Opini Negatif Terhadap Syariat Islam
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
b.
Adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan
kenegaraan Islam; sistem mana yang akan diterapkan?
Dalih ini pun terlihat sangat dipaksakan. Sebab, dalam
sistem manapun, sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya, banyak ragam
pendapat tentang sistem republik, presidensil, atau parlementer. Bentuknya pun
pro-kontra; apakah kesatuan, federal, ataukah kesatuan dengan otonomi daerah.
Pendapat dalam sistem pemilihan pun berbeda-beda, apakah harus pemilihan
langsung (seperti keyakinan J.J. Roussau), perwakilan, distrik, dan sebagainya.
Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem
sesat demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang, termasuk politik. Di dalam
Islam dibolehkan adanya perbedaan pendapat jika dalil yang ada bersifat dzann
(dugaan kuat) tidak qath’I (pasti). Lalu, mengapa adanya perbedaan pandangan tentang
beberapa hal politik dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak
ditegakkannya syariat Islam secara keseluruhan? Sebaliknya, mengapa untuk
sistem selain Islam (sistem kufur) tidak diungkapkan alasan serupa?
c.
Islam itu yang penting substansinya, bukan formalitasnya.
Omongan seperti ini bukan hanya berbahaya tetapi juga
bertentangan dengan realitas.
Pertama, tidak ada aturan yang diterapkan sekadar substansinya
saja. Mengapa mereka begitu getol memperjuangkan kekafiran sekularisme, demokrasi,
dan berupaya mempertahankan formalitas sistem kufur tersebut yang notabene
warisan kolonial? Padahal, jika mereka konsisten dengan pendapat nafsunya itu,
semestinya cukup hanya substansi demokrasi saja yang dituntutnya, dan substansi
sekularisme saja yang diinginkannya?! Akan tetapi, kenyataannya tidaklah
demikian.
Kedua, dengan tidak diformalkannya syariat Islam berarti hanya
akan menciptakan peluang untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa
tidak boleh main hakim sendiri.
Selain itu, bila konsisten dengan istilah substansi, maka
semestinya substansi dalam
keseluruhan ajaran Islam itu adalah ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT
secara total dalam semua hal. Itulah yang disebut ibadah [x]. Dengan
kata lain, mereka yang menghendaki penerapan Islam substansinya saja (seperti
yang penting adil, kesamaan, dsb) gagal menangkap substansi ajaran Islam itu
sendiri. Allah SWT sendiri tegas-tegas memfirmankan hal ini,
“Tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Ku” (TQS. Adz Dzariyat[51]:56). Bila substansi yang
dipahami benar mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah seperti ini maka sikap yang
diambil adalah memperjuangkan dan menjalankan tegaknya syariat Islam.
d.
Sekarang sudah dapat melaksanakan syariat Islam dengan
baik, seperti ibadah, UU perkawinan, UU peradilan agama, dsb.
Kelengkapan Dinul Islam memantapkan Islam sebagai
satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Allah SWT, Pencipta seluruh
makhluk, Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui. Ajarannya yang rinci, lengkap, dan
mampu menjawab seluruh problematika umat manusia sepanjang zaman telah dijamin
sendiri oleh Allah SWT:
"Dan
Kami turunkan kepadamu al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri." (QS
An Nahl: 89).
Di sisi lain, Al Quran dan Sunnah Nabi memuat hukum-hukum
yang lengkap tentang ibadah, berpakaian, makanan, minuman, hukum-hukum tentang
ekonomi-perdagangan, harta, distribusi harta, ghanimah, fa’i, jizyah,
kharaj, tentang peradilan tindakan kriminal, hudud, ta’zir, persaksian, pembuktian (bayyinaat), mahkamah, hingga ke perkara jihad, gencatan senjata,
mobilisasi, perjanjian damai, utusan/delegasi. Belum lagi perkara-perkara yang
menyangkut pendidikan, aturan sosial, keluarga/rumah tangga dan seterusnya.
Semua itu berupa sistem
hukum Islam yang cakupannya meliputi seluruh bentuk perbuatan manusia,
baik antara manusia satu dengan yang lain, antara rakyat dan negara, antara
negara Islam dengan negara lain, antara Muslim dan non Muslim, antara hamba
dengan Allah SWT sebagai Al Khalik. Para ulama dan fuqaha terdahulu maupun
sekarang senantiasa memenuhi kitab-kitab hukum/fiqih karangan mereka dengan
seluruh pembahasan-pembahasan tadi. Dimulai dari bab Thaharah, sampai bab
Peradilan, Jihad atau Imamah (Ulil Amri).
Allah SWT mewajibkan kita melaksanakan semua sistem Islam
itu hingga dapat menerapkan Islam secara total. Banyak pertanyaan dapat
dimunculkan, sudahkah pakaian ditetapkan berdasar Islam? Sudahkah produk makanan-minuman
atas dasar Islam? Apakah aturan sosial antara pria-wanita, struktur kewajiban
nafkah di antara ahli waris, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam, sistem
perburuhan/ketenagakerjaan, ekonomi sudahkah dijalankan atas dasar Islam? Apakah
hak-hak anak dan hak-hak rakyat umumnya telah diperolehnya sesuai dengan
syariat Islam? Sudahkah hubungan luar negeri didasarkan pada syariat Islam
sehingga dakwah Islam oleh negara ke negara lain berjalan? Bila jawabannya
belum, tidak layak menyatakan tidak perlu menegakkan syariat Islam dengan dalih
sudah diterapkannya segelintir hukum Islam. Apa bedanya hukum yang satu dengan
hukum yang lain, padahal sama-sama berasal dari Allah SWT dan sama-sama wajib? Tidak
ada bedanya!
“Sesungguhnya Kami
telah mengambil perjanjian dari Bani Israel, dan telah Kami utus kepada mereka
rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa
apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari
rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian
yang lain mereka bunuh.” [Terjemah Makna Qur’an Surat (5)
al-Maaidah: 70]
“karena mereka
melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras
membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan
mereka (sengaja) melupakan sebagian
dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya…” [Terjemah Makna Qur’an
Surat (5) al-Maaidah: 13]
“Dan mereka tidak
menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata:
"Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia". Katakanlah:
"Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai
cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran
kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu
dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui (nya)?" Katakanlah: "Allah-lah
(yang menurunkannya)",… [Terjemah Makna Qur’an Surat (6) al-An’aam:
91]
“Dan apabila mereka
dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di
antara mereka, tiba-tiba sebagian
dari mereka menolak untuk datang.” [Terjemah Makna Qur’an Surat (24)
an-Nuur: 48]
[x] Menurut istilah syar’iy
ibâdah berarti thâatullâh wa khudhû’un lahû wa ilyizâmu mâ syara’ahu min ad dîn
(taat kepada Allah, tunduk kepadanya serta terikat dengan hukum agama (Islam)
yang telah disyariatkan-Nya).
Opini Negatif Terhadap Syariat Islam
{{BERLANJUT KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar