Cara Syariat Islam
Mengatasi Banjir
KIAT ISLAM
MENGATASI BANJIR
Sejumlah daerah di Indonesia direndam banjir. Kita masih
ingat, Jakarta menjadi sebuah kolam raksasa. Banjir, menambah nestapa rakyat
yang baru saja “dibanjiri” dengan kenaikan harga-harga.
Mungkinkah banjir kita atasi dengan syariat Islam? Bagi
kalangan yang skeptis dengan syariat dari Allah SWT, barangkali pertanyaan di
atas langsung ditanggapi secara sinis. Mereka akan menuduh bahwa memperjuangkan
syariat Islam separti ini sebagai “eskapisme”, yaitu lari dari kenyataan, dan
“bukti ketakmampuan mengatasi berbagai persoalan real”.
Banjir, Ulah
manusia
Allah SWT menciptakan alam semesta, termasuk bumi ini, dengan
sesempurna-sempurna ciptaan. Dilekatkan pula pada penciptaan alam semesta, bumi
dan seisinya ‘nizhâm al-wujûd’, yaitu
aturan-aturan, siklus, dan kaidah-kaidah kausalitas yang pasti terjadi. Itu
merupakan ‘sunnatullah’ yang tidak berubah-ubah dan bersifat fixed (tetap). Allah SWT berfirman:
Sekali-kali kamu
tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah; sekali-kali kamu tidak
(pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu. (QS Fathir [35]: 43).
Oleh karena itu, secara alami, alam semesta, bumi dan
seisinya berjalan secara harmonis; mengikuti hukum alam atau sunnatulah yang
telah dilekatkan Allah SWT dalam penciptaan. Sayangnya, manusia kemudian
melakukan bermacam kesalahan tidak menaati syariat Islam termasuk mengerjakan
perbuatan yang menimbulkan bahaya (dharar); entah itu dengan pengrusakan dan
penggundulan hutan, penataan tatakota yang keliru, pembuangan limbah industri,
angkutan/transportasi, nuklir, limbah militer, limbah rumah tangga, dan lain-lain.
Akibatnya, misalnya saja, berkurangnya lapisan ozon yang melindungi makhluk
hidup dari serangan sinar UV overdosis dari matahari, penyakit, kualitas udara
dan air terganggu, termasuk banjir.
Berbagai fenomena bencana yang menimpa negeri kita tidak
lepas dari perbuatan manusia yang menyalahi berbagai macam syariat Islam. Allah
SWT berfirman:
Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Ruum [30]: 41).
Ayat tersebut menegaskan bahwa akibat ulah para manusia yang
menyalahi syariat Islam, berbagai bencana ditimpakan atas manusia. Itu terjadi
agar manusia sadar dan kembali ke jalan yang benar, yakni ke jalan Islam,
karena tidak ada kebenaran kecuali Islam.
Syariat Islam Sebagai
Solusi
Harus disadari bahwa syariat Islam adalah khithâb asy-Syâri‘ atau seruan Pembuat Hukum
(yaitu Allah) yang menyangkut perbuatan-perbuatan hamba-Nya (manusia), baik yang menyangkut hubungan
manusia dengan Khaliknya, dengan dirinya sendiri, serta dengan manusia lain,
termasuk terhadap lingkungan. Singkatnya, syariat Islam itu berisi sekumpulan
peraturan, undang-undang, hukum, yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan
manusia. Tidak ada satu perkara pun yang lolos dari syariat Islam, karena
kesempurnaan syariat ini mengharuskan cakupannya bersifat menyeluruh.
Syariat Islam juga ‘ditawarkan’ kepada umat manusia sebagai
penjelas, rahmat, kabar gembira, termasuk solusi bagi seluruh problem manusia.
Aturan ini diciptakan oleh Zat Yang tidak memiliki kelemahan dan tidak merusak
kehidupan manusia. Oleh karena itu, aturan ini pasti sempurna. Allah SWT
berfirman:
Kami telah
menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu,
petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS
an-Nahl [16]: 89).
Dengan demikian, akibat ulah manusia yang tidak mengikuti
aturan-aturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) Allah SWT dan
Rasul-Nya, manusia menerima akibat dari perbuatan-perbuatannya, termasuk
bencana banjir!
Lalu syariat di aspek apa saja yang memberikan solusi
terhadap masalah banjir?
Syariat Ekonomi
Islam
Salah satu cabang syariat Islam terpenting yang saat ini
banyak dilupakan adalah syariat ekonomi Islam, terutama perkara yang menyangkut
kepemilikan dan tanah. Islam membagi kepemilikan menjadi kepemilikan umum, pribadi, dan negara.
Kepemilikan umum di antaranya mencakup sumber alam separti minyak bumi, tambang
emas, perak, tembaga, dan lain-lain; benda-benda yang pembentukannya tidak
mungkin dimiliki individu-separti masjid, jalan raya; juga benda-benda vital
yang dibutuhkan dan dicari-cari oleh manusia dan memiliki jumlah kandungan
(deposit) yang amat besar, misalnya sumber mata air. Rasulullah saw. bersabda:
Manusia berserikat
atas air, api dan padang rumput. (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Kepemilikan umum ini tidak boleh dialihkan oleh negara dengan
menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain (menjadi dikuasai pribadi, baik
swasta nasional atau asing). Pengelolaannya dilakukan oleh negara, mewakili
rakyat. Oleh karena itu, kawasan-kawasan vital dan berfungsi sebagai
penyeimbang dalam siklus air, daerah resapan air yang pada umumnya berupa
bukit-bukit, hutan, gunung, pantai, daerah aliran sungai tidak boleh diubah
menjadi milik pribadi. Negara tetap mengontrol daerah-daerah tersebut sebagai
‘daya dukung’ alam terhadap populasi manusia. Negara tidak berhak mengubah
kepemilikan umum (milik masyarakat) menjadi milik individu, apa pun dalihnya.
Dengan demikian, daerah-daerah separti gunung, perbukitan,
hutan-hutan, rawa-rawa, daerah aliran sungai, dan sejenisnya wajib dikelola
oleh negara untuk digunakan bagi kemaslahatan rakyat. Salah satu bentuk
kemaslahatan itu adalah pengelolaan daerah-daerah tersebut secara profesional
sebagai daya dukung alam bagi kesejahteraan umat manusia dan keseimbangan
lingkungan.
Selain itu, Islam memiliki seperangkat aturan/hukum yang
bersifat spesifik dan berkaitan dengan tanah. Islam mendorong umat manusia
untuk mengelola tanah secara produktif. Tanah-tanah terlantar (yang dibiarkan
tidak tergarap, meskipun berpotensi subur) akan menjadi hak milik si penggarap.
Syaratnya, selama tanah tersebut dikelola dan digarap. Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang
telah menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu adalah miliknya. (HR
al-Bukhari).
Khalifah Umar bin al-Khaththab r.a. pernah mengeluarkan
keputusan yang mengalihkan kepemilikan tanah-tanah (pertanian) yang dibiarkan
pemiliknya hingga terlantar selama tiga tahun menjadi milik siapa saja yang
sanggup menghidupkan (mengelolanya). Ini menunjukkan bahwa perhatian Daulah
Islamiyah saat itu terhadap produktivitas tanah sangat besar. Tentu saja,
kebijakan semacam itu sangat bermanfaat dalam memotivasi rakyat untuk bekerja
produktif, mengatasi pengangguran, dan berdampak pada pemerataan harta melalui
pembagian tanah-tanah terlantar (ardhu
al-mawât).
Lebih dari itu, jika seseorang memiliki tanah (pertanian)
berlebih, Rasulullah saw. memberinya dua pilihan: tetap mengupayakan untuk
menggarapnya atau memberikannya-begitu saja- kepada saudaranya (sesama Muslim)
yang sanggup menggarapnya dan tanah tersebut akan menjadi miliknya. Rasulullah
saw. bersabda:
Barangsiapa yang
memiliki tanah (lahan pertanian), hendaknya ia menggarapnya atau memberikannya
kepada saudaranya. (HR al-Bukhari).
Apabila tanah-tanah terlantar, dataran/perbukitan gundul, dan
sejenisnya diberikan secara gratis kepada masyarakat - dengan syarat harus
digarap; jika tidak digarap harus diambil-alih serta diserahkan kepada individu
masyarakat lain yang memiliki kesanggupan dan sungguh-sungguh mau mengelola
tanah tersebut - maka negeri ini bakal mampu mengurangi pengangguran dan
mengoptimalkan produktivitas tanah, yang akhirnya akan berujung pada
ketersediaan lapangan kerja, produktivitas pangan meningkat, dan kesetimbangan
alam akan terjaga dengan ditanaminya/diolahnya tanah-tanah terlantar sehingga
hutan tidak beralih fungsi untuk pertanian.
Itulah konsep dasar “land
reform” yang ditawarkan oleh syariat Islam. Jadi, hukum-hukum Islam tentang
tanah amat spesifik, bukan hanya ditujukan untuk mengatasi ketenagakerjaan,
tetapi juga penyeimbang ekosistem. Akan tetapi, yang paling penting,
pengelolaan tanah ditujukan untuk mendukung populasi manusia berupa hasil-hasil
produksi - berbentuk pangan, separti padi, gandum, sagu, jagung dan lain-lain.
Itu diperoleh melalui pemberdayaan tanah-tanah terlantar maupun tanah-tanah
potensial untuk pertanian yang tidak digunakan untuk kawasan permukiman ataupun
kawasan industri.
Masalahnya, apakah sebagian besar kaum Muslimin mengetahui
dan menyadari hukum-hukum Islam yang komprehensif, solutif, dan wajib
diterapkan secara total beserta Khilafah Islamiyah?
Adalah kewajiban kaum muslimin untuk memahami lalu
mendakwahkan dan mengusahakan berlangsungnya kehidupan Islam dengan berdirinya
kembali Daulah Islamiyah sebagai metode syariat tuntunan Rasulullah SAW. Adalah
wajib atas setiap manusia untuk memperjuangkan Islam dan berusaha agar
mendapatkan kemewahan Surga!
Menuju Penerapan
Syariat Islam
Penerapan syariat Islam tidak bisa terlaksana tanpa adanya
Khalifah yang dibai’at untuk memiliki political
will dan tanpa disandarkan pada
kesadaran masyarakat. Tanpa itu, mustahil sistem hukum Islam dapat ditegakkan
kembali di negeri-negeri Islam.
Di samping itu, keinginan dan perjuangan untuk menerapkan
kembali sistem hukum Islam tidak boleh dilandasi oleh faktor-faktor (partimbangan)
kemaslahatan ataupun kemadaratan. Pernyataan separti, “Kita harus menerapkan
syariat Islam karena syariat Islam akan mampu mensejahterakan umat manusia,”- artinya,
umat Islam bersedia menerapkan sistem hukum Islam hanya melihat adanya
implikasi memperoleh kekayaan atau kesejahteraan - tidak dibenarkan.
Kaum Muslim wajib menerapkan kembali sistem hukum Islam,
karena memang Allah SWT dan Rasul-Nya telah mewajibkan hal itu. Siapapun orang
yang mengaku Muslim diwajibkan oleh Pencipta manusia terikat dengan syariat
Islam dan harus menerapkan sistem hukum Islam tanpa melihat lagi implikasi
maupun komentar orang banyak.
Begitu pula pernyataan bahwa sistem hukum Islam merupakan
sistem hukum alternatif yang layak dicoba dan diterapkan setelah sistem hukum
kapitalis dan sosialis-komunis gagal. Pernyataan semacam ini juga tidak layak
dilontarkan oleh seorang Muslim. Sebab, pernyataan tersebut menyiratkan bahwa
penerapan sistem hukum Islam terpaksa dilakukan karena sistem-sistem hukum lain
terbukti gagal dan tidak sanggup memberikan pemecahan yang adil. Dengan kata
lain, hal itu menunjukkan suatu sikap bahwa penerapan sistem hukum Islam,
bukanlah kewajiban dari Allah SWT dan Rasul-Nya, melainkan ‘keterpaksaan’, dan
karena tidak ada alternatif lain. Na‘ûdzu
billâh min dzâlik!
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya:
“Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman
dan taqwa, pasti Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka dustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka oleh perbuatannya”
(QS al-A’râf [7]: 96).[]
KOMENTAR:
Naik bus saja tak aman di Jakarta (KOMPAS, 18/02/2003)
Ingin aman?
Terapkan hukum Islam total! Tegakkan
Kewajiban Khilafah! (Lihat Surat
al-Maidah [5]: 50)
Cara Syariat
Islam Mengatasi Banjir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar