Peringkat Korupsi Birokrasi Indonesia
Peringkat Korupsi Indonesia
I. PENDAHULUAN
Pemerintahan yang bersih dan baik
(clean and good government) adalah idaman. Istilah yang semakin populer dalam
dua dekade ini, semakin menjadi tuntutan, dalam kondisi di mana korupsi,
kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) lainnya begitu
menggejala di berbagai belahan dunia. Kekecewaan terhadap performance
pemerintahan di berbagai negara, baik di negara dunia ketiga maupun di negara
maju, telah mendorong berkembangnya tuntutan akan kehadiran pemerintahan yang
baik dan bersih.
Pemerintahan yang
bersih umumnya berlangsung di negara yang masyarakatnya menghormati hukum.
Pemerintahan yang seperti ini juga disebut sebagai pemerintahan yang baik (good
governance). Pemerintahan yang baik itu hanya bisa dibangun melalui
pemerintahan yang bersih (clean government) dengan aparatur birokrasinya
yang terbebas dari KKN. Dalam rangka mewujudkan clean government,
pemerintah harus memiliki moral dan proaktif mewujudkan partisipasi serta check
and balances. Tidak mungkin mengharapkan pemerintah sebagai suatu komponen
dari proses politik memenuhi prinsip clean government dalam ketiadaan
partisipasi.
Bisakah
pemerintahan yang bersih dan baik dibangun saat ini, di mana, sistem hukum,
moral aparat, kemiskinan akibat kesalahan sistem dan kebangkrutan birokrasi di
semua lini dan tingkatan, dibangun? Tulisan ringkas ini, mencoba memotret
kondisi birokrasi, negeri ini khususnya, serta menggagas solusi membangun
birokrasi, sebagai upaya mewujudkan clean and good governance. Mudah-mudahan
tulisan sederhana ini bisa memancing diskusi yang lebih intens, guna mencari
solusi total atas kebangkrutan birokrasi yang sedemikian parah saat ini.
II. REALITAS BIROKRASI DALAM PEMERINTAHAN DEWASA INI
Birokrasi yang Buruk
Pemerintahan yang baik dan bersih
diukur dari performance birokrasinya. Pengalaman dan kinerja birokrasi
di berbagai negara telah melahirkan dua pandangan yang saling bertentangan
terhadap birokrasi. Pandangan pertama melihat birokrasi sebagai kebutuhan, yang
akan meng-efisien-kan dan meng-efektif-kan pekerjaan pemerintahan. Pandangan
kedua, melihat birokrasi sebagai “musuh” bersama, yang kerjanya hanya
mempersulit hidup rakyat, sarangnya korupsi, tidak melayani, cenderung kaku dan
formalistis, penuh dengan arogansi (yang bersembunyi di balik hukum), dan sebagainya.
Padahal
secara konseptual, birokrasi, sebagai sebuah organisasi pelaksana pemerintahan,
adalah sebuah badan yang netral. Faktor di luar birokrasilah yang akan
menentukan wajah birokrasi menjadi baik ataupun jahat, yaitu manusia yang
menjalankan birokrasi dan sistem yang dipakai, di mana birokrasi itu hidup dan
bekerja. Artinya, bila sistem (politik, pemerintahan, ekonomi dan sosial
budaya) yang dipakai oleh suatu negara adalah baik dan para pejabat birokrasi
juga orang-orang yang baik, maka birokrasi menjadi sebuah badan yang baik, lagi
efektif. Sebaliknya, bila birokrasi itu hidup di dalam sebuah sistem yang
jelek, hukumnya lemah, serta ditunggangi oleh para pejabat yang tidak jujur,
maka birokrasi akan menjadi buruk dan menakutkan bagi rakyatnya.
Indikator
buruknya kerja birokrasi pada umumnya berfokus pada terjadinya korupsi di dalam
birokrasi tersebut. Pemerintahan sistem kufur demokrasi di negeri ini dari
waktu ke waktu terkenal dengan tingkat korupsi yang tinggi. Pada tahun 1998,
siaran pers Tranparansi Internasional, sebuah organisasi internasional anti
korupsi yang bermarkas di Berlin, melaporkan, pemerintah batil negeri ini
merupakan negara korup keenam terbesar di dunia setelah lima negara gurem,
yakni; Kamerun, Paraguay, Honduras, Tanzania dan Nigeria (Kompas, 24/09/1998).
Tiga tahun kemudian, 2001, Transparansi Internasional telah memasukkan rezim
pemerintahan tidak sah menurut hukum Islam di negeri ini sebagai yang terkorup
keempat di muka bumi. Sebuah identifikasi yang membuat penduduk negeri ini
tidak lagi punya hak untuk berjalan tanpa harus menunduk malu (Hamid Awaludin, Korupsi
Semakin Ganas, Kompas, 16/08/2001). Dan, di tahun 2002, hasil survey Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong,
menempatkan pemerintahan sistem kufur sekularisme negeri ini sebagai negara
terkorup di Asia, dikuntit India dan Vietnam (Teten Masduki, Korupsi dan
Reformasi “Good Governance”, Kompas, 15/04/2002).
Survey
Nasional Korupsi yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform
melaporkan bahwa hampir setengahnya (48%) dari pejabat pemerintah thaghut
negeri ini diperkirakan menerima pembayaran tidak resmi (Media Indonesia,
19/11/2001). Artinya, setengah dari pejabat birokrasi melakukan praktek korupsi
(uang). Belum lagi terhitung korupsi dalam bentuk penggunaan waktu kerja yang
tidak semestinya, pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan selain itu.
Maka hanya tinggal segelintir kecil saja aparat birokrasi yang mempertahankan
kesucian dirinya, di lingkungan yang demikian kotor. Dengan begitu, produk
sistem kufur demokrasi ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN, hanya manis di mulut tanpa political will
yang memadai.
Praktek
korupsi di pemerintahan-batal-demi-hukum-Islam negeri ini, sebenarnya bukan
saja terjadi pada dua-tiga dekade terakhir. Di era pemerintahan sistem kufur
Soekarno, misalnya, Bung Hatta sudah mulai berteriak bahwa korupsi adalah
budaya bangsa. Malah, pada tahun 1950-an, pemerintah batil negeri ini sudah
membentuk tim khusus untuk menangani masalah korupsi. Pada era sistem kufur
presiden Soekarno itulah kita kenal bahwa salah satu departemen yang kotor,
justru Departemen Agama dengan skandal
kain kafan. Saat itu, kain untuk membungkus mayat (kain kaci), masih harus
diimpor. Peran departemen ini sangat dominan untuk urusan tersebut (Hamid
Awaludin, Korupsi Semakin Ganas, Kompas, 16/08/2001).
Dewasa
ini, spektrum korupsi di pemerintahan kufur sekularisme negeri ini sudah merasuk di hampir semua sisi kehidupan
kenegaraan dan kemasyarakatan. Mulai dari pembuatan KTP, IMB, tender
proyek-proyek BUMN, penjualan asset negara oleh BPPN, penggerogotan dana Bulog,
bahkan sampai tukang parkir dan penjual tiket kereta api pun sudah terbiasa
melakukan tindak korupsi. Korupsi yang demikian subur ini, kemudian dijadikan
argumentasi, bahwa korupsi adalah budaya kita. Oleh karena merupakan budaya,
maka sulit untuk dirubah, demikianlah kesimpulan sementara orang. Maka gerakan
anti korupsi dipandang usaha yang sia-sia. Urusan korupsi, hanya dapat kita
serahkan pada “kebaikan hati” rakyat saja. Sebuah kesimpulan yang dangkal dan
tergesa-gesa.
Kebangkrutan
birokrasi, sebagai akibat korupsi terjadi di mana-mana, baik di negara maju
maupun negara terbelakang. David
Osborne dan Ted Gaebler (Mewirausahakan
Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, 1995) mensinyalir, bagaimana
birokrasi di negara sistem kufur Amerika, yang 100 tahun lalu dipandang
positif, kini semakin dirasakan lamban, tidak lincah, tidak bisa menyesuaikan
dengan perubahan kebutuhan masyarakat. Birokrasi kota-kota di Amerika menjadi
demikian gemuk dan korup, sehingga tidak bisa diharapkan lagi.
Di negara sistem kafir Nigeria, korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan juga tumbuh subur. Presiden Nigeria Shehu Shagari di Tahun 1982
menyatakan “Hal yang paling merisaukan saya lebih dari apapun juga adalah
soal kemerosotan akhlak di negeri kami. Ada masalah suap, korupsi, kurangnya
ketaatan akan tugas, ketidakjujuran, dan segala cacat semacam itu” (Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi,
Yayasan Obor Indonesia, 1998).
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan
oleh Presiden negara kufur sekular Meksiko Jose Lopez Portillo, di akhir masa jabatannya. “Rakyat Meksiko
secara tidak halal telah mengeruk lebih banyak uang keluar dari Meksiko selama
dua tahun terakhir ini daripada yang pernah dijarah kaum imperialis selama seluruh sejarah negeri kita” (Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia,
1998)
Peringkat Korupsi Birokrasi Indonesia
{{BERLANJUT KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar