Tuduhan Negatif Atas Syariat Islam
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
e.
Hukum Islam itu kejam dan diskriminatif.
Tuduhan ini sebenarnya lebih menggambarkan ketakutan
terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita mau berpikir, manakah sesungguhnya
yang lebih baik, misalnya: apakah masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual
para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum Islam ataukah masyarakat yang
permisif dan kacau; yang di dalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal
yang lumrah, zina dianggap biasa dengan dalih suka sama suka, aurat tidak boleh
dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif, hukum ditentukan oleh yang
kuat (hukum rimba)? Tentu, masyarakat jenis pertama merupakan masyarakat yang
lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Sebaliknya,
yang kedua pada hakikatnya menjurus pada masyarakat kafir binatang yang hidup
di hutan belantara dengan hukum rimba, yang tidak jauh berbeda dengan hewan
ternak (Lihat QS al-A'râf [7]: 179).
Akan tetapi, anehnya, banyak masyarakat masih memandang
bahwa masyarakat dan negara sesat sekular-kapitalistik yang serba permisif
itulah yang dianggap masyarakat modern (lebih tepat 'sok modern'), sedangkan
masyarakat yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang
sebagai masyarakat tradisional, konservatif, bahkan 'primitif'. Mana yang lebih
kejam, hukum yang memotong tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam
pengadilan ataukah hukum yang memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi
seorang penjahat kawakan?
Boleh jadi orang yang dikenai hukuman Islam yang keras
dan tegas menyatakan kejam. Dari satu sisi karena ia ingin selamat, dan pada
sisi lain karena munafik dan tidak yakin terhadap kemahaadilan Allah SWT yang telah
menetapkan hukum tersebut.
Sebaliknya, orang yang dizhalimi lalu pelaku kezhaliman
tersebut akan terpenuhi rasa keadilannya. Sebagai misal, ada seseorang yang
suaminya dibunuh. Setelah melewati proses pembuktian, terbukti pelakunya si
anu. Vonis pun dijatuhkan hanya 14 tahun. Sang isteri pun kecewa, rasa
keadilannya terusik, ia pun tetap menuntut diberlakukan hukum bunuh atas
pembunuh suaminya itu. Mengapa hukum qishash yang diberlakukan setelah
menjalani proses pembuktian dikatakan kejam sementara pembunuhan yang
jelas-jelas telah dilakukan sesuai kehendak si pembunuh tidak dikatakan kejam?
Begitu pula dengan tindak kriminal lainnya.
Pernyataan bahwa hukum Islam itu kejam, diskriminatif
atau primitif merupakan dalil ketakmengertian pengucapnya terhadap paradigma syariat Islam.
Sebagai contoh, pencurian. Dalam Islam, (1) pendidikan gratis sehingga setiap
orang memiliki kesempatan yang sama untuk ahli sesuatu, (2) lapangan kerja
wajib disediakan oleh negara, warga harus mencarinya, (3) bila pendapatan tidak
cukup atau tidak dapat bekerja karena sakit tak tersembuhkan maka ahli waris
wajib menafkahinya, (4) bila ahli warisnya tidak mau menafkahi maka negara
berhak dan berkewajiban memaksanya bahkan memberinya sanksi, (5) bila ahli
warisnya tidak mampu, negara wajib menjamin kebutuhan pokoknya, (6) andai kas
negara sedang kosong maka negara memobilisir kemampuan kaum muslim untuk
membantunya, (7) dalam Islam pajak tidak ada yang permanen, yang ada hanya
zakat, itupun untuk yang telah mencapai nishab zakat, (8) bila sedang musim
paceklik, pencuri tidak di potong tangan.
Andai saja dalam kondisi syariat Islam ditegakkan seperti
ini, lalu ada seseorang tetap saja mencuri lebih dari ¼ dinar (1 dinar=4,25
gram emas), maka mencuri dalam realitas demikian memang ‘keterlaluan’. Setelah
terbukti, maka barulah diterapkan potong tangan. Orang yang memahami paradigma
demikian akan menyatakan, wajar hukum Islam tegas seperti itu. Kondisi sudah
tercipta sedemikian rupa, tapi tetap mencuri juga, bukankah orang yang
melakukannya memang betul-betul ‘keterlaluan’? Apalagi orang mukmin, mereka
hanya menyatakan “Kami
mendengar, dan kami mematuhi hukum Allah SWT, Dia-lah Dzat Maha Adil!”
Begitu pula dalam hukum rajam, qishash dan hukum lainnya.
Anehnya (atau barangkali tidak anehnya), justru yang diangkat kepermukaan itu
adalah hukum kriminal semata, sedangkan hukum Islam dalam masalah pendidikan, ekonomi bagi
kepentingan rakyat dan sebagainya malah ditimbun, disembunyikan. Tidak fair.
Bila kondisinya demikian, nyatalah ungkapan bahwa hukum Islam itu kejam tidak
lebih dari sekedar tuduhan miring.
Benar, hukum Islam berasal dari Allah Dzat MahaAdil.
Allahlah sebaik-baik pembuat hukum (Lihat surat At Tîn). Orang yang secara
jujur beriman bahwa Allah SWT MahaAdil tidak akan menentang hukum-Nya dengan dalih
kejam dan diskriminatif.
f.
Syariat Islam itu
primitif. Kembali kepada syariat Islam berarti kembali ke jaman unta.
Hal ini menggambarkan kebodohan mereka yang menuding
terhadap syariat Islam. Disangkanya menerapkan syariat Islam berarti tidak
boleh menggunakan pesawat, mobil, motor, komputer baju necis, dan sebagainya. Sebaliknya,
haruslah lusuh, ke mana-mana berjalan kaki, tak tersentuh teknologi. Padahal,
pandangan demikian merupakan cara untuk menghalangi umat dari Islam. Siapapun
yang paham akan syariat Islam akan menyatakan bahwa Islam itu membentuk
masyarakat modern yang beradab.
Islam tidak menolak modernisasi, bahkan bila
dirunut dalam sejarah, justru Islam-lah yang mengajari Barat yang sekarang dianggap sebagai kiblat modernisasi, ketika
mereka tengah hidup di abad kegelapan, menemukan dasar-dasar kehidupan modern.
Melalui pengembangan sains dan teknologi yang berkembang pesat di masa kejayaan
Islam, peradaban Islam telah memberikan kontribusi luar biasa bagi kemajuan
Barat.
Islam melalui syariatnya bukan akan
menghentikan modernisasi, melainkan meletakkan modernisasi agar tetap dalam
kerangka pengabdian kepada Allah. Bila modernisasi diartikan sebagai
pengembangan madaniah, yakni produk-produk teknologi yang bersifat
material guna peningkatan mutu, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam
kehidupan manusia baik dalam bidang komunikasi, transportasi, produksi,
kesehatan, pendidikan, perumahan, makanan, pakaian dan sebagainya, Islam sama
sekali tidak keberatan. Dan itu akan diteruskan, bahkan akan ditingkatan oleh
Islam.
Artinya, manusia boleh saja menggunakan semua
perangkat hasil pengembangan sains dan teknologi. Hanya saja, pola kehidupannya baik dalam
konteks kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat haruslah tetap dalam
koridor syariat Islam. Bukan modernisasi yang justru mempurukkan derajat
manusia sebagaimana kini terlihat dalam kehidupan Barat, yang telah
menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya.
Barat telah salah mengartikan modernisasi.
Apakah sebuah kemodernan (ataukah justru primitif) bila wanita yang seharusnya
dimuliakan justru dijadikan sebagai obyek seksual, berjalan melenggak lenggok
memperagakan model rancangan baju yang nyaris telanjang di bawah tatapan ratusan
pasang mata dan sorotan kamera atau dipajang dalam ruang kaca untuk kemudian
dinikmati kemolekan tubuhnya dengan imbalan sekian lembar uang?
Apakah juga sebuah kemodernan (ataukah justru
primitif) bila laki-laki dan perempuan berhubungan seksual tanpa ikatan
pernikahan dengan alasan suka sama suka atau “pernikahan” tapi antara laki-laki
dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan? Apakah sebuah kemodernan,
membiarkan sistem ekonomi berkembang liar di mana pemilik modal tak ubahnya
seperti lintah yang menghisap darah manusia lain, atau orang mendapatkan
keuntungan tanpa kerja sama sekali sebagaimana tampak dalam pembungaan uang?
Apakah sebuah kemodernan (atau justru primitif) tindakan menjual barang-barang
milik umum yang bukan milik negara kepada sekelompok swasta baik pribumi maupun
asing hingga rakyat sebagai pemiliknya yang sah tak mendapatkan apa-apa? Apakah
sebuah kemodernan (atau justru primitif) demi menguasai negara lain dua negara
yang berdekatan diprovokasi secara halus dan licik untuk berperang satu sama
lain di mana senjata kedua belah pihak dipasok olehnya? Ini adalah sebagian
contoh yang akan diluruskan oleh syariat Islam dalam proses modernisasi
masyarakat yang sebenarnya.
Tuduhan Negatif Atas Syariat Islam
{{BERLANJUT KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar