Sistem Tepat Terbaik Untuk
Negara
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
Opini Negatif
Berkenaan dengan gagasan penerapan syariat Islam,
ada sejumlah tuduhan miring yang dilontarkan, yang kemudian menimbulkan
kesesatan di tengah masyarakat. Tuduhan miring ini lebih merupakan upaya
penciptaan opini negatif terhadap citra syariat Islam. Disebut opini negatif
karena opini tersebut memang tidak sesuai dengan realitas syariat Islam itu
sendiri. Opini negatif terhadap syariat Islam ini bila dicermati pada dasarnya
disandarkan pada dua hal (i) konsepsi tentang Islam, dan (ii) kondisi faktual
di masyarakat. Beberapa opini negatif yang disuarakan dengan lantang di
berbagai media massa adalah sebagai berikut:
I.
Konsepsi tentang Islam
a.
Islam tidak mengatur
tentang negara, atau dengan kata lain tidak ada sistem negara dalam Islam. Islam
cukup diamalkan secara pribadi tidak perlu diundangkan.
Pendapat seperti ini akan jelas kekeliruannya bila
dikonfirmasikan kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Negara, yang
dalam bahasa Arabnya daulah, memang kata baru yang mengandung makna
istilah. Kata dûlah dalam Al Quran bahkan tidak terkait dengan makna daulah
(negara). Sekalipun demikian, makna negara dalam konteks modern dilaksanakan
oleh Nabi SAW.
Secara umum, negara dalam istilah sekarang dimaknai
sebagai suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat
dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan
perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan
yang sah [i].
Nampak, ada 4 unsur hingga terbentuknya negara, yaitu:
daerah/teritorial, pemimpin/pejabat, rakyat, dan hukum. Keempat unsur ini ternyata dibuat oleh
Rasulullah SAW sejak mendirikan negara Islam di Madinah. Daerah/teritorialnya
adalah Madinah, kemudian meluas ke Makkah, Yaman dan Jazirah Arab lainnya.
Pada masa awal di Madinah beliau meminta 7 orang kalangan
Anshor dan 7 orang kalangan Muhajirin sebagai tempat bermusyawarah [ii]. Mereka
adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hamzah, Ibnu Mas’ud, Abu Dzarr, Bilal,
Sa’ad bin Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Ubai bin
Khalaf dan Zaid bin Tsabit.
Nabi SAW bertindak sebagai kepala negara. Beliau mengirim
utusan kepada para kepala negara saat itu (termasuk Heraklius) untuk
menyebarkan Islam dan utusan tersebut disambut dengan sambutan kenegaraan.
Juga, beliau menunjuk para pejabat. Sa’ad bin Ubadah pernah
diangkat mewakili Rasulullah SAW mengurusi pemerintahan saat beliau memimpin
perang Al-Abwa` pada tahun pertama Hijriyah, dan mengangkat Muhammad bin
Maslamah untuk peranan yang sama saat beliau memimpin Perang Tabuk [iii]. Pada
masa pemerintahannya beliau memiliki 2 pembantu umum, yaitu Abu Bakar dan Umar.
“Pembantuku dari penduduk bumi (madinah) adalah Abu
Bakar dan Umar,” sabda Nabi Saw. (HR. At Turmudzi dari Abi Sa’id al
Khudriy).
Beliau pun mengangkat Hudzaifah bin Yaman sebagai Amir
Sirr (semacam Sekretaris Negara) yang memegang hampir semua rahasia dan
kebijakan negara [iv].
Nabi Saw. membagi pemerintahannya menjadi 12 wilayah. Di antara
pemimpin wilayah yang dipilihnya adalah At Taab bin Usaid sebagai wali Makkah
setelah futuh Makkah, mantan wakil raja Kisra, Bâdan bin Sassan, setelah masuk
Islam diangkat sebagai wali daerah Yaman, Qada’ah ad Dausi sebagai amil
(pemimpin daerah di bawah tingkat Wilayah) di Yaman [v]. Ali bin Abi thalib
pernah ditugasi sebagai juru tulis perjanjian antarnegara, Zubair bin Awwam
sebagai juru tulis keuangan bidang zakat, dan Al Mughirah bin Shuba’ untuk
bidang simpan-pinjam [vi].
Selain itu, Rasulullah Saw. membagi angkatan bersenjata
menjadi beberapa pasukan (sarriyah) yang masing-masing dipimpin seorang
komandan. Ketika Nabi wafat terdapat 30.000 personil angkatan darat dan 6000
pasukan berkuda [vii].
Untuk menjaga keamanan masyarakat beliau membentuk polisi
kota. Di antaranya beliau pernah mengangkat Qaisy bin sa’ad menjabat kepala
polisi kota (Shâhib asy syurthah) [viii].
Realitas demikian menunjukkan bahwa Rasulullah SAW saat
itu telah memiliki pejabat-pejabat untuk menjalankan roda pemerintahan. Dilihat
dari rakyatnya, jelas, kaum muslimin dan non-muslim. Dan aturan yang
diterapkannya adalah al Quran yang terus turun dan hadits, yang salah satunya
terwujud dalam Piagam Madinah (watsîqah Madînah).
Nampaklah, Rasulullah SAW menjalankan sebuah negara
menurut definisi modern. Sekalipun dilihat dari istilah negara termasuk baru
namun makna, kandungan dan fungsinya dijalankan oleh Rasul.
Pihak yang phobi
atau anti-Islam atau munafik menyatakan dalam Islam tidak dibahas persoalan
negara Islam padahal justru Rasulullah SAW melakukannya. Ini adalah realitas. Manakah yang layak dipercaya,
tudingan sekelompok orang kafir dan munafiq itu ataukah realitas yang dilakukan
oleh Nabi SAW? Bagi orang yang beriman tentu saja akan mengikuti apa yang
dilakukan oleh Nabi Saw. sebagai utusan Allah Swt. Karenanya, pernyataan bahwa
Islam tidak mengenal negara, dan negara tidak boleh digabung dengan agama
(Islam) bertentangan dengan realitas yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
(as-Sunnah).
Juga, para ulama salaf sepakat mengenai wajibnya
mengangkat dan mewujudkan pemerintahan dalam bentuk Khilafah Islam (sebutan
Negara Islam setelah Rasulullah Saw. wafat). Baik kalangan Ahlussunnah wal
Jama'ah maupun Syi'ah, Khawarij bahkan Mu'tazilah. Semuanya berpendapat bahwa
umat ini harus mempunyai seorang Imam/ Khalifah yang menerapkan syariat Islam.
Dan hukum mengangkat
Khalifah adalah wajib [ix].
Kenyataan dari sirah Rasulullah SAW telah menunjukkan
bahwa ajaran Islam sama sekali tidak dibatasi pada pribadi-pribadi pemeluknya.
Bahkan beliau SAW menjadikannya sebagai asas Negara Islam. Hal ini tercantum
dalam Piagam Madinah (watsiqoh Madinah)
yang dijadikan peraturan umum antara kaum Muslim dan non Muslim di kota Madinah
:
"Bahwasanya
apabila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu
perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat
kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah SAW dan
bahwasanya Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian
ini."
Bila demikian, siapakah yang layak dipercaya, manusia
munafik atau bodoh yang menyatakan bahwa cukup Islam itu diterapkan secara
individual saja tidak perlu dalam masalah kemasyarakatan dan negara, ataukah
Allah SWT yang justru mewajibkan kepada manusia untuk menjalankan Islam secara kaffah
(lihat Surat Al Baqârah[2]:208)?
[i] Miriam Budiardjo,
Dasar-Dasar Ilmu Politik, halaman 40.
[ii] Musnad Imam Ahmad,
Jilid V, halaman 314.
[iii] Sîrah Ibnu Hisyâm,
Jilid I, halaman 591 dan Jilid II halaman 519.
[iv] Muhammad Abdullah asy Syabâni,
Nizhamul Hukmi wal Idârah fid Dawlah al Islâmiyyah, halaman 24.
[v] Al Qattaniy, Nizhâmul
Hukûmah an Nabawiyyah, Jilid I, halaman 241 – 244.
[vi] Al Qattaniy, ibidem,
halaman 180.
[vii] Anwar ar Rifa’i, An
nuzhum al islâmiyyah, halaman 141.
[viii] Lihat hadits riwayat
Imam Muslim, nomor 3939.
[ix] Imam asy-Syaukani, Nayl
al-Authar, Jilid VIII, halaman 265.
Sistem Tepat Terbaik Untuk Negara
{{BERLANJUT KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar