Qadha/Pengadilan adalah pemberitahuan keputusan hukum yang bersifat mengikat
BAB PERADILAN
PASAL 66
Qadha
adalah pemberitahuan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Badan
pengadilan ini bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi antar
sesama masyarakat, atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak
jama’ah atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga masyarakat
dengan aparat pemerintah, baik Khalifah; pejabat atau pegawainya.
KETERANGAN
Peradilan Islam telah disyariatkan oleh al-Quran maupun as-Sunnah. Dalilnya antara lain firman Allah: "Dan hendaknya engkau hukumi (perkara yang terjadi) di antara mereka dengan dasar apa yang telah diturunkan oleh Allah." (Q.S. Al Maidah: 49); "Dan apabila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka..." (Q.S. An Nur: 48)
Sedangkan dalil As Sunnah adalah, bahwa Rasulullah SAW sendiri pernah memimpin lembaga peradilan (qadha')
dan memutuskan masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Salah satunya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari A'isyah istri
Nabi SAW yang mengatakan, bahwa Utbah Bin Abi Waqqas telah menitipkan
bayi laki-laki Zam'ah kepada saudara laki-lakinya, yaitu Sa'ad Bin Abi
Waqqas (dengan pesan): "Ini anakku, maka terima dan peliharalah menjadi anakmu." Pada saat penaklukan kota Makkah, anak itu diminta oleh Sa'ad, sambil berkata: "Ini anak saudaraku, yang dulu telah dititipkan kepadaku." Lalu Abdu Bin Zam'ah berdiri menghampirinya dengan berkata: "Ini saudaraku dan anak laki-laki bapakku, yang telah dilahirkan 'melalui tempat tidurnya' (keturunannya)." Kemudian mereka berdua sama-sama mengadu kepada Rasulullah SAW. Di mana Sa'ad berkata: "Ya Rasulullah, ini adalah anak saudaraku yang telah dititipkan kepadaku." Sementara Abdu Bin Zam'ah berkata: "Dia saudaraku, dan anak laki-laki bapakku yang dilahirkan 'melalui tempat tidurnya' (keturunannya)." Rasulullah SAW kemudian bersabda: "Dia saudaramu, ya Abdu Bin Zam'ah." Kemudian beliau bersabda: "Anak
itu adalah milik keturunannya (lil firasy), sedangkan "lil 'ahir"
(orang yang tidak memiliki garis keturunan dengannya) haram
memilikinya."
Beliau
juga pernah mengangkat para qadhi. Beliau pernah mengangkat 'Ali Bin
Abi Thalib untuk menjadi qadhi di Yaman, di mana beliau pernah
menasihatinya, berupa penjelasan terhadap cara memutuskan suatu perkara
dengan bersabda: "Apabila
dua orang yang berselisih datang menghadap kepadamu, jangan segera kau
putusi salah satu di antara mereka sebelum engkau mendengarkan pengakuan
dari pihak yang lain."
Beliau juga pernah mengangkat Abdullah Bin Naufal sebagai qadhi di Madinah.
PASAL 67
Khalifah
merupakan Qadhi Qudhat/Amir Qadha yang dipilih dari kalangan laki-laki,
baligh, merdeka, Islam, berakal, adil dan faqih. Qadhi Qudhat memiliki
wewenang mengangkat qadhi-qadhi, memperingatkan dan memberhentikan
mereka dari jabatannya, sesuai dengan peraturan administratif yang
berlaku. Pegawai-pegawai mahkamah pengadilan terikat dengan kepala
kantor peradilan, yang mengatur urusan administrasi untuk seluruh
peradilan.
KETERANGAN
Khalifah
pada dasarnya akan memilih orang-orang yang bertanggung jawab atas
bidang tertentu, termasuk bidang peradilan. Dalam hal ini pemimpin
peradilan disebut sebagai Amir Qadhi atau Qadhi Qudhat (semacam mahkamah
agung). Qadhi Qudhat memiliki wewenang untuk mengangkat dan
memberhentikan para qadhi. Qadhi Qudhat bukan pegawai pemerintah (muwazhzhaf)
tetapi termasuk pejabat pemerintah. Dia bertanggung jawab mengelola
peradilan negara. Akan tetapi, Qadhi Qudhat tidak dipandang sebagai
pembantu khalifah dalam bidang peradilan, karena dia hanya memiliki
wewenang khusus, yakni bidang peradilan, sementara yang disebut Mu’awin
memiliki kewenangan yang bersifat umum, mencakup segala bidang.
Memang,
Qadhi Qudhat belum pernah terbentuk pada zaman Nabi, Khulafa
ar-rasyidin, maupun zaman Kekhalifahan Umayyah. Qadhi Qudhat baru
terbentuk pada zaman Khalifah Harun ar-Rasyid. Yang menjadi Qadhi Qudhat
saat itu adalah Abu Yusuf al-Kindi, seorang mujtahid terkemuka yang
bermazhab Hanafi. Oleh karena itu, dalam hal ini, penunjukkan Qadhi
Qudhat bersifat mubah saja. Akan tetapi, ia disyaratkan memilki
syarat-syarat sebagaimana halnya penguasa —seperti muslim, baligh,
berakal, merdeka, adil — di samping tentu saja menguasai fikih. Dalam
hal ini, Rasulullah bersabda, “Seseorang yang mengadili manusia dengan kebodohannya adalah ahli neraka.”
PASAL 68
Para Qadhi terbagi dalam tiga golongan:
Qadhi biasa, berwenang menyelesaikan perselisihan antara urusan muamalat dan uqubat yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Qadhi muhtasib, berwenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak jama’ah/ masyarakat.
Qadhi mazhalim, berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga dan negara.
KETERANGAN
Qadhi biasa (Al Qadhi)
dalilnya adalah tindakan Rasulullah ketika menunjuk Mu’adz bin Jabal
sebagai gubernur sekaligus Qadhi di Yaman. Qadhi muhtasib dalilnya
adalah tindakan dan sabda Rasulullah. Disebutkan bahwa Rasulullah
bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang suka menipu.” (HR Ahmad dari Abu Hurayrah).
Qadhi mazhalim dalilnya adalah firman Allah: Jika kalian berselisih mengenai suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya (QS an-Nisa: 59). Ayat ini didahului oleh kalimat, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasulnya serta kepada ulil amri (pemimpin) kalian.”
Dengan
demikian, jika ada perselisihan antara rakyat dan pemimpinnya, maka
hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini berarti harus ada
lembaga yang mengadilinya. Inilah yang disebut dengan Qadhi Mazhalim.
Dalil lainnya adalah tindakan Rasulullah, meskipun Rasul tidak secara
khusus menunjuk Qadhi Mazhalim di dalam seluruh aspek kenegaraan.
Rasulullah pernah menunjuk Rasyid ibn Abdillah sebagai Qadhi Mazhalim.
Rasulullah SAW Juga pernah bersabda, “Siapa
saja yang pernah terambil hartanya, maka inilah hartaku, ambillah;
siapa saja yang pernah tercambuk punggungnya, maka inilah punggungku,
cambuklah.”
Sabda Rasul ini tidak lain menunjukkan pada peradilan mazhalim. Akan
tetapi Rasulullah, sebagaimana Khulafa ar-Rasyidin tidak secara khusus
mengangkat Qadhi Mazhalim, karena mereka sendiri yang langsung
menjalankanya.
Qadha/Pengadilan adalah pemberitahuan keputusan hukum yang bersifat mengikat
Dari Buku: Rancangan UUD Islami (AD DUSTÛR AL ISLÂMI)
Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar