Cara Langkah
Menegakkan Menerapkan Syariat Islam Syariah
Kesatuan Langkah Umat Menuju Tegaknya Syari’at Islam
Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi
[Aktivis HTI Yogya]
Tidak ada seorang muslim pun yang ragu untuk mengatakan bahwa kondisi umat Islam kini benar-benar sangat buruk.Berbagai problem dan krisis terus mencengkeram mereka.Dari sisi eksternal umat terus menjadi korban proyek imperialisme negara-negara kapitalis yang kafir. Sementara dari sisi internal, umat Islam terpecah belah menjadi 50 (lebih) negara boneka yang dipimpin oleh para penguasa zalim yang menjadi antek-antek negara imperialis itu. Para penguasa itu telah mengambil sistem-sistem sosial yang sekularistik dari Barat dan menerapkannya secara paksa dan kejam kepada umat Islam. Mereka menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahan dan sistem kapitalisme dalam perekonomian. Akhirnya, umat hanya menjadi kelinci percobaan dari proyek-proyek pihak asing dan harus bersedia menderita atau mati konyol secara sia-sia.
Kondisi ini lahir - dalam perspektif Aqidah Islamiyah -
karena umat telah berlepas diri dari hukum-hukum Allah SWT. Penerapan ide sekularisme
(pemisahan agama dari kehidupan) jelas menyeret umat terjerumus ke dalam
tindakan abai terhadap Syariat Islam. Inilah penyebab kehancuran umat. Sebab
setiap penyimpangan dari Syariat Islam, tak pelak lagi pasti akan menimbulkan
kerusakan, kemudharatan, dan kesengsaraan. Allah SWT berfirman:
“Dan barangsiapa berpaling dari petunjuk-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaahaa [20]: 124).
“Maka hendaklah merasa takut orang-orang yang menyalahi perintah-Nya bahwa mereka akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Qs. An-Nuur [24]: 63).
Sebaliknya, setiap ketaatan kepada hukum Allah SWT, akan menghantarkan pada kebahagiaan, kemuliaan, dan kejayaan. Allah SWT berfirman :
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Qs. Thaahaa [20]: 123).
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raaf [7]: 96).
Maka dari itu, sangatlah jelas, bahwa untuk memperbaiki kondisi umat Islam itu kita tidak memiliki jalan lain kecuali kembali menerapkan Syariat Islam. Sebab di samping penerapan Syariat Islam akan menghasilkan kemaslahatan, penerapan Syariat Islam itu sendiri adalah wajib hukumnya. Allah SWT berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Qs. Al-A’raaf [7]: 3).
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7).
“Dan hendaklah kamu memutuskan (perkara) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jangnlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” (Qs. Al-Maa`idah [5]: 49).
Hanya saja, kewajiban penerapan Syariat Islam ini tidak boleh dijalankan setengah-setengah. Harus kaffah (utuh menyeluruh). Tidak boleh menerapkan sebagian aspek ajaran Islam - misalnya ibadah - seraya mengingkari aspek lainnya, misalnya siyasah (politik) dan iqtishadiyah (ekonomi). Allah SWT berfirman:
“Apakah kamu akan beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu, melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 85).
Kewajiban berislam secara totalitas telah ditegaskan dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 208).
Dalam prakteknya, penerapan Syariat Islam tidak mungkin sempurna kecuali dengan adanya institusi negara Islam atau Khilafah. Karenanya, keberadaan Khilafah adalah wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’:
Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Dengan demikian, perjuangan umat harus terfokus kepada pendirian Khilafah, yaitu kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan Syariat Islam dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Dengan Khilafah itulah akan dapat diterapkan kembali hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Sebaliknya, jelas mustahil dan omong kosong membicarakan penerapan Syariat Islam tanpa institusi Khilafah.
Namun perlu dipahami benar-benar, bahwa Khilafah itu bukan tujuan. Tujuan sebenarnya adalah penerapan Syariat Islam itu sendiri, yang dengannya umat Islam akan kembali mereguk kenikmatan hidup secara Islami, penuh dengan limpahan keridhaan Allah SWT.
Maka yang menjadi permasalahan sekarang adalah, bagaimana metode (cara) mendirikan Khilafah itu?
Dalam hal ini perlu ditegaskan 2 (dua) prinsip. Pertama, bahwa aktivitas muslim wajib bersandar kepada hukum syara’, bukan bersandar kepada selainnya, separti kepentingan sesaat, hawa nafsu, atau akal. Karena itu, perjuangan umat untuk mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada hukum-hukum syara’, tidak boleh didasarkan kepada partimbangan-partimbangan yang non-syara’. Keterikatan kepada Syariat Islam adalah kewajiban tiap muslim. Kedua, bahwa umat Islam wajib mengambil suri teladan (uswah hasanah) dari Nabi Muhammad SAW dalam masalah ini. Sebab, Rasulullah SAW telah memberi teladan bagaimana cara mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Kita wajib meneladani manhaj (metode) Rasulullah SAW ini. Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (Qs. Al-Ahzab [33]: 21)
“Katakanlah: 'Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Qs. Ali-Imran [3]: 31)
“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7)
Berdasarkan 2 (dua) prinsip itulah, maka langkah-langkah untuk mendirikan Khilafah dapat disarikan sebagai berikut:
1. Perjuangan harus dilakukan secara jama’i (berkelompok). Sebab mendirikan Khilafah adalah tugas yang berat yang tidak akan mampu dipikul oleh individu-individu. Karena itu, umat wajib berkelompok (berjamaah) untuk mendirikan Khilafah, sebab tanpa berkelompok tak mungkin kewajiban mulia itu dapat terealisir secara sempurna. Kaidah syara’ menetapkan :
Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Selain itu, berdirinya jamaah yang menyeru kepada Islam dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar adalah wajib pula berdasarkan firman Allah SWT:
“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu Islam), memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali-Imran [3]: 104).
2. Perjuangan harus berada di jalur politik (siyasah). Sebab mendirikan Khilafah adalah masalah politik sehingga metode yang relevan untuk mendirikannya tentunya adalah melalui pendekatan politik. Penggunaan jalan politik ini bukan berarti menghalalkan segala cara, sebagaimana praktek politik saat ini yang sangat kotor dan tuna susila. Akan tetapi maksudnya adalah, perjuangan yang dilakukan harus selalu mengacu pada aktivitas pemeliharaan urusan umat, sebab politik (siyasah) adalah pemeliharaan dan pengaturan segala urusan umat menurut hukum-hukum syara’.
Dengan demikian, penegakan Khilafah tidak ditempuh melalui jalur selain politik. Jadi, mendirikan Khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah kelompok politik. Tidak tepat bila mendirikan Khilafah ditempuh melalui jalur selain politik, misalnya jalur yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan sosial-kemasyarakatan (separti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu fakir miskin, anak-anak yatim atau orang-orang jompo dan sebagainya), atau kelompok yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau kelompok yang menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadits-hadits Nabi SAW, dan sebagainya.
Memang, semua itu adalah amal shaleh, bukan amal salah. Namun tidak tepat kalau itu dimaksudkan sebagai langkah atau jalur menuju berdirinya Khilafah.
3. Perjuangan tidak menggunakan cara kekerasan (fisik), misalnya dengan membentuk milisi-milisi bersenjata untuk menyerang penguasa. Sebab, aktivitas Rasulullah SAW di Mekah terbatas hanya pada dakwah secara lisan dan tidak melakukan kegiatan apapun yang bersifat fisik sampai beliau Hijrah. Bahkan tatkala tokoh-tokoh Madinah menawarkan kepada beliau pada Bai'atul Aqabah II agar mereka diizinkan memerangi penduduk Mina dengan pedang, Rasulullah SAW menjawab “lam nu`mar bi dzalika ba’du” (“Kami belum diperintahkan (untuk melakukan yang demikian (perang)”).
Kekuatan fisik yang dimaksud dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan Jihad. Jihad tetap berlangsung terus hingga hari Kiamat. Apabila musuh-musuh kafir menyerang salah satu negeri Islam, maka wajib atas kaum muslimin yang menjadi penduduk negeri itu untuk menghadapinya.
4. Perjuangan harus menempuh tahap-tahap (marhalah) yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dengan mendalami sirah Rasulullah SAW di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan suatu Daulah Islam di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan jelas tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah SAW inilah kita mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini. Berdasarkan sirah Rasulullah SAW tersebut, kita dapati terdapat 3 (tiga) tahapan (marhalah) berikut : Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran Islam dalam rangka pembentukan kerangka tubuh jamaah/kelompok. Kedua, Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Ketiga, Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Tahap pertama tersebut, serupa dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyampaikan kepada orang-orang (yang ada di Mekah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepadanya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Mekah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam
Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpa linglah dari orang-orang yang musyrik.” (Qs. Al-Hijr [15]: 94).
Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat Al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur. Ayat Al-Qur’an tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, separti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat Al-Qur’an turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.
Sedang tahap ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan, ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Inilah langkah-langkah yang harus ditempuh umat untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah. Dengan kembalinya Khilafah, akan dapat diterapkan Syariat Islam yang berfungsi sebagai mu’alajat li masyakil al insan (pemecahan problem-problem manusia). Dengan kembalinya Khilafah, akan dapat juga dilangsungkan kembali metode yang shahih untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia, yaitu dakwah Islamiyah dan jihad fi sabilillah. Semua ini insya Allah akan segera terwujud dengan upaya dan perjuangan kita bersama-sama, walaupun kita maklum, orang-orang kafir pasti membencinya!
Allah SWT berfirman:
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir benci.” (Qs. Ash-Shaff [61]: 8).
“Dan barangsiapa berpaling dari petunjuk-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaahaa [20]: 124).
“Maka hendaklah merasa takut orang-orang yang menyalahi perintah-Nya bahwa mereka akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Qs. An-Nuur [24]: 63).
Sebaliknya, setiap ketaatan kepada hukum Allah SWT, akan menghantarkan pada kebahagiaan, kemuliaan, dan kejayaan. Allah SWT berfirman :
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Qs. Thaahaa [20]: 123).
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raaf [7]: 96).
Maka dari itu, sangatlah jelas, bahwa untuk memperbaiki kondisi umat Islam itu kita tidak memiliki jalan lain kecuali kembali menerapkan Syariat Islam. Sebab di samping penerapan Syariat Islam akan menghasilkan kemaslahatan, penerapan Syariat Islam itu sendiri adalah wajib hukumnya. Allah SWT berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Qs. Al-A’raaf [7]: 3).
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7).
“Dan hendaklah kamu memutuskan (perkara) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jangnlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” (Qs. Al-Maa`idah [5]: 49).
Hanya saja, kewajiban penerapan Syariat Islam ini tidak boleh dijalankan setengah-setengah. Harus kaffah (utuh menyeluruh). Tidak boleh menerapkan sebagian aspek ajaran Islam - misalnya ibadah - seraya mengingkari aspek lainnya, misalnya siyasah (politik) dan iqtishadiyah (ekonomi). Allah SWT berfirman:
“Apakah kamu akan beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu, melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 85).
Kewajiban berislam secara totalitas telah ditegaskan dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 208).
Dalam prakteknya, penerapan Syariat Islam tidak mungkin sempurna kecuali dengan adanya institusi negara Islam atau Khilafah. Karenanya, keberadaan Khilafah adalah wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’:
Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Dengan demikian, perjuangan umat harus terfokus kepada pendirian Khilafah, yaitu kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan Syariat Islam dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Dengan Khilafah itulah akan dapat diterapkan kembali hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Sebaliknya, jelas mustahil dan omong kosong membicarakan penerapan Syariat Islam tanpa institusi Khilafah.
Namun perlu dipahami benar-benar, bahwa Khilafah itu bukan tujuan. Tujuan sebenarnya adalah penerapan Syariat Islam itu sendiri, yang dengannya umat Islam akan kembali mereguk kenikmatan hidup secara Islami, penuh dengan limpahan keridhaan Allah SWT.
Maka yang menjadi permasalahan sekarang adalah, bagaimana metode (cara) mendirikan Khilafah itu?
Dalam hal ini perlu ditegaskan 2 (dua) prinsip. Pertama, bahwa aktivitas muslim wajib bersandar kepada hukum syara’, bukan bersandar kepada selainnya, separti kepentingan sesaat, hawa nafsu, atau akal. Karena itu, perjuangan umat untuk mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada hukum-hukum syara’, tidak boleh didasarkan kepada partimbangan-partimbangan yang non-syara’. Keterikatan kepada Syariat Islam adalah kewajiban tiap muslim. Kedua, bahwa umat Islam wajib mengambil suri teladan (uswah hasanah) dari Nabi Muhammad SAW dalam masalah ini. Sebab, Rasulullah SAW telah memberi teladan bagaimana cara mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Kita wajib meneladani manhaj (metode) Rasulullah SAW ini. Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (Qs. Al-Ahzab [33]: 21)
“Katakanlah: 'Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Qs. Ali-Imran [3]: 31)
“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7)
Berdasarkan 2 (dua) prinsip itulah, maka langkah-langkah untuk mendirikan Khilafah dapat disarikan sebagai berikut:
1. Perjuangan harus dilakukan secara jama’i (berkelompok). Sebab mendirikan Khilafah adalah tugas yang berat yang tidak akan mampu dipikul oleh individu-individu. Karena itu, umat wajib berkelompok (berjamaah) untuk mendirikan Khilafah, sebab tanpa berkelompok tak mungkin kewajiban mulia itu dapat terealisir secara sempurna. Kaidah syara’ menetapkan :
Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Selain itu, berdirinya jamaah yang menyeru kepada Islam dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar adalah wajib pula berdasarkan firman Allah SWT:
“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu Islam), memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali-Imran [3]: 104).
2. Perjuangan harus berada di jalur politik (siyasah). Sebab mendirikan Khilafah adalah masalah politik sehingga metode yang relevan untuk mendirikannya tentunya adalah melalui pendekatan politik. Penggunaan jalan politik ini bukan berarti menghalalkan segala cara, sebagaimana praktek politik saat ini yang sangat kotor dan tuna susila. Akan tetapi maksudnya adalah, perjuangan yang dilakukan harus selalu mengacu pada aktivitas pemeliharaan urusan umat, sebab politik (siyasah) adalah pemeliharaan dan pengaturan segala urusan umat menurut hukum-hukum syara’.
Dengan demikian, penegakan Khilafah tidak ditempuh melalui jalur selain politik. Jadi, mendirikan Khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah kelompok politik. Tidak tepat bila mendirikan Khilafah ditempuh melalui jalur selain politik, misalnya jalur yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan sosial-kemasyarakatan (separti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu fakir miskin, anak-anak yatim atau orang-orang jompo dan sebagainya), atau kelompok yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau kelompok yang menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadits-hadits Nabi SAW, dan sebagainya.
Memang, semua itu adalah amal shaleh, bukan amal salah. Namun tidak tepat kalau itu dimaksudkan sebagai langkah atau jalur menuju berdirinya Khilafah.
3. Perjuangan tidak menggunakan cara kekerasan (fisik), misalnya dengan membentuk milisi-milisi bersenjata untuk menyerang penguasa. Sebab, aktivitas Rasulullah SAW di Mekah terbatas hanya pada dakwah secara lisan dan tidak melakukan kegiatan apapun yang bersifat fisik sampai beliau Hijrah. Bahkan tatkala tokoh-tokoh Madinah menawarkan kepada beliau pada Bai'atul Aqabah II agar mereka diizinkan memerangi penduduk Mina dengan pedang, Rasulullah SAW menjawab “lam nu`mar bi dzalika ba’du” (“Kami belum diperintahkan (untuk melakukan yang demikian (perang)”).
Kekuatan fisik yang dimaksud dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan Jihad. Jihad tetap berlangsung terus hingga hari Kiamat. Apabila musuh-musuh kafir menyerang salah satu negeri Islam, maka wajib atas kaum muslimin yang menjadi penduduk negeri itu untuk menghadapinya.
4. Perjuangan harus menempuh tahap-tahap (marhalah) yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dengan mendalami sirah Rasulullah SAW di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan suatu Daulah Islam di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan jelas tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah SAW inilah kita mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini. Berdasarkan sirah Rasulullah SAW tersebut, kita dapati terdapat 3 (tiga) tahapan (marhalah) berikut : Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran Islam dalam rangka pembentukan kerangka tubuh jamaah/kelompok. Kedua, Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Ketiga, Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Tahap pertama tersebut, serupa dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyampaikan kepada orang-orang (yang ada di Mekah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepadanya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Mekah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam
Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpa linglah dari orang-orang yang musyrik.” (Qs. Al-Hijr [15]: 94).
Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat Al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur. Ayat Al-Qur’an tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, separti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat Al-Qur’an turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.
Sedang tahap ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan, ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Inilah langkah-langkah yang harus ditempuh umat untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah. Dengan kembalinya Khilafah, akan dapat diterapkan Syariat Islam yang berfungsi sebagai mu’alajat li masyakil al insan (pemecahan problem-problem manusia). Dengan kembalinya Khilafah, akan dapat juga dilangsungkan kembali metode yang shahih untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia, yaitu dakwah Islamiyah dan jihad fi sabilillah. Semua ini insya Allah akan segera terwujud dengan upaya dan perjuangan kita bersama-sama, walaupun kita maklum, orang-orang kafir pasti membencinya!
Allah SWT berfirman:
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir benci.” (Qs. Ash-Shaff [61]: 8).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar