Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 11 April 2013

Tata Kelola Sumber Daya Alam SDA

Tata Kelola Sumber Daya Alam SDA


{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}

Pengelolaan SDA dalam Islam

Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara Khilafah Islam di mana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara Khilafah (Islamic state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).

Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara Khilafah Islam untuk hasilnya diberikan kepada rakyat  dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut, Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul Saw. untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul Saw. meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat,
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.

Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadist tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Tapi ketika kemudian Rasul Saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, maka Rasul Saw. mencabut pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.

Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan potensi tambangnya. Terbukti, ketika Rasul Saw. mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:

“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hamal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.

    Penarikan kembali pemberian Rasul Saw. kepada Abyadh adalah   illat dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan  bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan: “Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadits  Abyadh ini. Hadits di atas mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal kandungannya  terbatas, sehingga boleh diberikan. Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh. Tapi kebolehan pemberian barang tambang ini tidak boleh diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul Saw. setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang terus mengalir. Jadi jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah Saw. tersebut bersifat terbatas.

    Menurut  konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik yang nampak sehingga bisa didapat  tanpa harus susah payah seperti garam, batubara, dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya adalah termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.

    Sedangkan benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh pribadi, benda tersebut termasuk milik umum. Meski termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya, maka benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikinya. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.

    Oleh karena itu, sebenarnya pembagian ini - dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum - esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property). Seperti jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya.

    Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan: “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka”.

    Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barangsiapa menemukan barang tambang atau petroleum yang melimpah depositnya pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

Pemasukan Negara Islami
   
Dengan memahami ketentuan syari’at Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara Khilafah Islam yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara Khilafah dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara Khilafah.

Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara yang sah menurut Islam (daulah Islam) mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat Islam melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara Islamiyah untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara Islamiyah.

Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syari’at Islam. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluarannya Kas Baitul Mal, adalah:

1.  Sektor kepemilikan individu
    Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq dan shadaqah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara yang sah sesuai sistem pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya  untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an (At-Taubah: 60), yaitu: 1). Faqir, 2). Miskin, 3). Amil zakat, 4). Muallaf, 5) Memerdekakan budak, 6) Gharimin (terlilit hutang), 7). Jihad fi sabilillah, 8). Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara, infaq dan shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya ditujukan untuk kemashlahatan ummat (muslim dan non-muslim).

2.  Sektor kepemilikan umum
    Tercakup dalam sektor ini adalah segala milik umum baik berupa hasil  tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:
a.   Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
b.   Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik sumberdaya alam itu berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
c.   Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.

3.   Sektor kepemilikan negara
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya  diserahkan pada ijtihad khalifah untuk kepentingan negara dan kemashlahatan ummat.

Khatimah

Jelas sekali, pemerintah sistem kufur di negeri ini harus bertobat dan mendirikan pemerintahan yang sah menurut hukum Allah Swt. yaitu negara Khilafah Islam kemudian Khalifah dan jajarannya memanfaatkan seoptimal mungkin sumber dayaalam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi sesuai Syariah Islam dalam memanfaatkan sumberdaya itu. Sudah saatnya, misalnya hanya departemen yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian juga dengan sumberdaya lain.

Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar dan dosa besar. Sejak tahun 1973 konon lebih dari Rp500 triliun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah sistem sesat demokrasi negeri ini mendapatkan pajak dan sebagainya. Tapi pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara Khilafah sesuai hukum Islam, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu juga dengan barang tambang lain.

Pemanfaatan seoptimal mungkin sumberdaya alam itu hanya mungkin bila departemen yang menangani semua kekayaan milik umum itu dikelola secara profesional dan amanah oleh pemerintahan yang sah sesuai Syariah Islam yang benar-benar adil. Sudah menjadi rahasia umum betapa di BUMN-BUMN sistem kufur itu selama ini terjadi inefisiensi luar biasa akibat praktek-praktek kolusi dan korupsi. Akibatnya, bukan hanya dana itu tidak sampai ke tangan rakyat, BUMN pemerintahan batil itu juga mengalami kerugian. Bagaimana mungkin PLN misalnya, yang menjadi perusahaan tunggal dalam pengelolaan  listrik, bisa merugi? Padahal tidak ada satupun rakyat yang tidak menggunakan listrik. Juga tidak ada perusahaan lain yang menjadi saingan PLN. Itu semua terjadi karena mismanajemen dan korupsi.  Dengan efisiensi, dana yang diperoleh bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan Negara Khilafah akan bisa berjalan dengan baik. Rakyatnya makmur sejahtera, negara Khilafah Islamiyah tidak perlu berhutang ke sana ke mari. Insya Allah.

Wallahu a’lam bishshawab.

Diolah dari artikelnya Muhammad Ismail Yusanto: PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Tata Kelola Sumber Daya Alam SDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam