Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 13 Maret 2013

Cara Syariat Islam Mengatasi Banjir

Cara Syariat Islam Mengatasi Banjir


KIAT ISLAM MENGATASI BANJIR

Sejumlah daerah di Indonesia direndam banjir. Kita masih ingat, Jakarta menjadi sebuah kolam raksasa. Banjir, menambah nestapa rakyat yang baru saja “dibanjiri” dengan kenaikan harga-harga.

Mungkinkah banjir kita atasi dengan syariat Islam? Bagi kalangan yang skeptis dengan syariat dari Allah SWT, barangkali pertanyaan di atas langsung ditanggapi secara sinis. Mereka akan menuduh bahwa memperjuangkan syariat Islam separti ini sebagai “eskapisme”, yaitu lari dari kenyataan, dan “bukti ketakmampuan mengatasi berbagai persoalan real”.

Banjir, Ulah manusia

Allah SWT menciptakan alam semesta, termasuk bumi ini, dengan sesempurna-sempurna ciptaan. Dilekatkan pula pada penciptaan alam semesta, bumi dan seisinya ‘nizhâm al-wujûd’, yaitu aturan-aturan, siklus, dan kaidah-kaidah kausalitas yang pasti terjadi. Itu merupakan ‘sunnatullah’ yang tidak berubah-ubah dan bersifat fixed (tetap). Allah SWT berfirman:

Sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah; sekali-kali kamu tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu. (QS Fathir [35]: 43).

Oleh karena itu, secara alami, alam semesta, bumi dan seisinya berjalan secara harmonis; mengikuti hukum alam atau sunnatulah yang telah dilekatkan Allah SWT dalam penciptaan. Sayangnya, manusia kemudian melakukan bermacam kesalahan tidak menaati syariat Islam termasuk mengerjakan perbuatan yang menimbulkan bahaya (dharar); entah itu dengan pengrusakan dan penggundulan hutan, penataan tatakota yang keliru, pembuangan limbah industri, angkutan/transportasi, nuklir, limbah militer, limbah rumah tangga, dan lain-lain. Akibatnya, misalnya saja, berkurangnya lapisan ozon yang melindungi makhluk hidup dari serangan sinar UV overdosis dari matahari, penyakit, kualitas udara dan air terganggu, termasuk banjir.
Berbagai fenomena bencana yang menimpa negeri kita tidak lepas dari perbuatan manusia yang menyalahi berbagai macam syariat Islam. Allah SWT berfirman:

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Ruum [30]: 41).

Ayat tersebut menegaskan bahwa akibat ulah para manusia yang menyalahi syariat Islam, berbagai bencana ditimpakan atas manusia. Itu terjadi agar manusia sadar dan kembali ke jalan yang benar, yakni ke jalan Islam, karena tidak ada kebenaran kecuali Islam.

Syariat Islam Sebagai Solusi

Harus disadari bahwa syariat Islam adalah khithâb asy-Syâri‘ atau seruan Pembuat Hukum (yaitu Allah) yang menyangkut perbuatan-perbuatan hamba-Nya  (manusia), baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliknya, dengan dirinya sendiri, serta dengan manusia lain, termasuk terhadap lingkungan. Singkatnya, syariat Islam itu berisi sekumpulan peraturan, undang-undang, hukum, yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu perkara pun yang lolos dari syariat Islam, karena kesempurnaan syariat ini mengharuskan cakupannya bersifat menyeluruh.

Syariat Islam juga ‘ditawarkan’ kepada umat manusia sebagai penjelas, rahmat, kabar gembira, termasuk solusi bagi seluruh problem manusia. Aturan ini diciptakan oleh Zat Yang tidak memiliki kelemahan dan tidak merusak kehidupan manusia. Oleh karena itu, aturan ini pasti sempurna. Allah SWT berfirman:

Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS an-Nahl [16]: 89).

Dengan demikian, akibat ulah manusia yang tidak mengikuti aturan-aturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) Allah SWT dan Rasul-Nya, manusia menerima akibat dari perbuatan-perbuatannya, termasuk bencana banjir!
Lalu syariat di aspek apa saja yang memberikan solusi terhadap masalah banjir?

Syariat Ekonomi Islam

Salah satu cabang syariat Islam terpenting yang saat ini banyak dilupakan adalah syariat ekonomi Islam, terutama perkara yang menyangkut kepemilikan dan tanah. Islam membagi kepemilikan menjadi  kepemilikan umum, pribadi, dan negara. Kepemilikan umum di antaranya mencakup sumber alam separti minyak bumi, tambang emas, perak, tembaga, dan lain-lain; benda-benda yang pembentukannya tidak mungkin dimiliki individu-separti masjid, jalan raya; juga benda-benda vital yang dibutuhkan dan dicari-cari oleh manusia dan memiliki jumlah kandungan (deposit) yang amat besar, misalnya sumber mata air.  Rasulullah saw. bersabda:

Manusia berserikat atas air, api dan padang rumput. (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Kepemilikan umum ini tidak boleh dialihkan oleh negara dengan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain (menjadi dikuasai pribadi, baik swasta nasional atau asing). Pengelolaannya dilakukan oleh negara, mewakili rakyat. Oleh karena itu, kawasan-kawasan vital dan berfungsi sebagai penyeimbang dalam siklus air, daerah resapan air yang pada umumnya berupa bukit-bukit, hutan, gunung, pantai, daerah aliran sungai tidak boleh diubah menjadi milik pribadi. Negara tetap mengontrol daerah-daerah tersebut sebagai ‘daya dukung’ alam terhadap populasi manusia. Negara tidak berhak mengubah kepemilikan umum (milik masyarakat) menjadi milik individu, apa pun dalihnya.

Dengan demikian, daerah-daerah separti gunung, perbukitan, hutan-hutan, rawa-rawa, daerah aliran sungai, dan sejenisnya wajib dikelola oleh negara untuk digunakan bagi kemaslahatan rakyat. Salah satu bentuk kemaslahatan itu adalah pengelolaan daerah-daerah tersebut secara profesional sebagai daya dukung alam bagi kesejahteraan umat manusia dan keseimbangan lingkungan.

Selain itu, Islam memiliki seperangkat aturan/hukum yang bersifat spesifik dan berkaitan dengan tanah. Islam mendorong umat manusia untuk mengelola tanah secara produktif. Tanah-tanah terlantar (yang dibiarkan tidak tergarap, meskipun berpotensi subur) akan menjadi hak milik si penggarap. Syaratnya, selama tanah tersebut dikelola dan digarap. Rasulullah saw. bersabda:

Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu adalah miliknya. (HR al-Bukhari).

Khalifah Umar bin al-Khaththab r.a. pernah mengeluarkan keputusan yang mengalihkan kepemilikan tanah-tanah (pertanian) yang dibiarkan pemiliknya hingga terlantar selama tiga tahun menjadi milik siapa saja yang sanggup menghidupkan (mengelolanya). Ini menunjukkan bahwa perhatian Daulah Islamiyah saat itu terhadap produktivitas tanah sangat besar. Tentu saja, kebijakan semacam itu sangat bermanfaat dalam memotivasi rakyat untuk bekerja produktif, mengatasi pengangguran, dan berdampak pada pemerataan harta melalui pembagian tanah-tanah terlantar (ardhu al-mawât).

Lebih dari itu, jika seseorang memiliki tanah (pertanian) berlebih, Rasulullah saw. memberinya dua pilihan: tetap mengupayakan untuk menggarapnya atau memberikannya-begitu saja- kepada saudaranya (sesama Muslim) yang sanggup menggarapnya dan tanah tersebut akan menjadi miliknya. Rasulullah saw. bersabda:

Barangsiapa yang memiliki tanah (lahan pertanian), hendaknya ia menggarapnya atau memberikannya kepada saudaranya. (HR al-Bukhari).

Apabila tanah-tanah terlantar, dataran/perbukitan gundul, dan sejenisnya diberikan secara gratis kepada masyarakat - dengan syarat harus digarap; jika tidak digarap harus diambil-alih serta diserahkan kepada individu masyarakat lain yang memiliki kesanggupan dan sungguh-sungguh mau mengelola tanah tersebut - maka negeri ini bakal mampu mengurangi pengangguran dan mengoptimalkan produktivitas tanah, yang akhirnya akan berujung pada ketersediaan lapangan kerja, produktivitas pangan meningkat, dan kesetimbangan alam akan terjaga dengan ditanaminya/diolahnya tanah-tanah terlantar sehingga hutan tidak beralih fungsi untuk pertanian.

Itulah konsep dasar “land reform” yang ditawarkan oleh syariat Islam. Jadi, hukum-hukum Islam tentang tanah amat spesifik, bukan hanya ditujukan untuk mengatasi ketenagakerjaan, tetapi juga penyeimbang ekosistem. Akan tetapi, yang paling penting, pengelolaan tanah ditujukan untuk mendukung populasi manusia berupa hasil-hasil produksi - berbentuk pangan, separti padi, gandum, sagu, jagung dan lain-lain. Itu diperoleh melalui pemberdayaan tanah-tanah terlantar maupun tanah-tanah potensial untuk pertanian yang tidak digunakan untuk kawasan permukiman ataupun kawasan industri.

Masalahnya, apakah sebagian besar kaum Muslimin mengetahui dan menyadari hukum-hukum Islam yang komprehensif, solutif, dan wajib diterapkan secara total beserta Khilafah Islamiyah?
Adalah kewajiban kaum muslimin untuk memahami lalu mendakwahkan dan mengusahakan berlangsungnya kehidupan Islam dengan berdirinya kembali Daulah Islamiyah sebagai metode syariat tuntunan Rasulullah SAW. Adalah wajib atas setiap manusia untuk memperjuangkan Islam dan berusaha agar mendapatkan kemewahan Surga! 

Menuju Penerapan Syariat Islam

Penerapan syariat Islam tidak bisa terlaksana tanpa adanya Khalifah yang dibai’at untuk memiliki political will dan tanpa  disandarkan pada kesadaran masyarakat. Tanpa itu, mustahil sistem hukum Islam dapat ditegakkan kembali di negeri-negeri Islam.

Di samping itu, keinginan dan perjuangan untuk menerapkan kembali sistem hukum Islam tidak boleh dilandasi oleh faktor-faktor (partimbangan) kemaslahatan ataupun kemadaratan. Pernyataan separti, “Kita harus menerapkan syariat Islam karena syariat Islam akan mampu mensejahterakan umat manusia,”- artinya, umat Islam bersedia menerapkan sistem hukum Islam hanya melihat adanya implikasi memperoleh kekayaan atau kesejahteraan - tidak dibenarkan.
Kaum Muslim wajib menerapkan kembali sistem hukum Islam, karena memang Allah SWT dan Rasul-Nya telah mewajibkan hal itu. Siapapun orang yang mengaku Muslim diwajibkan oleh Pencipta manusia terikat dengan syariat Islam dan harus menerapkan sistem hukum Islam tanpa melihat lagi implikasi maupun komentar orang banyak.

Begitu pula pernyataan bahwa sistem hukum Islam merupakan sistem hukum alternatif yang layak dicoba dan diterapkan setelah sistem hukum kapitalis dan sosialis-komunis gagal. Pernyataan semacam ini juga tidak layak dilontarkan oleh seorang Muslim. Sebab, pernyataan tersebut menyiratkan bahwa penerapan sistem hukum Islam terpaksa dilakukan karena sistem-sistem hukum lain terbukti gagal dan tidak sanggup memberikan pemecahan yang adil. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan suatu sikap bahwa penerapan sistem hukum Islam, bukanlah kewajiban dari Allah SWT dan Rasul-Nya, melainkan ‘keterpaksaan’, dan karena tidak ada alternatif lain. Na‘ûdzu billâh min dzâlik!

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya:

 “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan taqwa, pasti Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka dustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka oleh perbuatannya” (QS al-A’râf [7]: 96).[]

KOMENTAR:
Naik bus saja tak aman di Jakarta (KOMPAS, 18/02/2003)

Ingin aman? Terapkan  hukum Islam total! Tegakkan Kewajiban Khilafah! (Lihat Surat al-Maidah [5]: 50)

Cara Syariat Islam Mengatasi Banjir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam