Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 11 April 2013

Kekeliruan Tata Kelola Sumber Daya Alam SDA

Kekeliruan Tata Kelola Sumber Daya Alam SDA



    Semua orang  tahu alam negeri ini sangat kaya. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. Negeri ini juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas, belum lagi kandungan ikan yang diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, mutiara, minyak dan kandungan mineral lainnya, termasuk di dalamnya keindahan alam bawah lautan.

Sementara, di daratan terdapat  berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak yang juga termasuk cukup besar. Kandungan emas di bumi Papua yang kini dikelola PT. Freeport Indonesia, misalnya, konon termasuk yang terbesar di dunia. Tak heran bila McMoran Gold and Coper, induk dari PTFI, berani membenamkan investasi yang sangat besar untuk mengeduk emas dari bumi Papua itu sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

    Tapi, semua orang juga tahu, kini negeri ini terpuruk menjadi negara miskin. GNP perkapita hanya sedikit lebih banyak dari Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika. Sudahlah rakyatnya miskin, utang ribawi negara sistem kufur demokrasi ini luar biasa besar. Disebut-sebut  lebih dari Rp1400 trilyun rupiah. Sebanyak Rp742 triliun rupiah di antaranya berupa utang ribawi luar negeri, sisanya adalah utang ribawi dalam negeri (Forum, 5 Maret 2002). Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang riba yang sedemikian besarnya itu? Tidak lain tentu saja adalah rakyat sendiri. Hal ini nampak pada pos penerimaan  dalam APBN sistem kufur tahun 2002 yang dari sektor pajak mencapai sekitar 70%. Itu artinya, rakyat  jualah yang harus menanggung beban keterpurukan ekonomi. Jika kondisi seperti ini tidak segera dibenahi, maka dikhawatirkan akan timbul bencana ekonomi yang lebih berat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Tampak, bahwa beban perbaikan ekonomi ke depan akan semakin bertambah berat karena pemerintah tidak sah menurut hukum Islam di negeri ini harus menanggung cicilan utang plus bunganya (ribanya), ditambah dengan masih tingginya ketergantungan pemerintah sistem musyrik negeri ini terhadap bantuan (utang ribawi) luar negeri untuk keperluan pembangunan nasional dan berjalannya roda pemerintahan sistem kufur.

Dengan demikian, sesungguhnya pola pembangunan di masa sekarang ini tidaklah banyak mengalami perubahan dibanding dengan masa Orde Baru (yang telah direformasi itu). Yaitu tetap mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan dari utang ribawi luar negeri dan menggenjot pajak. Belakangan, utang haram luar negeri bukan berkurang melainkan justru makin bertambah terus itu menurut Lubis et al., (1998) memunculkan  persoalan baru seperti kerusakan hutan dan polusi alam akibat eksploitasi sumber daya alam yang makin tak terkendali demi mendapatkan devisa dan pesanan negara kufur donor di luar negeri untuk mencicil utang ribawi luar negeri plus bunganya yang terus membengkak.

Sumberdaya alam negeri ini yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan berkah yang semestinya. Dari sini sangat bisa dimengerti, mengapa negeri kaya penduduknya harus menjadi miskin papa laksana ‘ayam mati di atas pendaringan beras’. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Di mana letak kekeliruannya, pada sistem pengelolaannya atau pada orang-orangnya yang  kurang cakap dan kurang amanah ataukah keduanya?

Pengelolaan SDA Negeri Ini

Seperti telah banyak diketahui, di negeri ini khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru, individu ataupun swasta bisa mendapatkan  hak yang diberikan oleh penguasa-tidak-sah-menurut-hukum-Islam pada waktu itu untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak dan gas bumi dsb.

Untuk sektor kehutanan, sebagai contoh, menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di negeri ini sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Di antaranya,  Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektar HPH, menduduki tempat teratas. Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektar, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektar, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektar, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektar, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektar, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektar, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektar dan seterusnya. Dengan pola pengelolaan yang relatif tetap, kepemilikan HPH seperti tersebut di atas diyakini hingga kini  belum banyak berubah.

Meski dalam kontrak perjanjiannya tidak sampai menguasai sumber daya alam dalam bentuk hak milik, namun yang berhak untuk memiliki hasil bersih dari sumber daya alam yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya, setelah dikurangi untuk biaya produksi, pajak dan gaji buruh. Sebagai contoh, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan negeri ini setiap tahunnya yang ketika itu adalah 2,5 milyar US Dollar (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 – 8 milyar US dollar -Kompas, 10 Februari 2001). Dari hasil sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara-tidak-sah-munurut-hukum-Islam hanya 17%, sedangkan sisanya yaitu sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).

Pengelolaan hutan dengan sistem HPH sebenarnya ditiru dari kafir Belanda. Sistem pemberian HPH yang sesungguhnya sudah dianggap salah oleh kafir Belanda dan sangat merugikan rakyat itu beratus tahun kemudian, tepatnya tahun 1968, diterapkan rezim sistem thaghut Orde Baru. Saat itu pemerintah sistem kufur memang benar-benar sedang butuh duit untuk biaya pembangunan sehingga hampir setengah dari seluruh luas hutan yang 144 juta hektar itu diperkenankan untuk diambil kayunya.

Dalam konsep HPH, pemegang HPH mengeksploitasi hutan selama 35 tahun melalui rencana karya tahunan (RKT). Penebangan kayu sesuai RKT itu dilakukan terhadap blok-blok hutan secara berkeliling, sesudah itu diidealkan akan ditanam kembali sehingga pada tahun ke-36 atau sesudah habis masa konsesi, hutan pada RKT pertama bisa ditebang kembali. Dengan konsep itu pengelola HPH harus benar-benar orang yang mengerti kehutanan, sebab hutan memiliki tiga fungsi sekaligus, yakni ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam praktiknya, konsesi HPH dengan luas rata-rata 100.000 hektar itu diberikan kepada pengusaha "kelas dengkul", yayasan-yayasan termasuk yayasan milik tentara dan institusi lain yang sama sekali tidak memiliki modal, keahlian dan pengetahuan tentang kehutanan. Mereka akhirnya mencari mitra dari luar negeri (sebagian besar dari Malaysia) dan mereka hanya menerima fee dari para kontraktor asing itu.

Dan pada kenyataannya pula, para pengusaha itu ternyata mengeksploitasi hutan secara membabi buta. Bila untuk mendapatkan HPH tersebut diperlukan biaya, termasuk untuk menyuap para pejabat terkait, sebagai pengusaha, mereka berkepentingan untuk dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan itu secepat mungkin dengan segala cara. Maka terjadilah eksploitasi hutan secara semena-mena. Perjalanan sejarah hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia ini benar-benar buram, sebab sejak itulah pengusahaan hutan di negeri ini tidak lagi mengindahkan aspek kelestarian.

    PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan lebih dari 50 juta hektar. Kerusakan itu makin menggila karena sering pula pengusaha hutan melakukan ijon. Pada waktu HPH masih dalam proses atau dalam taraf surat keputusan pencadangan, mereka sudah melaksanakan transaksi dan mendapat fee dari mitra asing tersebut. Pada fase inilah terjadinya penjualan/ penggadaian hutan negeri ini dengan mengabaikan segala aspek kelestarian dan fungsi sosial hutan. Inilah proses pembabatan hutan tropis di negeri ini melalui tebang habis Indonesia (THI). Ketentuan  Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) tidak ada dalam kamus mereka. Hutan produksi yang dicadangkan untuk HPH seluas 60 juta hektar dibabat habis. Akhirnya, rakyat yang -menurut syariat Islam- memiliki hutan itu tidak kebagian apa-apa. Kini setelah puluhan juta hutan dibabat habis, rakyat masih harus terus menanggung derita akibat hutang negara sistem kufur yang berjibun jumlahnya.

Kini areal kerusakan hutan mencapai luas 56,98 juta hektar. Untuk merehabilitasinya, negeri ini memerlukan dana Rp 225 triliun. Sementara, dana reboisasi (DR) di APBN sistem kufur hanya dianggarkan Rp7 triliun saja (Kompas, 23 Oktober 2000). Itupun masih akan bertambah karena kerusakan hutan di negeri ini kini diperkirakan mencapai 1,6 juta hektar per tahun. Sementara, kemampuan rehabilitasi hutan dan lahan di luar kawasan hutan hanya 400.000 – 500.000 hektar  pertahun (Kompas, 23 Oktober 2000). Dalam beberapa tahun ke depan hutan negeri ini bakal terancam punah jika illegal logging (penebangan kayu ilegal) tidak dihentikan. Menurut data rentenir World Bank, jika kondisi ini terus berlangsung, hutan di Sumatera akan punah 2005, sedangkan hutan di Kalimantan akan punah pada tahun 2010.

Sementara itu, dalam bidang perminyakan, menurut laporan majalah SWA Sembada (April-Mei, 1996), hampir semua sumur minyak di negeri ini telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia) dan Mobil Oil. Selebihnya, Pertamina yang memproduksi. Dalam skala lebih kecil muncul belakangan pengusaha-pengusaha swasta nasional yang ikut terjun dalam bisnis minyak bumi seperti Arifin Panigoro dengan Medconya, Tommy Soeharto dengan Humpussnya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim dan Astra International.

    Dalam bidang pertambangan, negeri ini juga dikenal sebagai negeri kaya. Secara geologis, negeri ini merupakan wilayah pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteranean dengan Sirkum Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.

Dengan besarnya potensi tambang ditambah aturan-aturan kufur yang menguntungkan, pemerintah (yang batil menurut hukum Islam) dengan mudah menarik investor asing untuk menanamkan modalnya. Tahun  1967 PT Freeport Indonesia (FI) memulai dengan Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk  konsesi selama 30 tahun. Selama itu, PTFI boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri) dan pemerintah batil negeri ini hampir tidak mendapat kompensasi apapun. Setelah kondisi politik dan perekonomian mulai stabil, Pemerintah batil (dalam rangka menarik investor asing) memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak terlalu besar, maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam KK II. Berikutnya pada KK III, Pemerintah batil negeri ini mulai menerapkan pajak ekspor US$0,025-0,7 per metrik ton bijih tembaga, pajak penghasilan 35% dan harus menyisihkan 10% saham bagi mitra lokal. Selama periode 1977-1985 ada sekitar 13 perusahaan mendapatkan KK III. Pada KK IV pemerintah sistem kufur negeri ini mulai mengendurkan persyaratan kembali, di antaranya tidak harus menyisihkan saham ke mitra lokal. Pada KK IV ini ada 95 perusahaan telah masuk (SWA Sembada, Juni-Juli, 1997).

    Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta tons. Kemudian mereka mengajukan pembaharuan KK selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5%, sehingga penerimaan pemerintah sistem musyrik dari pajak, royalti dan deviden FI hanya US$479 juta (SWA Sembada, 1997). Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibanding pendapatan diperoleh FI sekitar US$1,5 milyar (tahun 1996), yang dipotong 1% untuk dana pengembangan masyarakat Irian (ketika itu sekitar US$15 juta) (Gatra, Oktober, 1998). Dari data-data di atas dapat dilihat bahwa mulai dari KK I sampai KK V telah seratus lebih perusahaan-perusahaan swasta yang telah mengeruk kekayaan alam yang menurut syariah Islam adalah milik penduduk negeri ini.

Jelaslah, bahwa pemberian HPH kepada segelintir orang dalam pengelolaan hutan juga pemberian ladang konsesi kepada perusahaan asing untuk mengelola minyak, emas atau barang tambang lainnya seperti yang dilakukan selama ini sudah terbukti salah dan merupakan pencurian yang dilegalkan oleh hukum kufur. Dengan cara seperti itu, hasilnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha atau  perusahaan-perusahaan itu dan penguasa tidak sah (menurut hukum Allah Swt.) yang berkolusi dengan para pengusaha ketimbang yang dirasakan oleh rakyat. Pengelolaan hutan dan barang tambang serta bentuk kepemilikan umum lain dengan cara seperti yang selama ini dilakukan jelas harus ditinjau ulang.

Kekeliruan Tata Kelola Sumber Daya Alam

{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam