkala Allah Swt. mengharamkan minum khamar,
maka Allah Swt. juga mensyariatkan hukum cambuk bagi peminumnya, serta mencela
10 orang yang terlibat di dlam proses produksi minuman khamar. Tatkala Allah
Swt. melarang untuk membunuh seseorang, maka Allah Swt. juga mensyariatkan
hukum qishash bagi pelanggarnya. Tatkala
Allah Swt. melarang tindak pencurian, maka Allah Swt. mensyariatkan hukum
potong tangan bagi pelaku pencurian. Tatkala Allah Swt. mewajibkan untuk
mentaati ulil amri (Khalifah), maka
Allah Swt. mensyariatkan hukum bughat
bagi para pembangkang. Tatkala Allah Swt. mewajibkan untuk selalu terikat
dengan akidah dan syariat Islam, maka Allah Swt. mensyariatkan hukum riddah bagi orang-orang yang murtad. Dan
banyak lagi.
Semua itu menunjukkan bahwa tidaklah Allah Swt. dan Rasul-Nya
memerintahkan sesuatu melainkan terdapat pula hukum-hukum (sanksi) bagi yang
meninggalkannya. Begitu juga tidaklah Allah Swt. dan Rasul-Nya memerintahkan
untuk meninggalkan sesuatu, melainkan pasti dijumpai hukum-hukum yang berkaitan
dengan ‘iqab (sanksi) atas pelakunya.
Pihak yang menjadi pelaksana atas seluruh hukum-hukum sanksi
yang dijatuhkan kepada para pelanggar adalah negara Islamiyah, melalui proses
peradilan dengan menghadirkan terdakwa, pendakwa, saksi-saksi maupun bukti.
Dalam hal ini syariat Islam juga memiliki sistem hukum
yang menjadi salah satu unsur dari sistem peradilan Islam, yaitu hukum-hukum
tentang pembuktian (ahkam al-bayyinaat).
Bukti merupakan hujjah bagi si pendakwa untuk memperkuat dakwaannya. Bukti juga
merupakan penjelas untuk memperkuat dakwaan. Oleh karenanya bukti haruslah
bersifat pasti dan meyakinkan. Untuk itu Rasulullah Saw. meminta bukti-bukti
haruslah meyakinkan:
«إِذَا
رَأَيْتَ
مِثْلَ
الشَّمْسِ
فَاشْهَدْ
وَاِلاَّ
فَدَعْ»
‘Jika kalian
melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (namun) jika
tidak, maka tinggalkanlah’.
Sejarah menunjukkan kepada kita
bahwa tatkala Khalifah Ali bin Abi Thalib ra mendakwa salah seorang Yahudi
dengan tuduhan pencurian (atas baju zirahnya), dan bukti-bukti yang diminta
oleh qadliy Syuraih kepada Khalifah Ali tidak mencukupi (tidak meyakinkan),
maka qadliy memutuskan untuk membebaskan si Yahudi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun seorang
kepala negara (Khalifah) yang mendakwa salah seorang rakyatnya dengan tindak
kejahatan, maka tetap melalui prosedur persidangan. Jika tidak terbukti, maka dibebaskan. Artinya,
seluruh warga negara –siapapun orangnya- sama kedudukannya di depan hukum.
Hal yang sama ditunjukkan oleh sikap Rasulullah Saw. yang tetap
menjatuhkan hukum potong tangan terhadap salah seorang wanita bangsawan yang
kedapatan mencuri, meskipun Usamah bin Zaid (sahabat kesayangan beliau) meminta
untuk tidak menjatuhkan sanksi tersebut. Lalu Rasulullah Saw. bersabda:
»إِنَّماَ
هَلَكَ مَنْ
كاَنَ
قَبْلَكُمْ
بِأَنَّهُمْ
كَانُوْا
إِذاَ سَرَقَ
فِيْهِمُ
الشَّرِيْفُ
تَرَكُوْهُ،
وَإِذاَ
سَرَقَ
فِيْهِمُ
الضَّعِيْفُ
قَطَعُوْهُ«
‘Kehancuran orang-orang sebelum kalian (diakibatkan) karena jika
pembesar-pembesar mereka mencuri, mereka biarkan. Namun jika orang yang lemah mencuri, mereka
memotong (tangan)-nya.’
Sikap tegas negara Islamiyah (dalam hal ini diwakili oleh sikap
Rasulullah Saw. selaku kepala negara Islam) tampak di dalam sabdanya:
«لَوْ
أَنَّ
فَاطِمَةَ
بِنْتَ
مُحَمَّدٍ
سَرَقَتْ
لَقَطَعْتُ
يَدَهَا»
‘Seandainya Fathimah binti Muhammad kedapatan
mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya’. (HR al-Bukhari)
Berdasarkan paparan di atas, maka pelaksanaan sistem hukum Islam
termasuk sanksi-sanksi, ditentukan oleh dorongan ketakwaan kaum Muslim dan
ketegasan negara Khilafah Islamiyah di dalam menjalankan sistem hukum Islam.
Apabila hal ini terwujud, maka fungsi hukum Islam sebagai pencegah (zawajir) dapat dirasakan oleh seluruh
lapisan masyarakat. Namun, semua itu memerlukan eksistensi masyarakat Islam
–yang memiliki ketakwaan tinggi- yang berada di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, yang
menjalankan sistem hukum Islam secara total. Tanpa itu,
mustahil !
Keefektifan Hukum Islam – Keampuhan
Syariat Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar