Buah Keimanan
Aqidah yang Benar
Iman yang Produktif
Satu perbedaan antara generasi Islam masa kini dengan
generasi pertama Islam adalah proses masuknya
mereka ke dalam Islam. Generasi muslim masa kini umumnya lahir dari kedua orang
tua dan lingkungan muslim. Hanya saja, lingkungan itu belumlah
merefleksikan kehidupan Islam yang
hakiki. Ibarat mobil, kehidupan umat Islam hari ini bagai mobil tua yang
bobrok. Bodinya jauh dari mulus, mesinnya pun sering trouble. Kurang bisa
diandalkan.
Adapun generasi Islam di masa sahabat dibangun oleh
Rasulullah saw. dari nol. Dari kalimat tauhid yang dipancarkan di antara ribuan
berhala kota Makkah. Di antara dominasi paganisme, kejahiliyahan, dan fanatisme
qabilah, Rasulullah saw. memproklamirkan kalimah Lailahaillallah Muhammad
Rasulullah. Sehingga generasi bentukan beliau saw. adalah generasi baru dengan
keimanan yang baru, yang masih murni. Ibarat mobil, mereka adalah mobil baru,
bahkan mobil baru yang sangat istimewa, yang siap menempuh perjalanan panjang,
sekalipun medan perjalanan yang sukar dan berliku. Gairah hidup baru mereka
peroleh tatkala mereka melaksanakan sholat dan membaca Al Quran serta mengikuti
penjelasan-penjelasan dari baginda rasulullah saw.
Allah SWT mengabadikan proses pembinaan yang beliau saw.
lakukan terhadap generasi pertama kaum muslimin itu dalam firman-Nya, artinya:
”Dia-lah yang mengutus
kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata, (QS. Al Jumu’ah 2).
Hasilnya, generasi pertama umat ini menjadi pribadi-pribadi
yang Islami, memiliki cara berfikir Islami dan pola sikap jiwa Islami. Sehingga
sanggup melaksanakan kewajiban-kewajiban agama Islam, baik tugas individual
mereka masing-masing, maupun tugas kolektif mereka sebagai jamaah kaum
muslimin. Bahkan untuk itu mereka siap mengerahkan seluruh potensi yang mereka
miliki, waktu, tenaga, harta, bahkan jiwa sekalipun. Kenapa demikian? Rahasia
iman para sahabat adalah aqidah Islam yang benar, bukan iman warisan yang sekedar
mengikut tradisi tetua.
Sebelum masuk Islam, mereka harus berfikir keras untuk
mengambil sikap, menerima atau menolak Islam dengan segala konsekuensinya. Akal
mereka tak bisa dibohongi. Naluri mencari Tuhan yang hakiki, menemukan
sesembahan yang benar, yakni Allah Pencipta langit dan bumi. Kesadaran mereka
menyingkap kepalsuan semua berhala yang selama ini mereka sembah. Mereka
memahami firman Allah, artinya:
“…Sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari
lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah”
(QS. Al Hajj 73).
Mereka paham bahwa agama dan ideologi baru itu akan
berhadapan dengan mainstream masyarakat Mekkah, masyarakat Arab, bahkan
masyarakat dunia yang masih jahiliyah. Namun risalah dari Dzat Yang Maha Agung
telah membangunkan jiwa dan membangkitkan akal fikiran mereka. Mereka
menghadapi dunia dan berbagai tantangannya dengan penuh optimis. Merekapun
sadar, iman belum terbukti sahih kalau belum mendapat ujian dan resiko.
Maka dalam interaksi dengan masyarakat Quraisy dalam dakwah
dan pergolakan pemikiran yang mereka lancarkan, dengan penuh kesabaran mereka
menghadapi penghinaan, penganiayaan, pemboikotan, dan pengusiran, bahkan
pembunuhan. Itulah pembinaan mental bagi orang-orang yang dilahirkan untuk
mengubah dunia, yang bangkit dari lumpur kejahiliyahan lalu dibersihkan dan
disucikan dengan cahaya risalah langit yang membuat mereka menjadi
makhluk-makhluk yang baru yang siap memimpin dunia. Wajarlah mereka dapat
menaklukkan Persia dan mengalahkan Rumawi.
Lihatlah kesiapan mental mereka dalam berbagai pertempuran
luar biasa. Abdullah bin Rawahah r.a., Panglima Perang Mu’tah, mengobarkan
semangat dan membekali mental para mujahid yang jumlahnya cuma 3000 orang dalam
persiapan perang melawan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang: “Wahai
kaum, demi Allah, sesungguhnya perkara yang tidak kalian sukai tatkala kalian
keluar dalam jihad fi sabilillah, adalah mencari syahadah (mati syahid). Kita
tidak memerangi manusia dengan kekuatan dan banyaknya personil pasukan, tapi
kita memerangi mereka hanya dengan agama (Islam) ini yang Allah telah
memuliakan kita dengannya. Maka dari itu, berangkatlah kalian. Karena
sesungguhnya, (hasil perjuangan dan pertempuran kalian) hanyalah satu di antara
dua kebajikan, menang atau mati syahid” (lihat Ibnu Katsir, ibid, Juz III, hal
428).
Sejarah juga mencatat, rahasia keunggulan kaum muslimin yang
diakui oleh Heraclius, sebagaimana dialog Kaisar Rumawi ini dengan pasukannya. Kaisar
berkata: “Celaka kalian, beritahukanlah padaku tentang mereka, orang-orang Islam
yang memerangi kalian itu, bukankah mereka manusia seperti kalian?” Mereka
menjawab: “Benar”. Kaisar berkata
lagi: “Jumlah kalian yang lebih banyak atau jumlah mereka?”. Mereka menjawab:
“Bahkan jumlah kami lebih banyak dalam semua medan tempur”. Kaisar bertanya:
“Kalau begitu, mengapa kalian bisa kalah?”. Maka seorang tua dari kalangan
pembesar mereka menjawab: “Karena sesungguhnya mereka –tentara Islam
itu—mengerjakan sholat di waktu malam, berpuasa di siang hari, dan mereka
menepati janji, memerintah kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan
saling membagi di antara mereka (tidak mementingkan diri sendiri). Sedangkan
kita – tentara Rumawi - kalah karena sesungguhnya kita gemar minum minuman
keras (khamr), berbuat zina, suka melakukan yang haram, melanggar janji,
gampang marah, berbuat zalim, memerintah dengan kekerasan (represif), mencegah
dari apa yang Allah ridhai serta berbuat kerusakan di muka bumi”. Maka
kaisar Heraclius pun berkata kepada
orang tua itu: “Engkau telah membuat aku percaya bahwa kita memang pantas
kalah”. (lihat Nasution, Kedudukan Militer dalam Islam, hal 44).
Keunggulan dalam sikap dispilin serta moral sebagai prajurit
bukan sekedar disiplin biasa, tapi disiplin yang lahir dari suatu dorongan
ideologis yang luar biasa. Sebelum
terjadinya pertempuran dalam Perang Qadisiyyah, Panglima Rustum, panglima
perang negara adidaya Persia, bertanya kepada tiga utusan kaum muslimin, Rabi’
bin Amir, Hudazifah bin Mihshan, dan Mughirah bin Syu’bah, apa motivasi mereka
datang ke Persia? Ketiga utusan itu menjawab: “Sesungguhnya Allah telah
mengutus kami untuk membebaskan siapa saja dari perbudakan manusia agar
menghamba kepada Allah Yang Esa, dan dari kesempitan dunia kepada keluasannya,
dan daripada penyimpangan semua agama kepada keadilan islam. Maka Allah telah
mengutus Rasul-Nya dengan membawa din-Nya, kepada seluruh makhluk-Nya. Maka
siapa saja yang menerima din ini dari kami, akan kami terima darinya dan kami
akan kembali daripadanya, dan kami akan meninggalkan dia dengan tanah airnya.
Akan tetapi, siapa yang menolak akan kami perangi sampai kami masuk Surga atau
mendapatkan kemenangan” (lihat Nasution, idem, hal 28).
Bagaimana membuat
Iman produktif?
Pertama, periksa kembali keyakinan kita kepada Allah SWT. Apakah
kita beriman hanya mengikuti orang tua dan umumnya masyarakat? Jika itu, maka
kualitas iman kita akan tergantung kecenderungan umum. Kalau umumnya iman kaum
muslimin hari ini mandul, mandul pula iman kita. Maka yang harus ditempuh
adalah, mengkaji kembali darimana keyakinan kita kepada Allah SWT kita peroleh.
Kita mesti bertanya: Kita hidup ini dari mana? Mau ke mana? Siapa yang
menciptakan kita? Apa pula kehendak-kehendak-Nya? Setelah mati, bagaimana
kesudahan kita? Yakni, apakah sudah selesai dengan mati ataukah masih ada
sesuatau, yaitu kita akan ke mana? Jika
kita akan ke mana? Apa pula konsekwensi yang akan kita hadapi?
Kedua, untuk mempertebal iman kita, mengoptimalkan daya fikir
kita, dan mensucikan hati kita, agar
kita senantiasa ingat, bersyukur, berfikir, bertaqwa, dan mendapat hidayahnya,
kita perlu membaca ayat-ayat Al Qur’an yang mengajak kita berfikir, misalnya
QS. Ali Imran 190-191, Ar Ruum 20-25, Ghafir[40] 13, Fushilat 37-39, dll. Dan
Allah SWT telah pastikan bahwa binatang yang paling jelek di sisinya adalah
mereka yang tidak mau berfikir dan beriman kepada-Nya sebagaimana firman-Nya
pada QS. Al Anfal 22 dan 55.
Ketiga, membaca ayat-ayat yang mengaitkan antara iman dan
amal sholih sebagai konsekuensi keimanan, yang sekaligus menunjukkan bahwa iman
itu produktif, misalnya:
Qs. Al Baqoroh 3-4, 82,143, 153, 177, 178, 277, 278,
Ali Imran 28, 100, 102-103, 173, 200,
An Nisa 29, 43, 59, 60, 65, 144,
Al Maidah 1, 2, 6, 8, 54-57,
Al Anfal 2-4, 15-16, 24-25, 27, 45-46,
dll.
Keempat, membaca ayat-ayat tentang indahnya sorga al jannah
dan buruknya neraka jahannam. Itu akan menjadikan hati kita cenderung untuk
meningkatkan amal sholih kita dan menjauhi segala perbuatan haram yang dibenci
oleh Allah SWT. Misalnya: Ayat-ayat surga QS. Ar Ra’d 35, Yasin 55-58, Muhammad
15, Ar Rahman 54-55, Al Waqiah 17-40, Al Insan 19-22. Tentang neraka bisa
dibaca QS. An Nisa 56, Al Al Kahfi 29, Hajj 19-20, Ad Dukhan 43-46, Muhammad
15, Al Muzammil12-13, Al Ghasyiyah 6-7.
Kelima, selalu mengontrol bentuk-bentuk perbuatan sebagai
produktivitas iman kita (atau malah kontra produktifnya) dengan senantiasa
mengingat bahwa waktu berjalan terus dan kematian akan datang tanpa permisi
lebih dahulu. Ada baiknya setiap akan tidur membaca surat Al Ashr (1-3) dan QS.
Az Zumar (55-58) sambil mengevaluasi amalan kita hari itu. Tentu saja kita akan
bisa mengevaluasi dengan baik kalau kita selalu menambah pengetahuan kita tentang
Islam yang komprehensif. Sehingga mengetahui mana kewajiban yang belum
dijalankan, mana keutamaan (amalan sunnah) yang belum dihiaskan dalam diri
kita, betapa banyak waktu kita habiskan untuk perbuatan yang kurang atau bahkan
tidak produktif (amalan makruh dan mubah), dan betapa kita masih melakukan
perbuatan kontra produktif (amal haram).
Ada baiknya di meja kita selalu ditulis pengertian dalam
hadits Nabi: Orang yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik daripada hari
kemarin, orang yang rugi adalah yang hari ini sama dengan kemarin, adapun orang yang
hari ini lebih buruk dari hari kemarin adalah orang yang binasa. Mudah-mudahan
sedikit resep ini bisa meningkatkan produktivitas iman kita sehingga di dunia
kita mampu mewujudkan kehidupan Islam dan menegakkan kalimat Allah di muka
bumi. Wallahu a’lam!
Buah Keimanan Aqidah yang Benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar