Prosedur Mekanisme
Pemilihan Kepala Negara
PEMILIHAN KEPALA NEGARA:
Golongan Ahl al-Sunnah dan jumhur ulama berpendapat bahwa Kepala
Negara hendaklah dipilih secara pilihanraya. Pada pendapat mereka pemilihan
Khalifah merupakan ikatan kontrak di antara Khalifah dan umat. Justru itu
istilah yang dipakai dalam kontrak ini “Bai’ah”(30). Berdasarkan ini pemerintahan
Khalifah adalah didapati daripada umat, umat merupakan sumber kekuasaan yang
sebenar dan ikatan di antara umat dengan Kepala Negara adalah ikatan “Kontrak
Sosial”(31). Abdul Wahab Khallaf menjelaskan tentang kedudukan Khalifah dalam
Islam, bahwa Kepala Negara dalam pemerintahan Islam adalah kedudukannya sama
dengan pemerintahan negara-negara yang berperlembagaan karena Khalifah mendapat
kuasa pemerintahannya daripada umat yang diwakilkan kepada “Ahl al-Hal wa
al-Aqd”. Kekuasaan pemerintahan itu kekal bergantung kepada kepercayaan mereka dan kemampuannya
dalam pemerintahan untuk menjaga kemaslahatan umat… (32).
Dalam pemilihan khalifah, terlibat di dalamnya tiga golongan
manusia:
1. Calon Khalifah yang mencukupi syarat.
2. Ahl al-Hal wa al-‘aqd
3. Orang umum Muslim (33)
CALON KHALIFAH
Syarat bagi calon
Khlaifah telah dibahas sebelumnya.
SYARAT ANGGOTA PEMILIHAN DAN TUGASNYA:
Anggota “Ahl al-Hal wa al-Aqd” perlu memenuhi beberapa syarat
untuk melayakkannya memilih Kepala Negara supaya pemilihannya tepat. Mengikut
penjelasan Mawardi mereka perlu memenuhi tiga syarat yaitu:
1.
Adil. Sifat adil
yang dikehendaki di sini ialah sebagaimana sifat adil yang diperlukan pada
Khalifah.
2.
Berilmu yaitu ilmu
yang memungkinkannya untuk menilai calon yang layak untuk memegang jabatan Kepala
Negara dengan mengambil kira syarat-syarat yang diperlukan.
3.
Kecakapan dan
kebijaksanaan dalam memilih calon yang layak dan memilih yang lebih baik, lebih
berpengetahuan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat(34).
Tugas mereka ialah memilih dan menentukan calon yang layak
untuk jabatan itu. Apabila mereka bermusyawarah untuk memilih calon hendaklah
meneliti syarat-syarat yang ada pada calon dan memilih serta memberi
persetujuan terhadap calon yang lebih baik dan lebih lengkap syarat-syaratnya.
Jumlah anggota “Ahl al-Hal wa al-Aqd”, ulama tidak sepakat.
Pendapat Mawardi menjelaskan bahwa ulama tidak sepakat pendapat tentang jumlah
anggota yang memilih Kepala Negara (Imam); ada terdapat beberapa pendapat; ada
golongan yang berpendapat bahwa tidak sah calon Kepala Negara melainkan
pemilihnya dipersetujui oleh semua anggota “Ahl al-Hal wa al-Aqd” dari setiap
negeri supaya persetujuan itu berlaku secara menyeluruh dan penyerahan kuasa
kepadanya secara ijmak. Pendapat ini berbeda dengan apa yang berlaku dalam
pemilihan Khalifah Abu Bakr. Dia telah dipilih oleh anggota yang hadir saja dan
mereka tidak menunggu anggota yang lain lagi. Ada pendapat yang mengatakan
sekurang-kurangnya jumlah anggota yang memilih ialah lima orang yang semuanya sepakat membuat
pemilihan atau seorang saja yang membuat pemilihan dan anggota yang lain
bersetuju dengan pemilihannya. Pendapat ini bersandarkan kepada dua alasan;
pertama cara pemilihan Abu Bakr yang dilakukan oleh lima orang kemudian diikuti
oleh orang lain separti Umar al-Khattab, Abu Ubaidah al-Jarrah, Asid Hudair,
Bashir Sa’ad, Salim Maula, Abu Huzaifah. Kedua, Umar melantik enam orang
anggota syura supaya seorang daripada mereka memilih untuk jabatan Khalifah
dengan persetujuan dengan lima
anggota yang lain. Ada pendapat lain memadai pemilihan dilakukan oleh tiga
orang anggota saja dengan seorang memilih dan dipersetujui dengan dua orang
yang lain. Mereka dianggap sebagai seorang Hakim dan dua orang saksi,
sebagaimana sah aqad nikah dengan seorang wali dan dua orang saksi.
Ada pendapat lain pula yang menyatakan bahwa sah pemilihan itu
dibuat seorang anggota saja. Ini berdasarkan kepada Abbas yang berkata kepada
Ali: “Ulurkan tangan engkau aku memberi kesetiaan kepada angkau”. Orang
berkata, “Paman Rasulullah memberi kesetiaan kepada keponakannya, maka jangan
kamu mempartikaikan keduanya. Itu adalah hukum dan ia adalah sah” (35). Sah
dengan pemilihan seorang anggota bukan bermakna calon yang dipilih telah sah
menjadi Kepala Negara. Apa yang berlaku dalam pemilihan oleh Abu Bakr adalah
jika pencalonan Umar tidak dipersetujui oleh pihak lain, kelompok kaum akan
terpecah dan tidak dapat ditentukan mana satu golongan yang kuat dan mana pula
yang lemah. Justru itu ikatan Imamah tidak akan berlaku, sedangkan syarat utama
ikatan itu ialah perlu adanya kekuatan “Shaukah”, kesatuan hati, kesepakatan lahir
dan batin untuk itu, karena tujuan tuntutan mewujudkan Imam ialah untuk
menyatukan umat ketika berlakunya pertentangan karena dorongan nafsu. Kuasa
tidak dapat ditegakkan tanpa persetujuan mayoritas yang diambil kira pada
setiap zaman (36).
MASYARAKAT AWAM
Pemilihan Kepala Negara tidak terhenti ketika pemilihan
anggota “Ahl al-Hal wa al-Aqd”, tetapi ia memerlukan proses persetujuan rakyat
umum terhadap calon yang telah dipilih
oleh anggota “Ahl al-Hal wa al-Aqd”. Persetujuan mayoritas umat ini
dilakukan secara terbuka sebagaimana yang berlaku pada pemilihan ini seorang
calon Kepala Negara disahkan menjadi Kepala Negara Islam.
PENCALONAN OLEH KHALIFAH SEBAGAI PENGGANTINYA
Pernah Khalifah mengusulkan calon penggantinya sebelum dia
meninggal. Sejumlah besar di kalangan fuqaha’ membolehkan itu. Mencalonkan
seorang kepala negara/Imam yang dipilihnya, mengikut ijmak adalah boleh karena
ada dua alasan; pertama Abu Bakr mencalonkan Umar dan para sahabat menerima pencalonan
itu sah. Kedua, Umar mencalonkan para anggota ahli syura, mereka menerimanya dan
mereka adalah orang yang penting ketika itu dengan berkeyakinan bahwa pencalonan
itu adalah sah, sedangkan sebagian sahabat yang lain tidak termasuk anggota
ahli syura. Setelah ada para calon untuk dipilih menjadi Khalifah, maka mereka
memilih seorang dari para calon itu untuk menjadi Khalifah. Justru itu
pencalonan demikian disimpulkan sebagai ijmak.
Sedangkan penyerahan kuasa yang pernah terjadi dalam
pemerintahan Islam dalam bentuk warisan adalah sebuah bentuk penyimpangan. Jika
pemaksaan atas Umat oleh orang yang ditunjuk oleh Khalifah sebelumnya
menghasilkan patuhnya Umat membai’at dia, maka telah terwujud Khilafah.
Penyimpangan semacam itu tidak mengubah sistem pemerintahan yang dijalankan
yaitu tetap Khilafah.
Hal ini seperti kecurangan dalam pemilu negara sistem kufur demokrasi. Terjadi
kecurangan dalam pemilu namun negaranya tetap negara sistem kufur demokrasi.
Prosedur Mekanisme Pemilihan Kepala Negara Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar