Buah Iman Akidah
yang Benar
Mengutamakan Nilai
yang Lebih Mulia
Bagi seorang muslim, mengutamakan nilai-nilai perbuatan yang
lebih mulia berarti menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada
dunia dan seluruh isinya; mau mengorbankan segala kepentingannya dan
keterikatannya terhadap siapapun demi berjuang di jalan Allah; dan menempatkan
dakwah pada prioritas utama dalam kehidupannya di dunia ini. Inilah iman yang
benar dan menjadi tanda bahwa apa yang dilakukannya hanyalah mencari keridhaan
Allah SWT semata. Allah SWT berfirman, artinya:
“Katakanlah: ‘Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS. At-Taubah: 24)
Rasulullah saw telah mengajarkan kepada kita tertib urutan
nilai-nilai yang harus lebih diutamakan, dengan sabdanya:
”Manakala kalian
telah melakukan transaksi jual-beli dengan cara ‘Al ‘Ienah’ dan kalian lebih
memilih mengikuti buntut sapi (membajak sawah ladang) serta lebih rela dengan
tanaman-tanaman kalian, sementara kalian meninggalkan jihad; niscaya Allah akan
menimpakan kehinaan atas kalian yang tidak akan dicabut-Nya sebelum kalian kembali
kepada agama kalian.”
[jual beli ‘inah yaitu menjual barang dengan pembayaran
tertunda, lalu apabila si pembeli tidak kuat mengangsur lagi, maka barang
tersebut dibeli lagi oleh sang penjual dengan harga yang jauh lebih murah.]
Para salafus shalih telah memberikan suri teladan yang dapat
dijadikan panutan para pengemban dakwah yang ikhlas. Pada suatu hari Khalid bin
Walid berkata: “Tidak ada suatu malam pun – Tidak malam pengantin, tidak juga
malam lahirnya anak laki-laki — yang dapat menandingi kegembiraanku daripada
malam yang sangat dingin, di mana aku dengan ekspedisi para mujahidin melakukan
serangan fajar terhadap orang-orang musyrik”.
Mush’ab bin Umair adalah seseorang yang pernah dikatakan oleh
Rasulullah dengan sabdanya: “Sungguh aku melihat Mush’ab sebagai pemuda yang
tidak ada duanya di kota Makah dalam hal memperoleh kesenangan dari kedua
orangtuanya, namun ditinggalkannya semua itu karena cintanya kepada Allah dan
Rasul-Nya”.
Sa’ad bin Abi Waqash pernah berkata kepada ibunya yang mogok
makan untuk memprotes keputusan Sa’ad ketika masuk Islam: “Demi Allah
ketahuilah wahai ibunda… seandainya Ibunda memiliki seratus nyawa, lalu keluar
satu persatu, sungguh ananda tidak akan meninggalkan agama ini. Maka terserah
Ibunda, apakah Ibunda mau makan ataukah tidak…!”.
Shuhaib Ar Rumiy, yang dikenal sebagai Abu Yahya, telah
mengorbankan seluruh kekayaan yang dia miliki, agar dia dibiarkan melanjutkan
perjalanan hijrahnya ke Madinah oleh orang-orang Quraisy yang mengejarnya.
Begitu Rasulullah melihat kehadirannya, baliau berseru dengan gembira: “Perniagaan yang beruntung wahai Abu
Yahya….. Perniagaan yang beruntung wahai Abu Yahya…!”.
Sa’di bin ‘Amir pernah berkata kepada istrinya yang
menyayangkan besarnya infaq yang dikeluarkan suaminya di jalan Allah:
“Ketahuilah bahwa di dalam surga banyak terdapat bidadari yang cantik-cantik
selain keindahan-keindahan yang mengagumkan, yang jika satu saja di antara
mereka menampakkan wajahya di muka bumi, niscaya akan menerangi semua yang ada.
Sungguh kekuatan cahayanya sama dengan kekuataan cahaya matahari yang
digabungkan dengan bulan sekaligus… maka, mengorbankan dirimu untuk mendapatkan
mereka tentu lebih wajar dan lebih utama daripada aku mengorbankan mereka demi
dirimu”.
Qadli Baha’udin bin Syaddad pernah menuturkan perihal
Shalahudin Al Ayyubi ra: “Sungguh kecintaan Shalahuddin terhadap jihad
benar-benar telah merasuk ke hati dan seluruh anggota badannya. Tidak ada yang
dibicarakannya kecuali jihad, tidak ada yang digagasnya selain peralatan jihad,
tidak ada yang diperhatikannya melebihi pasukan jihadnya dan tidak ada
kecenderungan kecuali kepada orang yang senantiasa mengingat jihad dan mengobarkan
semangat jihad. Demi kecintaannya kepada jihad fi sabilillah ia rela
meninggalkan keluarga, anak-anak dan kampung halamannya, bahkan seluruh
negerinya, dan ia lebih puas tinggal dibawah naungan kemah yang diterpa angin
dari kanan-kirinya”.
Berikut ini adalah kisah generasi muda yang menempuh jalan
dakwah dengan penuh keteguhan, tanpa memperdulikan kekufuran dan pembangkangan
Bapak-Ibunya.
Ali bin Abi Thalib dan Ja’far bin Abi Thalib dua-duanya telah
menganut Islam, sementara bapak mereka, Abu Thalib, meninggal dalam keadaan
kufur.
Abu Ubaidah bin Al Jarrah membunuh bapaknya, Abdullah bin Al
Jarrah para perang Badr.
Abu Hudzaifah pada perang yang sama juga membunuh bapaknya
Utbah bin Rabi’ dan ia sangat bersedih bukan karena apa-apa, melainkan hanya
karena bapaknya mati dalam kekufuran.
Mush’ab bin Umair dan Saad bin Abi Waqash adalah dua orang
yang dimusuhi ibunya tetapi keduanya tiada mempedulikannya.
Al Walid, Hisyam dan Khalid adalah anak-anak dari orang yang
disebut-sebut dalam Al Qur’an Al Kariim:
“Dan janganlah kamu
ikuti orang yang bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari
menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi
banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu yang terkenal kejahatannya” (Al Qalam: 10-13)
[Menurut para Mufassir, orang yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah Al Waliid bin Mughirah yang sangat memusuhi Islam dan mencegah
orang-orang untuk masuk Islam. Lihat tafsir Munir Marah Labid. An Nawawi, juz
II Halaman 393.]
Dalam hal memisahkan antara iman dan kufur, ada sebuah kisah
yang sangat menakjubkan. Islam telah mengumpulkan sepasang suami istri nan
mulia, yaitu Handhalah Al Ghasiil dan Jamilah, padahal bapak mereka berdua
adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin.
Handhalah adalah putera Abu Amir Ar Rahiib, seorang pemimpin kaum kafir dan
kaki tangan negara Romawi. Sedangkan Jamilah adalah putera
Abdullah bin Ubay bin Salul, gembong kaum munafik di Madinah. Suatu hari
Rasulullah saw melewati seorang wanita dari suku Bani Dinar yang bapaknya,
suaminya dan saudaranya telah gugur sebagai syuhada di medan perang Uhud.
Tatkala wanita itu melihat pasukan kaum muslimin kembali dari medan perang, ia
segera menghampiri mereka dan menanyakan keadaan anak-anaknya. Mereka pun
mengabarkan kepadanya tentang kematian suami, bapak dan saudaranya. Seakan tak
menghiraukan berita itu, ia kemudian menanyakan keadaan Rasulullah. Mereka
menjawab: “Baik, Alhamdulillah, seperti yang engkau kehendaki”. Ia berkata: “Perlihatkan
kepadaku sampai aku melihatnya”. Mereka berhenti di dekat wanita itu sampai
Rasulullah mendekat. Tatkala wanita itu melihat Rasulullah, ia menghadapkan
pandangannya kepada Beliau seraya berkata: “Musibah apapun yang menimpa selain
Engkau adalah persoalan remeh belaka”.
Khatimah
Memang kita harus benar-benar teliti atas sikap, ucapan, dan
tindakan kita, benarkah kita telah memprioritaskan untuk yang terbaik bagi kita
buat kehidupan kita di dunia ini dan terutama di akhirat kelak nanti. Sebab,
sesungguhnya yang kita jalani setiap hari pada hakikatnya adalah mengumpulkan
jawaban yang terbaik buat berbagai pertanyaan yang bakal kita hadapi di padang
mahsyar: dipakai untuk apa umur dan badan kita selama di dunia ini? Apa yang
kita perbuat dengan ilmu yang kita miliki? Dari mana harta kita peroleh dan
untuk apa kita nafkahkan? Prioritas kita dalam beraktivitas untuk mengumpulkan
jawaban terbaik bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menentukan sukses
hidup kita. Wallahua’lam!
Buah Iman Akidah yang Benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar