{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
Pilar Ketiga: Distribusi Kekayaan
di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan
termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai
ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan kepada
individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta
transaksi-transaksi yang wajar. Hanya saja, perbedaan individu dalam masalah
kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa juga menyebabkan
perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka.
Selain itu perbedaan antara
masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan membawa konsekuensi
terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang saja, sementara yang lain
kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar yang fixed,
seperti emas dan perak. Oleh karena itu, syara' melarang perputaran kekayaan
hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi
di antara semua orang. Allah SWT berfirman, artinya:
"Supaya harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja
di antara kamu. (QS.
Al-Hasyr [59]: 7)
Di samping itu syara' juga
telah mengharamkan penimbunan emas dan perak (uang, harta kekayaan) meskipun
zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, artinya:
Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih. (QS. at-Taubah [9]: 34)
Secara umum mekanisme yang
ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan menjadi dua, yakni mekanisme
ekonomi dan mekanisme non-ekonomi. Mekanisme ekonomi yang ditempuh sistem ekonomi Islam dalam
rangka mewujudkan distribusi kekayaan di antara manusia yang seadil-adilnya,
adalah dengan sejumlah cara, yakni:
1. Membuka kesempatan
seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan
individu.
2. Memberikan kesempatan seluas-luasnya
bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan (tanmiyah al-milkiyah)
melalui kegiatan investasi syar’i.
3. Larangan menimbun harta
benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan
berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak
terjadi perputaran harta.
4. Mengatasi peredaran
kekayaan di satu daerah tertentu saja dengan menggalakkan berbagai kegiatan
syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
5. Larangan kegiatan
monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6. Larangan judi, riba,
korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
7. Pemanfaatan secara
optimal hasil dari barang-barang (SDA) milik umum (al- milkiyah al-amah)
yang dikelola negara Khilafah seperti hasil hutan, barang tambang, minyak,
listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Didorong oleh sebab-sebab
tertentu yang bersifat alamiah, misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang
cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam, dimungkinkan
terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada
orang-orang yang memiliki keadaan tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa,
distribusi kekayaan dapat saja tidak berjalan karena orang-orang yang memiliki
hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti derap kegiatan
ekonomi secara normal sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan saja, orang-orang
itu, termasuk mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan
sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi masyarakat
yang rentan terhadap perubahan ekonomi. Bila terus berlanjut, bisa memicu
munculnya problema sosial seperti kriminalitas (pencurian, perampokan),
tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin revolusi sosial.
Untuk mencegah dan
menanganinya, Islam menempuh berbagai cara syar’i. Pertama, meneliti
apakah mekanisme ekonomi telah berjalan secara normal. Bila terdapat
penyimpangan, misalnya adanya monopoli, hambatan masuk (barrier to
entry) baik administratif maupun non-adminitratif dan sebagainya, atau
kejahatan dalam mekanisme ekonomi (misalnya penimbunan), harus segera
dihilangkan.
Bila semua mekanisme ekonomi
berjalan sempuma, tapi kesenjangan ekonomi tetap saja terjadi, Islam menempuh
cara kedua, yakni melalui mekanisme non-ekonomi. Cara kedua ini
bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun)
ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara. Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi
tersebut adalah:
1. Pemberian harta negara
Khilafah kepada warga negara Khilafah yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat
yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah,
wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
4. Pembagian harta waris
kepada ahli waris dan lain-lain.
Demikianlah gambaran sekilas
tentang ekonomi Islam. Itulah sistem ekonomi wajib untuk menggantikan sistem
sesat kapitalisme yang rusak dan telah menimbulkan kesengsaraan kepada umat
manusia di seluruh dunia.
Kita mempunyai tugas untuk
memahami sistem ekonomi Islam ini lebih luas dan dalam, lalu berjuang secara
serius untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Wallahu a'lam
bishawab. []
DAFTAR RUJUKAN
·
Al Hadits
·
Deliarnov, 1997, Perkembangan
Pemikiran Ekonomi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
·
Koesters, Paul Heinz, 1987, Tokoh-tokoh
Ekonomi Mengubah Dunia – Pemikiran-pemikiran yang Mempengaruhi Hidup Kita,
Gramedia, Jakarta.
·
An Nabhani, Taqyuddin, 1996,
Membangun Sistem Ekonomi Alternatif -
Perspektif Islam, Alih Bahasa Muh. Maghfur, Risalah Gusti, Surabaya, Cet.
II.
·
Rachbini, Didik J.,
Republika 27 Juni 2001
·
Samuelson, Paul A. &
Nordhaus, William D., 1999, Mikroekonomi, Alih Bahasa: Haris Munandar
dkk., Erlangga, Jakarta.
·
Tambunan, Tulus, 1998, Krisis
Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta.
·
Triono, D. C., Makalah
Seminar Setengah Hari dengan tema “Dilema Pembangunan Bidang Keteknikan
Dalam Krisis Perekonomian Indonesia” Fakultas Teknik Universitas Janabadra
Yogyakarta. Tanggal 15 Agustus 2001.
·
Zain, Samih Athif, 1988, Syari’at Islam dalam Perbincangan Ekonomi,
Politik dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Hussaini, Bandung, Cet I.
Diolah dari Artikel oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi: Membangun
Ekonomi Alternatif Pasca Kapitalisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar