Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 29 April 2013

Keefektifan Hukum Islam – Keampuhan Syariat Islam

Keefektifan Hukum Islam – Keampuhan Syariat Islam



Syariat/Hukum Islam Terbukti Efektif

{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}

Keampuhan Syariat Islam karena Dorongan Takwa Individu dan Ketegasan Negara Islamiyah


Membicarakan tentang syariat Islam tidak bisa dipisahkan dengan akidah Islam. Sebab, syariat Islam muncul dan berasal dari akidah Islam. Oleh karena itu syariat Islam tidak akan dapat tegak di tengah-tengah masyarakat, kecuali masyarakat tersebut telah menjadikan akidah Islam (tentu juga syariatnya) sebagai pandangan hidup, sebagai ideologi (mabda)-nya. Sehingga masyarakat tersebut memiliki ciri khas sebagai masyarakat Islam, yang menjalankan sistem hukum (peraturan) Islam secara total.

Al-Quran telah menggandeng keimanan dengan kerelaan untuk menerima dan menjalankan sistem hukum Islam. Firman Allah Swt.:

﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيمًا﴾
 ‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.’  (TQS. an-Nisa [4]: 65)

Ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara perkara akidah (yang menyangkut keimanan) dengan syariat (yang menyangkut sikap rela dengan pelaksanaan hukum Islam) tidak dapat dipisahkan. Dan menganggap bahwa Muslim mana saja yang mengaku-ngaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi tidak mau menjalankan hukum-hukum Islam, bahkan menolak penerapan hukum Islam atas dirinya, atas masyarakat dan atas negara, maka sama saja ia dengan orang yang tidak beriman. Seorang Muslim tidak patut melawan dan menolak penarapan sistem hukum Islam. Rasulullah Saw. bersabda:

«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ»

‘Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah didatangkan bersama aku (yaitu hukum-hukum Islam)’

     Sungguh sikap penolakan dan perlawanan atas diterapkannya sistem hukum Islam yang tampak di sebagian masyarakat kaum Muslim –terutama kalangan intelektualnya- sangat berbeda dengan sikap kaum Muslim di masa Rasulullah Saw.
Ibnu Jarir berkata, telah berkata kepadaku Muhammad bin Khilif, dari Sa’id bin Muhammad al-Harami, dari Abi Namilah, dari Salam maula Hafsh Abi al-Qasim, dari Abi Buraidah dari bapaknya, yang berkata, ‘Kami tengah duduk-duduk sambil minum di atas pasir, dan kami bertiga atau berempat.  Di tengah kami terdapat bejana (berisi khamar), dan kami tengah minum-minum menikmatinya.  Saat itu Rasulullah Saw. menerima ayat pengharaman khamar (TQS. al-Maidah [5]: 90-91). Akupun datang kepada sahabat-sahabatku, lalu aku bacakan ayat tersebut sampai pada bagian akhir ayat (yaitu), ‘Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)’. (Ia berkata), sebagian masyarakat (saat itu) tengah memegang minuman di tangannya, sebagian lagi telah meminumnya, dan sebagian lagi (khamarnya) masih berada di dalam cangkirnya. Tatkala cangkirnya diangkat (hampir menyentuh bibirnya), maka seketika itu juga dicampakkannya cangkir dan wadah-wadah khamar, seraya (mereka) berkata: ‘Kami telah berhenti wahai Tuhan kami’ (Tafsir Ibnu Katsir, jilid II/118).

Hanya masyarakat yang memiliki akidah mendalam dan terpateri di dalam jiwanyalah yang sanggup menyingkirkan hawa nafsu dan keinginannya yang jahat, seraya mendengar dan mentaati apa saja yang berasal dari Allah Swt. dan Rasul-Nya.

   Akidah pulalah yang mendorong al-Ghamidiyah mendatangi Rasulullah Saw., memintanya untuk mensucikan dirinya dari perbuatan dosa (yaitu berzina). Dari ‘Abdullâh bin Buraidah dari bapaknya berkata:

«جَاءَتْ الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ قَدْزَنَيْتُ فَطَهِّرْنِيْ، وَأَنَّهُ رَدَّهَا، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُّ قَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ لِمَ تُرَدَّدْنِيْ، لَعَلَّكَ تَرُدَّدْنِيْ كَمَا رَدَّدْتَ مَاعِزًا، فَوِ اللهِ إِنِّيْ لَحُبْلَى، قَالَ: إِمَّالاَ فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِيْ: فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِّي فِي خِرْقَةٍ، قَالَتْ: هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ، قَالَ: اِذْهَبِي فَارْضِعِيْهِ حَتَّى تَفْطِمِيْهِ، فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ كِسْرَةُ خُبْزٍ، فَقَالَتْ: هَذَا يَا نَبِيَ اللهِ قَدْ فَطَمْتُهُ، وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ، فَدَفَعَ الصَّبِيَّ اِلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا اِلَى صَدْرِهَا، وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوْهَا»

Telah datang kepada Rasulullah Saw., al-Ghâmidiyyah dan ia berkata, “Ya Rasulullah Saw., aku telah berzina, sucikanlah aku!” Beliau Saw. menolaknya. Besoknya ia berkata lagi, “Wahai Rasulullah mengapa engkau menolak aku, engkau menolak aku sebagaimana engkau menolak Ma’iz. Demi Allah aku telah hamil”. Rasulullah Saw. bersabda, “Jangan, pulanglah sampai engkau melahirkan.” Ketika ia telah melahirkan, ia mendatangi Rasulullah Saw. kembali dengan anaknya yang berada di gendongan, seraya berkata, “Ini adalah anakku.” Rasulullah Saw. bersabda, ”Pergi, dan susuilah sampai engkau menyapihnya!” Ketika ia telah menyapihnya ia mendatangi Rasulullah Saw. sambil membawa anaknya yang sedang menggenggam sepotong roti. Ia kemudian berkata, “Ya Nabiyullah, aku telah menyapihnya, dan ia sudah bisa memakan makanan”. Lalu, anak itu diberikan kepada salah seorang laki-laki dari kaum Muslim. Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan menanam wanita itu hingga dadanya, lalu memerintahkan manusia untuk merajamnya.

Untuk meraih keridlaan Allah Swt., dan kebahagiaan di akhirat Ghamidiyyah bersedia mengakui perzinaannya, mendatangi Rasulullah Saw. untuk disucikan dengan diterapkan atasnya hukum rajam bagi pezina (yang sudah menikah), kemudian dirajam hingga mati. Rasulullah Saw. berkomentar tentang kesediaan Ghamidiyah untuk menerima hukuman rajam:

«لَقَدْ تاَبَتْ تَوْبَة لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ لَوَسِعَتْهُمْ»

“Sungguh ia telah bertaubat, seandainya dibagi antara 70 penduduk Madinah, sungguh akan mencakup semuanya.”

Mereka meminta negara Islam agar menjatuhkan sanksi atas pelanggaran mereka di dunia agar sanksi akhirat bagi mereka gugur. Oleh karena itu Ghamidiyyah berkata kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah sucikanlah aku!” Mereka mengakui pelanggaran yang mereka lakukan agar mereka dikenai had oleh Rasulullah Saw. selaku kepala daulah Islamiyah sehingga mereka terbebas dari ‘adzab Allah di hari akhir. Mereka rela menanggung sakitnya had dan qishash di dunia, karena takut adzab akhirat. Oleh karena itu ‘uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).

Seorang mukmin mengetahui bahwa Allah Swt. senantiasa mengawasinya, baik ia tengah sendirian, berduaan, ataupun berada di tengah-tengah kerumunan manusia.  Allah Swt. Maha Mendengar bisikan hati setiap manusia.  Allah Swt. Maha Melihat apapun yang manusia lakukan, baik disembunyikannya dari pandangan manusia maupun yang terang-terangan diperlihatkannya.
Seorang mukmin juga menyadari bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dibangkitkan kembali, lalu akan dihisab seluruh amal perbuatannya. Hal ini adalah ketetapan yang pasti. Dan Allah Swt. akan menghisab amal perbuatan baik maupun buruk, meski seberat dzarrah (biji terkecil) sekalipun. Firman Allah Swt.:

﴿فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ@وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasannya) pula.’ (TQS. al-Zalzalah [99]: 7-8)

Dari sinilah Allah Swt. menjadikan hukum-hukum sanksi (‘uqubat) sebagai bentuk hukum praktis sekaligus sebagai metoda pelaksanaan atas perintah maupun larangan Allah Swt. bagi siapa saja yang melanggar kewajiban-Nya dan terjerumus dalam tindakan yang diharamkan-Nya.

     Tatkala Allah Swt. mengharamkan perzinaan, maka Allah Swt. mensyariatkan hukum jilid (cambuk) atau rajam atas pelaku zina.  Tatkala Allah Swt. mengharamkan minum khamar, maka Allah Swt. juga mensyariatkan hukum cambuk bagi peminumnya, serta mencela 10 orang yang terlibat di dlam proses produksi minuman khamar. Tatkala Allah Swt. melarang untuk membunuh seseorang, maka Allah Swt. juga mensyariatkan hukum qishash bagi pelanggarnya. Tatkala Allah Swt. melarang tindak pencurian, maka Allah Swt. mensyariatkan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian. Tatkala Allah Swt. mewajibkan untuk mentaati ulil amri (Khalifah), maka Allah Swt. mensyariatkan hukum bughat bagi para pembangkang. Tatkala Allah Swt. mewajibkan untuk selalu terikat dengan akidah dan syariat Islam, maka Allah Swt. mensyariatkan hukum riddah bagi orang-orang yang murtad. Dan banyak lagi.

     Semua itu menunjukkan bahwa tidaklah Allah Swt. dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu melainkan terdapat pula hukum-hukum (sanksi) bagi yang meninggalkannya. Begitu juga tidaklah Allah Swt. dan Rasul-Nya memerintahkan untuk meninggalkan sesuatu, melainkan pasti dijumpai hukum-hukum yang berkaitan dengan ‘iqab (sanksi) atas pelakunya.

     Pihak yang menjadi pelaksana atas seluruh hukum-hukum sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar adalah negara Islamiyah, melalui proses peradilan dengan menghadirkan terdakwa, pendakwa, saksi-saksi maupun bukti. Dalam hal ini syariat Islam juga memiliki sistem hukum yang menjadi salah satu unsur dari sistem peradilan Islam, yaitu hukum-hukum tentang pembuktian (ahkam al-bayyinaat). Bukti merupakan hujjah bagi si pendakwa untuk memperkuat dakwaannya. Bukti juga merupakan penjelas untuk memperkuat dakwaan. Oleh karenanya bukti haruslah bersifat pasti dan meyakinkan. Untuk itu Rasulullah Saw. meminta bukti-bukti haruslah meyakinkan:

«إِذَا رَأَيْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ وَاِلاَّ فَدَعْ»

‘Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (namun) jika tidak, maka tinggalkanlah’.
    
Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa tatkala Khalifah Ali bin Abi Thalib ra mendakwa salah seorang Yahudi dengan tuduhan pencurian (atas baju zirahnya), dan bukti-bukti yang diminta oleh qadliy Syuraih kepada Khalifah Ali tidak mencukupi (tidak meyakinkan), maka qadliy memutuskan untuk membebaskan si Yahudi tersebut.  Hal ini menunjukkan bahwa meskipun seorang kepala negara (Khalifah) yang mendakwa salah seorang rakyatnya dengan tindak kejahatan, maka tetap melalui prosedur persidangan.  Jika tidak terbukti, maka dibebaskan. Artinya, seluruh warga negara –siapapun orangnya- sama kedudukannya di depan hukum.

     Hal yang sama ditunjukkan oleh sikap Rasulullah Saw. yang tetap menjatuhkan hukum potong tangan terhadap salah seorang wanita bangsawan yang kedapatan mencuri, meskipun Usamah bin Zaid (sahabat kesayangan beliau) meminta untuk tidak menjatuhkan sanksi tersebut. Lalu Rasulullah Saw. bersabda:

»إِنَّماَ هَلَكَ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُمْ بِأَنَّهُمْ كَانُوْا إِذاَ سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَإِذاَ سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ قَطَعُوْهُ«

‘Kehancuran orang-orang sebelum kalian (diakibatkan) karena jika pembesar-pembesar mereka mencuri, mereka biarkan.  Namun jika orang yang lemah mencuri, mereka memotong (tangan)-nya.’

     Sikap tegas negara Islamiyah (dalam hal ini diwakili oleh sikap Rasulullah Saw. selaku kepala negara Islam) tampak di dalam sabdanya:

«لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
‘Seandainya Fathimah binti Muhammad kedapatan mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya’. (HR al-Bukhari)

     Berdasarkan paparan di atas, maka pelaksanaan sistem hukum Islam termasuk sanksi-sanksi, ditentukan oleh dorongan ketakwaan kaum Muslim dan ketegasan negara Khilafah Islamiyah di dalam menjalankan sistem hukum Islam. Apabila hal ini terwujud, maka fungsi hukum Islam sebagai pencegah (zawajir) dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, semua itu memerlukan eksistensi masyarakat Islam –yang memiliki ketakwaan tinggi- yang berada di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, yang menjalankan sistem hukum Islam secara total. Tanpa itu, mustahil !

Keefektifan Hukum Islam – Keampuhan Syariat Islam

Diolah dari tulisannya Ir. Achmad Saifullah: KEAMPUHAN SYARIAT ISLAM MENGATASI KRIMINALITAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam